Pernahkah kalian membayangkan, bagaimana rasanya bertemu mantan, yang tak lain merupakan cinta pertamamu?
Bella tak menduga jika ia kembali dipertemukan Arfa. Sosok mantan kekasih sekaligus cinta pertamanya, yang tak lain adalah Direktur baru tempatnya bekerja. Semula ia merasa percaya diri menganggap jika keadaan masih sama. Namun, sikap Arfa yang dingin dan ketus terhadapnya, membuatnya harus sadar diri, rasa percaya dirinya itu seketika terenggut dengan paksa. Bella memaksakan diri untuk membuang jauh-jauh perasaannya.
Namun, bagaimana jika keadaan justru membuatnya harus terus berdekatan dengan Arfa. Membuat rasa cinta itu tumbuh semakin besar. Seiring sesuatu alasan yang membuat Arfa berubah pun terkuak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arsyazzahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Lupa Janjimu
“Gimana hasil meetingnya bersama Tuan Dave, Ar?” tanya Aslan begitu melihat putranya tiba di rumah.
“Lancar, Pa.” Arfa mendudukkan kursinya di sebrang kursi sang Papa. “Papa sudah pulang?”
“Hemm baru sekitar satu jam yang lalu sampai.”
Arfa mengangguk. Hingga Maya–sang Ibu datang membawakan secangkir kopi untuk suaminya ikut bergabung. “Mau kopi, Ar?” tawarnya.
Arfa menggeleng. ”Gak lah. Udah ngopi tadi sama Tuan Dave dan Bel... Ehh maksudku Nona Alana.”
Arfa buru-buru meralat ucapannya tak ingin menyebut nama Bella di hadapan sang Ibu. Hal itu membuat Maya merasa heran dan curiga.
“Bukan Bella yang mau kamu sebut kan, Ar?” tanya Maya penuh selidik.
“Ma, apaan sih. Arfa baru pulang masa diomelin. Udah biar dua istirahat dulu.” tegur Aslan.
“Gak gitu Pa. Arfa kan udah janji mau nikahi Olivia. Gak mungkin kan tiba-tiba ia lupa. Lantaran di kantor bertemu dengan mantan kekasihnya yang miskin itu.”
“Ma!!” protes Arfa tak terima mana kala sang Ibu merendahkan Bella.
“Inilah yang tidak Mama setujui kalau kamu memimpin perusahaan Om Rio. Hatimu pasti akan berpaling, dan lupa janjimu. Mama tidak mau tahu pertunangan kamu dan Olivia harus disegerakan, setelah itu kita harus segera menentukan tanggal pernikahan, ” tegas Maya tak ingin diganggu gugat.
“Ma...”
“Atau Mama perlu mendatangi Bella, dan meminta untuk tidak menganggu mu? Atau memecatnya sekalian?!”
‘Pekerjaan ini sangat penting untuk saya, Pak Arfa'
Sekelebat kata-kata Bella terbayang di ingatan. “Jangan...”
Maya berdecih. “Sudah Mama duga jawabanmu. Kamu pasti akan seperti itu. Lebih memilih Bella.”
“Ma, pekerjaan dia bagus. Tidak ada alasan untuk kita memecatnya. Kasihan, adik-adiknya masih membutuhkan uang darinya, Ibunya juga sudah tiada.”
“Mama tidak peduli.”
“Oke. Lakukan yang bisa Mama lakukan tapi jangan lagi mengusik Bella!” sahut Arfa pasrah.
Lelaki itu memilih beranjak menuju kamarnya. Jika sudah ribut masalah Olivia dan Bella, rasanya kepala Arfa mau pecah. Ia menyesal tadi pulang tidak langsung masuk ke dalam kamarnya.
Kini Arfa mendudukkan dirinya di pinggir ranjang, setelah sebelumnya mengambil album fotonya dengan Bella. Di mana di sana terdapat beberapa foto dirinya dan Bella semasa putih abu-abu di kota Jogjakarta saat itu. Dulu Arfa memilih sekolah di Jogja lantaran permintaan sang nenek. Sementara kedua orang tuanya tetap tinggal di kota Jakarta.
Ia mengusap foto Bella di mana di sana gadis itu tengah tersenyum dengan rambut tergerai cantik. “Tidak ada yang berubah Bell. Kamu masih tetap cantik seperti dulu. Suka berbaur, dan menolong. Bahkan hatiku pun masih sama, tidak berubah sama sekali. Hanya saja nasib dan keadaan membuatku harus seperti ini. Maafkan aku, jika tidak bisa menepati janjiku,” seru Arfa sendu. Ia memeluk album foto itu lalu membawanya berbaring.
‘Saya sudah biasa diomelin. Di tolak mentah-mentah pun saya pernah,’
Kata-kata Bella tadi saat ia mengantarkan gadis itu pulang. Membuat Arfa tersenyum tipis, mana kala ia ingat di mana dirinya menolak mentah-mentah kopi buatan Bella saat pertama kali ia menginjakkan kaki di perusahaan. Seandainya saja Bella tahu, hatinya pun ikut sakit melihat gadis itu hampir menangis karena kemarahannya. Ia ingin berlari merengkuhnya. Namun, logikanya memilih jangan karena pada akhirnya Bella pasti akan terluka.
Tetapi, ketika melihat Bella di labrak oleh istrinya Dario hingga pingsan dan masuk rumah sakit. Hatinya kembali melunak, sesuatu dalam hatinya memberontak ingin kembali dekat dengan gadis itu. Ia tahu Bella gadis yang kuat, namun sisi lainnya menunjukkan ia rapuh dan membutuhkan sandaran.
Suatu kenyamanan yang tak bisa ia dapatkan saat bersama Olivia. Ia bisa dapatkan dari Bella, cinta pertamanya.
“Ya Tuhan. Seandainya kecelakaan itu tidak terjadi, aku tidak mungkin berada dalam posisi sulit ini.”