🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Alhamdulillah?
Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Suara cicak tampak bersahut-sahutan dengan detak jam. Gus Sahil masih berusaha menutup matanya sekuat tenaga. Sudah satu jam ia berguling di atas kasur, tapi alam mimpi tidak segera menyapanya. Ia malah semakin terbayang-bayang dengan kejadian tadi.
Kita mundur pada satu jam yang lalu.
Setelah sampai di Darul Quran, Gus Sahil segera melepas seatbelt nya, bersiap untuk turun. Tapi sebelumnya ia menoleh dulu ke samping, tempat istrinya duduk. Di setengah perjalanan mereka tadi, Hafsa sudah terlelap dalam tidurnya, padahal tadi ia bersikeras tidak mau tidur untuk menemaninya.
Gus Sahil tersenyum, mendekati Hafsa.
"Sa," panggilnya lirih. Tidak ada reaksi. Sepertinya istrinya terlampau lelah. Gus Sahil kemudian menggunakan telunjuknya untuk menyentuh pundak Hafsa, tapi tetap tidak berhasil.
Merasa tidak tega membangunkan istrinya yang sudah terlelap, Gus Sahil akhirnya memutuskan untuk menggendong Hafsa keluar dari mobil. Mulanya ia merasa ragu. Karena meskipun sudah berstatus suami istri, mereka berdua belum pernah bersentuhan sama sekali.
Gus Sahil membuka pintu mobil dari sisi sebelah, melepaskan seatbelt Hafsa dengan hati-hati, dan membawa tubuh Hafsa pada kedua tangannya. Ia melakukan semuanya dengan sangat hati-hati, takut membangunkan istrinya. Dia sedikit membatin di dalam hati, apa memang istrinya sekurus ini? Karena dia merasa seperti tidak membawa apa-apa saat menggendong Hafsa.
Sampai di depan pintu kamar, Gus Sahil kembali membuka kunci pintu dengan perlahan. Agak susah memang, untungnya dia berhasil. Gus Sahil kemudian segera menuju kasur, membaringkan badan Hafsa di atasnya.
Saat sedang memperbaiki posisi bantal Hafsa agar terasa nyaman, tiba-tiba mata Hafsa terbuka. Gus Sahil terkesiap. Dalam posisi seperti itu, orang pasti salah paham. Jangan-jangan ia dikira melakukan hal yang tidak-tidak.
"Sa, maaf aku tadi—"
Belum selesai Gus Sahil menjelaskan, Hafsa menangkup kedua pipinya, menatapnya dengan senyuman manis. Dada Gus Sahil langsung berdesir melihat pandangan mata dan senyum yang indah itu. Sejujurnya, dia belum pernah melihat wajah istrinya dari jarak sedekat itu. Tatapan mereka berdua pun seolah terkunci, saling memandang satu sama lain dalam waktu yang lama. Sampai tiba-tiba, Hafsa mendekatkan wajahnya.
Cup!
Gus Sahil merasa bibirnya bertemu dengan sesuatu yang lembut. Dan itu adalah bibir istrinya! Saat tersadar, laki-laki itu segera melepaskan diri, menjauh dari sang istri.
Masih terkejut karena kejadian barusan, Gus Sahil semakin syok karena istrinya kembali terlelap. Loh, loh, loh, jadi yang barusan itu apa?
Maka sampai satu jam kemudian, Gus Sahil masih berbaring dengan mata yang tak kunjung tertutup. Dia juga membelakangi Hafsa, takut terjadi hal yang lain kalau melihat wajah istrinya lagi.
Kamu mikirin apa to Hil? Gus Sahil menepuk-nepuk jidatnya sendiri, mencoba menghilangkan pikiran kotor yang mulai merayapinya. Ia kemudian kembali menutup mata, kali ini sambil menghitung domba.
Satu domba, dua domba, tiga domba, ciuman domba.
...
Arghhhh!
...----------------...
Hafsa menggoreng tempe dengan tatapan kosong. Ia masih penasaran dengan mimpinya tadi malam. Kemarin itu benar-benar cuma mimpi kan? Hafsa mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tapi ia juga bingung bagaimana caranya bisa sampai di kamar, sementara dia ingat terakhir kali masih berada di dalam mobil.
"Ning.." samar-samar suara lirih seorang santri memanggilnya. Hafsa masih tidak sadar. Ia sibuk menggerakkan spatulanya sambil melamun.
"Ning!" Tepukan di pundak Hafsa segera menyadarkannya. "Maaf Ning, itu tempenya sudah gosong,"
Hafsa terhenyak. Melihat tempe goreng yang sudah menghitam. Buru-buru mematikan kompor. Hafsa menghela nafas berat. Duh, rasa penasaran benar-benar membuatnya tidak fokus melakukan apapun.
Maka, setelah sholat subuh usai, Hafsa pelan-pelan mendekati sang suami. Dia harus memastikannya sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
"Mas Gus," panggil Hafsa saat suaminya itu masuk ke kamar. Gus Sahil terkaget-kaget. Dia tidak menyadari kedatangan istrinya sama sekali.
"A-ada apa Sa?" tanya Gus Sahil terbata-bata.
"Emmm.." Hafsa memilin-milin ujung mukenanya. "Saya mau nanya,"
"Na-nanya apa?" Gus Sahil mencoba menenangkan nada bicaranya yang terdengar gugup. Melihat Hafsa membuat dadanya seketika berdesir hebat.
"Tadi malam, saya—"
"Oh, kamu nggak inget?" Gus Sahil buru-buru memotong perkataan istrinya. "Kamu kan turun dari mobil sambil merem-merem, aku sampai takut kamu kesandung," Gus Sahil berbohong.
"Oh ya?" suara Hafsa terdengar lega. "Jadi saya turun sendiri dari mobil?"
"I—ya?"
"Alhamdulillah," Hafsa segera mengucap syukur, menghela nafas lega. "Syukurlah kalau begitu. Ya sudah Mas Gus, saya cuma mau nanya itu saja kok. Saya mau ke belakang dulu ya, mau bantuin mbak ndalem nyuci baju,"
Gus Sahil menganggukkan kepalanya bingung. Ia memang merasa bersalah karena sudah membohongi Hafsa, tapi apa respon istrinya tadi? Alhamdulillah? Apa berciuman dengannya memang seburuk itu?
...----------------...
Mabrur terdiam di tempatnya sejak lima belas menit yang lalu. Ia melirik Gus Sahil yang duduk di sampingnya dalam hening. Sepertinya ada yang sedang dipikirkan sampai wajahnya terlihat begitu serius.
"Gus.." Mabrur melambaikan tangannya di depan wajah Gus Sahil. "Gus Sahil!"
Gus Sahil terhenyak dari lamunannya. "Apaan sih Brur? Ganggu saja. Yasudah ayo cepetan berangkat. Ini kenapa mobilnya nggak jalan dari tadi?"
Mabrur mengusap dadanya sendiri. Sabar Brur, sabar, orang sabar pantatnya lebar, Mabrur membatin.
"Kan njenengan belum ngasih tahu mau pergi kemana Gus,"
"Masa sih?" Alis Gus Sahil bertaut. "Memang aku tadi belum bilang?"
Mabrur menggelengkan kepalanya.
"Ponpes Basmallah," ucap Gus Sahil kemudian. "Kayanya tadi sudah bilang deh,"
Mabrur menghela napas. Mau menjawab juga pasti dianggap salah. Jadilah ia hanya terdiam sembari menyetir mobil keluar dari gerbang pondok.
Sepanjang perjalanan, Gus Sahil masih terdiam. Tatapannya kosong memandang jalanan yang ramai kendaraan. Mabrur tidak berani mengajak bicara, kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama musik dari radio mobil.
"Brur," panggil Gus Sahil tiba-tiba.
"Iya Gus?" Mabrur cepat menjawab.
"Kalau perempuan nggak mau dicium sama kita, itu tandanya apa ya?"
"Hah?" Mulut Mabrur melongo mendengar pertanyaan Gus Sahil. "Njenengan jangan tanya sama saya lah Gus. Saya kan belum nikah, mana pernah dicium sama perempuan?"
Gus Sahil berdecak. "Iya ya, percuma juga tanya sama kamu. Aku lupa kalau kamu jomblo dari lahir,"
Mabrur memutar bola matanya. Kenapa jadi dirinya yang kena sasaran sih?
"Tapi masa ciuman denganku seburuk itu sih? Apa katanya tadi? Alhamdulillah? Wah, nggak habis pikir aku," Gus Sahil menggelengkan kepalanya sendiri.
Mabrur sebisa mungkin membuat telinganya menjadi tuli seketika. Aduh Gus Sahil, tolonglah jangan bicarakan urusan kemesraan kalian di depan jomblo sepertiku!