Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Suara tangis bayi memecah kesunyian ruang tunggu rumah sakit. Tangis kecil yang terdengar nyaring, dan begitu polos.
Nara duduk di sudut, menyaksikan keluarganya berkerumun di dekat inkubator kaca. Adiknya, Renata, terbaring lemah, tetapi wajahnya memancarkan kelegaan. Mantan tunangan Nara, Endra, memegang lembut tangan Renata, sesekali mencium keningnya dengan penuh kasih sayang.
Bayi mungil itu, menggerakkan tangan dan kakinya dengan lemah. Satu per satu anggota keluarga mendekat, memperlihatkan ekspresi takjub dan sayang.
“Cantik sekali, ya … wajahnya mirip sekali dengan Endra,” kata ibu Nara, suaranya bergetar menahan haru.
Nara menggigit bibirnya. Tatapannya kosong menatap lantai ubin yang dingin.
“Iya, mirip sekali dengan Endra, ya … matanya, hidungnya … bibirnya juga.” Ibunya Endra menambahkan, suaranya terdengar riang.
Lagi, pujian demi pujian ditujukan pada bayi mungil perempuan itu. Seluruh perhatian sedang tercurah pada bayi yang usianya baru beberapa jam itu.
“Katanya sih, kalau bayi wajahnya mirip sekali dengan papanya, artinya papanya yang cintanya paling besar,” kata ibu Renata yang tampaknya terlalu bahagia menimang cucu pertama, sampai-sampai tidak menyadari anaknya yang lain sedang menahan tangis.
“Naf-sunya kali yang paling besar waktu bikin,” sahut Bibi yang juga ikut antusias menyambut kelahiran bayi Renata.
Perkataan Bibi membuat semua orang tertawa. Mereka semua tampak bahagia. Semuanya, kecuali Nara.
Hati Nara terasa diperas dengan kuat. Setiap kata yang terlontar, tiap tawa dan bisikan penuh kasih sayang itu, adalah tamparan bagi hatinya yang hancur.
Ia merasa sendiri, terasing di tengah keluarga yang sedang bergembira. Air matanya jatuh membasahi pipi, lambat tetapi mampu membanjiri hatinya.
Nara memejamkan mata, mencoba menghalau bayangan-bayangan yang terus berputar dalam kepalanya. Bayangan Endra yang tersenyum penuh kasih sayang kepada bayi mungil itu, bayi perempuan yang sangat mirip dengannya.
‘Ironis sekali. Lelaki yang dulu berjanji akan mencintaiku seumur hidup, kini mendekap perempuan lain dengan kasih sayang yang dulu pernah dia berikan kepadaku.’
‘Lima tahun. Lima tahun aku bersamanya. Lima tahun aku membangun mimpi, merencanakan masa depan, mencari tempat untuk berteduh dari terik matahari, tetapi akhirnya aku hanya merasakan dinginnya lantai setelah kepergiannya.’
Nara merasakan tangannya gemetar. Ia mencengkeram erat roknya, mencoba untuk mengendalikan gemetar tubuhnya. Bayi itu … setiap lenguh dan tangisnya adalah pengingat akan kehilangan dan pengkhianatan.
Udara di ruangan itu terasa begitu berat, dipenuhi oleh kesedihan yang tersembunyi di balik senyum-senyum terpaksa. Tangis bayi yang seharusnya menjadi tanda sukacita, justru membangkitkan luka yang menganga di hati Nara. Kesunyian di sudut ruangan itu seakan berbisik, mengisahkan kisah cinta yang hancur dan harapan yang sirna.
Rasanya ia ingin berteriak, ingin memberitahu mereka semua betapa perih hatinya. Ingin menjelaskan bahwa di balik senyum yang dipaksakannya, ada luka menganga yang tak kunjung sembuh. Ingin mengatakan bahwa dia juga ingin menikah dan punya anak, ingin merasakan cinta seorang ibu.
Namun, kata-kata itu terhambat di tenggorokannya. Hanya isakan-isakan kecil yang keluar, sunyi, dan pilu.
Bayangan-bayangan masa lalu terus menghantuinya. Kenangan indah bersama Endra, masa-masa penuh cinta dan harapan, semua hancur lebur seperti debu yang beterbangan ditiup angin. Tangis bayi mungil itu semakin menambah kesedihan yang mencekam hatinya. Seolah-olah seluruh dunia sedang melawannya, sedangkan Nara hanya seorang diri yang tenggelam dalam samudra kesedihan yang tak bertepi.
Endra, sesekali melirik Nara, tetapi hanya sekilas. Seolah tak ingin mengusik kesedihannya. Entah karena merasa bersalah, atau hanya sekadar ketidaknyamanan.
Nara tak peduli. Karena tak ada yang akan mampu mengobati luka hatinya selain waktu, mungkin. Atau mungkin tidak ada obat sama sekali.
Nara kini melirik ke arah Endra yang masih setia mengusap kepala Renata. Pandangan yang begitu mesra …
‘Senyum yang begitu manis … itu yang dulu selalu dia berikan kepadaku. Sekarang, semuanya milik orang lain.’ Air mata Nara jatuh membasahi pipinya. ‘Aku kehilangan segalanya … aku kehilangan dia, aku kehilangan masa depanku.’
Nara bangkit, meninggalkan ruangan itu dengan tubuh yang terasa lemas. Langkahnya gontai menyusuri lorong rumah sakit yang sunyi. Lalu, ia menjeda langkahnya sebentar di dekat jendela.
Dari jendela itu Nara dapat melihat gemerlap kota dari atas rumah sakit, tetapi hanya terlihat buram oleh air mata yang mengalir di pipinya. Cahaya kota tak mampu menerangi kegelapan yang mencengkeram hatinya.
Kota yang begitu ramai itu terasa begitu sunyi baginya. Hanya ada dirinya, kesedihan, dan bayangan Endra yang memeluk perempuan lain.
Ia bertanya-tanya, “Apakah ada harapan yang tersisa untukku? Apakah hatiku akan sembuh dari luka yang dalam ini? Ataukah aku akan terus terjebak dalam kegelapan ini selamanya?”
Tanpa sadar, Nara melanjutkan langkahnya. Menikmati kesedihannya di dalam bus kota yang membawanya pulang.
Lagu-lagu patah hati mengiringi perjalanannya yang lelah. Dia seperti hancur sendirian tanpa ada seorang pun yang menghiburnya.
Sampai akhirnya, sebuah pesan mencuri perhatiannya. Bukan pesan dari ibu atau ayahnya, melainkan pesan dari seorang yang tak terduga.
Undangan pesta dari Anya, sahabatnya saat SMA, tiba di tengah kepedihan Nara. Anya menuliskan alamat yang samar dan meminta Nara untuk datang setelah mendengar berita bahwa Renata sudah melahirkan.
“Kamu harus datang. Kalau tidak, aku akan memblokir nomormu!”
Peringatan keras bernada ancaman dari Anya membuat Nara sedikit terhibur. Meski sedikit ragu, tetapi rindu akan sahabatnya membuat Nara mengiyakan.
Sesampainya di rumah, ia memilih gaun hitam sederhana, menyisir rambut dan mengikatnya tinggi-tinggi, tidak seperti biasanya.
Begitu sampai di tempat tujuan, Nara tercengang. Ini bukanlah pesta rumah biasa.
Bangunan megah berdesain futuristik, dengan penjagaan ketat, menyambutnya. Musik berdebar keras dari dalam, mengungkapkan sebuah night club mewah yang tak pernah terbayangkan Nara.
Ini adalah dunia yang berbeda, jauh dari kehidupan sederhana Nara.
Di dalam, lampu-lampu berwarna-warni berkelap-kelip, irama musik menghentak, dan orang-orang berdansa dengan liar.
“Nara!” Anya menyambutnya dengan hangat, kemudian memaksanya untuk bergabung dengan teman-teman Anya yang lainnya.
“Kenapa kamu bikin pesta di sini sih? Kamu kan tahu, aku nggak biasa ….”
Anya menutup mulut Nara dengan jari telunjuknya dan menjawab, “Karena aku tahu, kamu butuh tempat ini untuk melampiaskan kesedihanmu. Di sini ….” Anya melirik ke sekeliling sebelum kembali melanjutkan, “Banyak cowok-cowok tajir dan tampan. Kamu bisa dapat yang lebih dari seekor Endra!”
Anya lalu menyeret Nara untuk duduk di meja yang telah dia dan teman-temannya pesan. Mereka bercanda, bernyanyi, dan menawarkan koktail beraneka warna.
Awalnya Nara menolak, tetapi Anya dan teman-temannya meyakinkan Nara untuk minum.
“Ayolah, Nara! Alkohol akan menghilangkan kesedihanmu!” seru Dania, teman Anya.
“Tapi, aku nggak ….”
“Cobain dulu deh, kalau nggak enak nggak usah lanjut!” Anya memaksa dan memindahkan gelas minuman itu ke tangan Nara.
Terpaksa, Nara meminum koktail yang ditawarkan. Satu demi satu gelasnya berkurang. Ia mencoba untuk melupakan sejenak rasa sakitnya.
Namun, alkohol justru membuka tabir kesedihan di hati Nara. Malam semakin larut, teman-temannya sudah mulai beranjak pulang.
Nara menggeleng saat Anya mengajaknya pulang. “Aku masih ingin di sini,” katanya lirih. Kepalanya terasa berat, pikirannya kacau.
“Kamu terlalu banyak minum, Nara. Kita harus pulang,” kata Anya sedikit cemas, meski dirinya sendiri sudah mabuk.
“Nggak,” sahut Nara, suaranya sedikit serak. “Aku perlu ini. Aku harus … harus … melupakan semuanya.”
Dengan langkah gontai, Nara mendekati meja bar. Ia ingin memesan minuman lagi.
Di tengah hiruk pikuk musik dan suara riuh, matanya menangkap sebuah gelas berisi cairan berwarna merah tua. Tanpa berpikir panjang, Nara merebut gelas itu dari tangan seorang pria yang duduk di sebelahnya.
“Aku haus sekali,” ucap Nara, suaranya hampir tak terdengar di antara gemuruh musik.
Pria itu menatapnya dengan tatapan heran. Baru saja minumannya dirampas di depan mata. Oleh seorang gadis yang terlihat sangat mabuk.
Nara menghabiskan minuman itu dalam sekali teguk. Cairan itu membakar tenggorokannya, membuat matanya berkaca-kaca.
“Hei, itu minumanku!” seru pria itu.
“Maaf,” ucap Nara dengan lirih.
Dia mulai mengoceh, suaranya semakin tinggi. “Mereka … mereka mengkhianatiku! Baji ngan itu … Endra … dan Renata … si ja lang itu!” ucapnya terbata-bata. “Aku akan minum sampai mabuk. Aku akan maki mereka sampai puas!” Air matanya kini bercampur dengan alkohol, menetes deras.
Gadis itu kembali meneguk minuman di depan pria asing tadi, dalam sekali teguk. Suaranya semakin keras, menggema di tengah hiruk pikuk suasana klub malam. Ia tidak peduli siapa yang mendengarnya. Ia hanya ingin melampiaskan rasa sakitnya.
Malam ini, ia ingin bebas. Bebas memaki, bebas menangis, bebas tenggelam dalam kesedihannya sendiri.
“Nona, ini minumanmu. Itu bukan milikmu!” seru bartender memperingatkan Nara.
“Biarkan saja! Aku tidak keberatan,” sahut pria asing itu yang kemudian memandangi Nara dengan intens.
Dia tersenyum, seolah ikut merasa lega saat Nara berteriak memaki-maki nama Endra dan Renata.
“She is so cute!”
***
Halo Assalamualaikum, aku Itta Haruka. Ketemu lagi denganku di sini setelah sekian purnama. Mohon dukungannya dengan kasih like dan komen, dan wajib bintang 5 ya. Kalau mau kasih sesajen kembang sama kopi di kolom hadiah, aku akan rajin update 🤭