Dul mengerti kalau Bara bukan ayah kandungnya. Pria bijaksana yang dipanggilnya ayah itu, baru muncul di ingatannya saat ia duduk di bangku TK. Namanya Bara. Pria yang memperistri ibunya yang janda dan memberikan kehidupan nyaman bagi mereka. Menerima kehadirannya dan menyayanginya bak anak kandung. Ibunya tak perlu memulung sampah lagi sejak itu. Ibunya tak pernah babak belur lagi. Juga terlihat jauh lebih cantik sejak dinikahi ayah sambungnya.
Sejak saat itu, bagi Dul, Bara adalah dunianya, panutannya, dan sosok ayah yang dibanggakannya. Sosok Bara membuat Dul mengendapkan sejenak ingatan buruk yang bahkan tak mau meninggalkan ingatannya. Ingatan soal ayah kandungnya yang merupakan terpidana mati kasus narkoba.
Perjalanan Dul, anaknya Dijah yang meraih cita-cita untuk membanggakan ayah sambungnya.
*****
Novel sebelumnya : PENGAKUAN DIJAH & TINI SUKETI
Cover by @by.fenellayagi
Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
032. Bisa Baper
Seusai makan siang, Dul melewati siang itu dengan menyelesaikan puzzle yang sebenarnya masih jauh dari kata selesai. Mungkin Bara melihat Dul terlalu cepat menyelesaikan sepapan puzzle kemarin-kemarin. Sehingga puzzle raksasa itu adalah jawabannya.
Dengan duduk berdampingan bersama Pak Wirya, Dul masih menunduk. Semua tamu sudah pulang dan malam itu mereka jadi menginap di rumah orang tua Bara.
“Dul …,” panggil Pak Wirya.
“Ya, Kung?” Dul mendongak.
“Kamu tahu kalau Ibu sedang sakit?” tanya Pak Wirya, menunduk dengan sekeping puzzle di tangannya.
“Tau, Kung. Tadi waktu Uti ngomong aku denger,” ucap Dul. Kembali menunduk menyusun puzzle-nya.
“Nantinya Dul bakal punya adik. Entah itu laki-laki atau perempuan. Dul gimana?” tanya Pak Wirya lagi.
Dul memandang wajah Pak Wirya di depannya. “Aku mau, Kung. Aku seneng. Ayah juga pernah nanya kayak gitu. Jawabanku sama,” ujar Dul. “Aku seneng karena bakal punya temen. Temenku di TK hampir semua punya adik. Makanya aku juga kepingin.”
“Bagus—bagus, kalau Dul mengerti. Akung seneng dengernya.” Pak Wirya terkekeh-kekeh menjawil pipi Dul yang ikut tertawa.
Di rumah orang tua Bara, Dul lebih banyak menghabiskan waktu di kamar adik perempuan Bara yang bernama Sukma. Pak Wirya menemaninya masuk ke kamar itu dan menunjukkannya beberapa mainan anak Sukma yang mungkin membuat Dul tertarik. Tapi meski Pak Wirya mengatakan bahwa ia boleh menggunakan mainan di sana, Dul hanya berbaring di ranjang seraya menatap langit-langit. Ia sedang menunggu ibunya. Saat itu … Dul sedikit merasa kesepian.
Seluruh kesadaran dan kemakluman yang dimiliki Dul di usia itu, dikumpulkannya untuk memahami kondisi sang ibu. Di rumah, ia sedikit kesepian. Dan di rumah orang tua Bara, ia lebih kesepian dan masih merasa asing.
Dul merasa Pak Wirya adalah seorang kakek yang sempurna. Di hatinya timbul rasa kagum dan tenang setiap mendengar pria tua itu berbicara. Namun, ia belum merasa begitu dekat. Juga dengan Bu Yanti. Wanita itu baik, tapi sampai dengan kemarin malam Dul masih mendengar Bu Yanti menyebutnya dengan ‘Anak Dijah’ saat bicara dengan Pak Wirya. Ia memang anak ibunya, tak ada yang salah dalam hal itu. Tapi, sebutan itu seakan menegaskan bahwa ia memang bukan anak kandung Bara. Ia sedikit berkecil hati.
Sesudah percakapannya bersama Pak Wirya, Dul perlahan menyadari satu hal. Bahwasanya ia dan ibunya tak bisa sedekat dulu. Semenjak ibunya mengandung, mereka jarang mengorbol. Sebelum-sebelumnya, setiap menjelang tidur ibunya sering datang ke kamar dan ikut berbaring di sebelahnya. Mengusap punggung dan menepuk-nepuk pelan pahanya sampai tertidur.
Sebelumnya mereka banyak bercerita. Ibunya sering bertanya soal apa yang ia rasakan setelah memiliki Bara sebagai ayahnya, bertanya makanan apa yang ingin dimasakkan untuknya, atau juga mainan apa yang ingin dimilikinya.
Meski enggan, Dul mengakui kalau semakin hari ia semakin kesepian. Sekarang ibunya banyak berbaring, tidur, muntah, lalu tertidur kembali. Jarang sekali ia melihat ibunya duduk tegak seperti biasa. Apakah sesakit itu saat akan memiliki seorang anak? Dul jadi membayangkan bagaimana keadaan ibunya saat mengandung ia dulu. Apa sakit ibunya berbahaya?
Tidur dalam keadaan hati galau dan mengasihani dirinya sendiri, keesokan pagi Dul terbangun karena guncangan pelan di bahunya. Ia menggeliat dan seketika terbelalak.
“Uti?” Dul cepat-cepat menegakkan tubuhnya.
“Ayo, bangun. Mandi dulu baru sarapan,” ajak Bu Yanti.
Berbeda jika ibunya yang membangunkan, Dul pasti menggeliat berlama-lama dan memeluk tubuh ibunya sebelum dipaksa untuk segera mandi. Kali itu ia langsung bangkit dari ranjang.
“Iya, Uti … mandi, ya? Iya … sebentar,” ucap Dul, bergerak canggung selama beberapa detik menarik selimut dan merentangkannya. Ia berusaha melipat selimut serapi seperti ia dapati kemarin malam.
Tiba-tiba Bu Yanti menahan tangan Dul. “Sudah … sini selimutnya.” Bu Yanti melipat selimut itu dengan cekatan dan meletakkannya di atas bantal. Setelah merapikan ranjang yang sedikit kusut, Bu Yanti memutar tubuh menatap Dul. “Gimana mau melipat selimut kalau selimutnya jauh lebih besar dari kamu? Tolong, Uti … ngomong gitu,” ujar Bu Yanti, menggandeng tangan Dul keluar kamar.
"Iya, tolong Uti ... eh, makasih, Uti," ralat Dul.
Selesai mandi dan berpakaian rapi, Dul celingukan mencari ibunya.
“Nyari siapa? Ibu?” Tiba-tiba Pak Wirya sudah duduk di sebelahnya.
Dul mengangguk dan nyengir menatap Pak Wirya yang sepertinya selalu tahu apa yang sedang ia pikirkan.
“Ibu tadi udah keluar, sekarang masuk lagi ke kamar. Kalau kita sarapan bertiga bareng Uti, enggak apa-apa, kan?”
“Enggak apa-apa, Akung.”
“Kalau enggak apa-apa … kamu sarapan sekarang. Ini nasi goreng Uti yang masak. Kamu harus banyak makan. Karena kamu ini termasuk kurus untuk anak seusiamu.” Bu Yanti meletakkan sepiring nasi di hadapan Dul.
“Ayo, dimakan sekarang. Tadi ayah kamu bilang sebentar lagi bakal pulang ke rumah karena ada temen-temennya mau dateng.” Pak Wirya mengangguk pada Dul dan ikut memusatkan perhatian pada nasi goreng miliknya.
Sebentar lagi pulang?
Dul menghabiskan nasi gorengnya dengan lahap. Selain karena enak, ia tak sabar ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Meski ibunya masih banyak berbaring, di rumah setidaknya ia tidak terlalu tegang seperti di sana.
“Udah makannya? Enggak mau nambah?” tanya Bu Yanti menatap piring Dul yang kosong.
“Udah, Uti … aku udah kenyang,” jawab Dul, berdiri dari meja dan membawa piringnya ke bak cuci.
“Sudah—sudah, taruh di sana aja. Belum bisa bantu cuci piring sekarang. Bak cucinya masih terlalu tinggi buat kamu.” Bu Yanti mengawasi Dul yang meletakkan piring dan kembali ke meja makan. “Ayo, sekarang ke sini. Minum madu.” Bu Yanti menuangkan madu ke sendok dan menyuapinya untuk Dul. Tak hanya sesendok, pagi itu Bu Yanti setengah memaksanya menelan dua sendok madu yang sangat kental. Sedangkan Pak Wirya duduk tenang memperhatikan apa yang dilakukan istrinya.
“Mau Uti bawain madu ini, tapi udah mau habis.” Bu Yanti menerawang isi botol madu di tangannya. “Nanti bilang ke ayah minta beliin madu, ya. Dulu ayah kamu juga kurus. Setiap hari minum madu biar lebih selera makan.”
Ayah kamu? Uti udah ngomong kalau aku anak ayah?
Dul mengangguk dan mengingat-ingat itu sebagai suatu hal yang penting yang harus dikatakannya pada Bara.
Tak lama selesai makan, Bara berpamitan untuk membawa keluarganya pulang. Dul mengerling wajah ibunya yang duduk di jok depan menyandarkan kepala dengan wajah lesu.
“Memangnya siapa yang mau dateng, Bu?” tanya Dul, memajukan tubuhnya ke depan dan menggelatuti lengan ibunya.
“Temen-temen Ibu yang dari kos-kosan kandang ayam. Kamu bakal ketemu Robin karena ibunya juga ikut dateng.”
Mata Dul membulat senang. “Asiiik … aku punya temen main,” seru Dul.
To Be Continued