Dalam menimba ilmu kanuragan Getot darjo memang sangat lamban. Ini dikarenakan ia mempunyai struktur tulang yang amburadul. hingga tak ada satupun ahli silat yang mau menjadi gurunya.
Belum lagi sifatnya yang suka bikin rusuh. maka hampir semua pesilat aliran putih menjauh dikala ia ingin menimba ilmu kanuragan.
Padahal ia adalah seorang anak pendekar yang harum namanya. tapi sepertinya pepatah yang berlaku baginya adalah buah jatuh sangat jauh dari pohonnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ihsan halomoan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penambahan Gelar
Getot berdiri terpaku, memandangi pedang yang baru saja ia terima. Aura kelam namun agung memancar dari bilah hitamnya, seolah ada rahasia purba yang tersembunyi di dalamnya. Ia merasakan kekuatan yang luar biasa, dingin namun memikat, mengalir dari gagang pedang ke seluruh tubuhnya.
"Udhet," ucap Getot, suaranya tercekat takjub, "pedang ini... sungguh luar biasa. Aku bisa merasakan betapa keramatnya pedang ini. Ini bukan pedang biasa."
Udhet menggeram pelan, seolah setuju.
"Bagaimana kalau aku tambahkan sedikit gelar pada pedang ini, Udhet?" Getot menyeringai, matanya berbinar penuh ide. "Aku akan menamainya Pedang Keramat Naga Laknat. Bagaimana menurutmu, Udhet?"
"Grokk... Grokk..grokk," Udhet merespons dengan geraman riang, yang Getot tafsirkan sebagai persetujuan dan pujian.
"Hahaha, keren, kan?" Getot tertawa bangga. "Ya, memang keren sekali! Tapi, Udhet, pedang ini butuh sarung. Aku tidak mau membawa pedang telanjang seperti ini. Terlalu mencolok, dan bisa menarik perhatian yang tidak diinginkan."
"Grokk grokk.." Udhet menggeram, lalu merayap pelan menuju lorong lain, seolah menyuruh Getot mengikutinya.
"Ruang harta karun?" tebak Getot, mengingat kembali tempat penuh emas dan senjata itu. "Baiklah, ayo kita ke sana!"
Mereka pun bergegas menuju ruangan harta karun. Pintu baja yang dulunya terasa begitu misterius kini terbuka dengan mudah oleh Udhet, mengungkapkan tumpukan emas dan perhiasan yang berkilauan. Namun, fokus Getot kali ini bukan pada harta karun itu, melainkan pada deretan pedang yang tergantung di dinding, beberapa di antaranya lengkap dengan sarung.
Udhet menggeram, menyuruh Getot mencari sarung yang cocok untuk pedangnya. Getot mulai mencoba satu per satu sarung pedang yang ada. Ada yang terlalu longgar, ada yang terlalu sempit, bahkan ada yang bentuknya sama sekali tidak pas. Ia mencoba dengan teliti, mencari yang paling sempurna untuk Pedang Keramat Naga Laknatnya.
Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Getot menemukan sarung yang pas. Sarung itu terbuat dari kulit hitam tebal, dengan ukiran naga yang samar tersembunyi di permukaannya, seolah memang dirancang untuk pedang ini. Ketika Pedang Keramat Naga Laknat masuk ke dalamnya, aura kuat yang tadi memancar langsung meredup, menyembunyikan kekuatannya dari pandangan mata.
Getot tersenyum puas. "Ini dia! Pas sekali, Udhet! Sekarang aura pedang ini sudah tersembunyi. Tidak akan ada yang tahu kekuatan sebenarnya yang disimpan."
"Grokk grokk," Udhet menggeram, menyetujui.
Godaan Emas dan Pesan Dinding
Getot memegang Pedang Keramat Naga Laknat yang kini tersembunyi rapi di dalam sarungnya. Ia merasakan aura yang lebih tenang, namun kekuatan yang sama masih berdenyut di dalamnya. Udhet menggeram, seolah mengajaknya keluar dari ruang harta karun. Udhet melangkah lebih dulu, tubuh besarnya menghalangi pandangan. Namun, dasar Getot yang mata duitan, kesempatan tak ia sia-siakan.
Dengan gerakan cepat yang hanya ia kuasai berkat ilmu meringankan tubuh, Getot menyambar lima keping emas dari peti yang terbuka. Gerakannya begitu halus, nyaris tak bersuara. Ia menyelipkan kepingan-kepingan itu ke balik pakaiannya, senyum licik terukir di bibirnya.
Udhet berhenti melangkah. Ia memang tidak menoleh, tapi tubuhnya yang besar sedikit bergetar, seolah ia sudah memprediksi kenakalan Getot.
Slepettt....
Tiba-tiba, lidah Udhet menyambar cepat dari belakang, menghantam pinggang Getot dengan keras.
Bughh!
Getot terlempar menabrak tembok gua.
Gedubrak!
"Arghhh... adaww!" Getot meringis kesakitan, memegangi pinggangnya yang nyeri.
"Grokk... grokk," Udhet menggeram, suaranya terdengar kesal.
"Ah, kau Udhet! Pelit sekali, lah! Cuma lima keping saja," gerutu Getot sambil mencoba bangkit.
"Grokk," balas Udhet singkat, terdengar sangat tidak setuju.
"Baiklah. Baik," Getot mengalah. Dengan mendengus kesal, ia mengeluarkan lima keping emas itu dan mengembalikannya ke peti.
Namun, ketika Udhet kembali berbalik dan merayap maju, secara perlahan, dengan memanfaatkan ilmu peringan tubuhnya, Getot kembali meraih tiga keping emas. Kali ini ia lebih berhati-hati, gerakannya nyaris tak berjejak. Udhet, yang sudah merasa "aman", tidak menyadari akal bulus Getot.
Setelah itu, pintu baja ruang harta karun tertutup dengan bunyi berdebam yang berat. Udhet lantas mengajak Getot menuju lorong dinding berukir untuk melanjutkan pelatihan.
Setibanya di lorong dinding berukir, Getot kembali menatap ukiran kuno itu. Tangannya menyentuh permukaan batu, mencari petunjuk jurus selanjutnya. Matanya menyusuri baris-baris aksara yang terpahat.
"Jurus selanjutnya," Getot membaca dengan suara pelan, "Ja... ngan... se... ra... kah..." Ia mengernyitkan dahi. "Hah?! Apa maksudnya ini?!"
Ia membaca lagi, lebih teliti. "Ja... ngan... se... ra... kah. Tu... li... san... se... la... njutnya... akan... menghilang... dan... akan... muncul... lagi... setelah... dua... tahun."
Seketika itu juga, tanpa peringatan, sisa ukiran yang masih banyak di dinding itu berkedip, lalu menghilang sepenuhnya, meninggalkan permukaan batu yang kosong.
"Waduh! Bagaimana ini, Udhet?" Getot panik, mengusap-usap dinding yang kini mulus.
"Grokk," Udhet menggeram tenang.
"Selesai katamu?" Getot bertanya tak percaya. "Jadi, untuk sementara selesai?"
"Grokk," Udhet membenarkan.
"Loh! Aku belum punya jurus untuk menyerang jarak jauh, Udhet!" Getot mengeluh, merasa tak lengkap. "Bagaimana kalau nanti musuhku lari dan aku tidak bisa mengejarnya?"
Tiba-tiba, ukiran dinding itu muncul lagi, tepat di bagian yang tadi hilang.
"Hih, dinding aneh! Muncul lagi!" Getot bergumam, lalu membacanya.
"Kem... bang... kan... ju... rus... ba... nyu... hi... tam..."
Lalu, ukiran itu menghilang lagi, sama seperti sebelumnya.
"Hmm, bagaimana caranya?" Getot berpikir keras, mencoba mencerna petunjuk yang singkat itu.
"Grokk," Udhet menggeram, seolah ingin memberi petunjuk.
"Kau mau memberiku petunjuk, Udhet? Baiklah. Tapi, pedang ini bagaimana? Masa tidak ada jurusnya sama sekali?" Getot menatap Pedang Keramat Naga Laknat yang kini terselip di pinggangnya, diselimuti sarung.
Kembali ukiran itu muncul lagi, di tempat yang sama.
"Hihh, muncul lagi!" Getot mengeluh lagi, sedikit kesal dengan dinding yang seolah mempermainkannya.
Getot kembali membaca.
"Ja... ngan... bo... doh. Gu... na... kan... saja... ju... rus... ta... pal... ban... tam. Sam... pai... jum... pa... lagi... Ge... tot... bo... doh. Wiiiihhh! Apakah dinding ini punya nyawa?!"
Getot terlonjak mundur, terkejut bukan kepalang. Kalimat terakhir itu terasa seperti ejekan langsung kepadanya. Ukiran itu pun menghilang lagi, meninggalkan Getot dengan rasa jengkel dan merinding.
"Dinding aneh! Hihh... merinding pula aku jadinya!" Getot bergidik.
"Grokk grokk grokk," Udhet tertawa, tubuhnya sedikit berguncang.
"Jangan tertawa kau, Udhet!" Getot mendengus, wajahnya memerah. "Masa aku dikatai bodoh sama dinding! Huh... arghhhh!" Getot bertingkah laku bak macan yang siap menerkam tembok, menggeram dan menghentakkan kakinya.
Udhet hanya menggeram lagi, seolah menyuruh Getot untuk melanjutkan pelatihan, mengabaikan ejekan dari dinding.