Dul
Novel berjudul DUL ini adalah spin-off dari novel PENGAKUAN DIJAH, bergenre drama dan rating 13+ serta bisa dibaca oleh semua usia.
Pastikan memilih bacaan yang tepat, berkomentar cerdas dan santun untuk menunjukkan identitas kita, serta menyadari bahwa semua cerita dalam novel hanyalah penuturan subjektif dari penulis.
Selamat datang di dunia imajinasi juskelapa.
*****
Munculnya ingatan Dul terpisah-pisah. Beberapa potong ingatan indah tersimpan rapi dan ingin terus dikenangnya. Ingatan tak mengenakkan yang ingin dilupakan, juga tersimpan rapi. Meski ia ingin membuang ingatan buruk, ingatan itu seakan ingin bertahan agar bisa tetap membuatnya takut.
Sekali waktu ia mengingat percakapan kecil yang dilakukannya bersama sang ibu. Walau ia jarang menjawab dan tak mengerti apa yang dibicarakan, ibunya kerap selalu berbicara. Dul hanya diam mendengar. Ia menganggap, dengan mendengar ibunya berbicara, hal itu bisa menghilangkan gurat lelah di wajah cantik wanita itu.
Ingatan pertama yang muncul di benak Dul adalah saat mendengar suara pisau beradu dengan talenan. Dul merasa tubuhnya sedikit terguncang-guncang. Ia setengah terkantuk-kantuk, dan terikat ke tubuh ibunya dengan sebuah jarik. Saat membuka sedikit mata, Dul menyadari mereka sedang berada di dapur. Ia sedikit menelengkan kepala untuk melihat apa yang sedang dikerjakan ibunya. Setelah melihat wortel dan buncis yang dipotong-potong, Dul menyadari kalau wanita itu akan merebus semua sayuran ke dalam panci dan menyemplungkan beberapa potong kecil ayam.
“Masak sop ayam?” tanya Dul dengan suara parau kekanakan.
“Biar kamu cepat sembuh,” sahut Dijah.
Orang-orang kerap memanggil ibunya dengan sebutan Dijah. Dul belum tahu nama panjang perempuan yang melahirkannya saat itu. Di usia itu, nama baginya bukan masalah. Permasalahan bagi Dul saat itu adalah ia ingin tinggal dan tidur di dekat ibunya.
“Badan kamu masih panas, dari tadi ngelindur terus. Jadi Ibu gendong. “Sekarang, apanya yang sakit?” tanya Dijah lagi.
“Badan,” sahut Dul pendek. Tak menjelaskan dengan rinci seperti apa sakit di badannya. Ibunya pasti sudah tahu, pikirnya.
“Kita ke depan dulu. Kamu baring sebentar biar Ibu siapin sop-nya. Mbah Wedok belanja ke pasar. Mbah Lanang enggak usah ditanya. Katanya ke warung sebentar, tapi udah dua jam enggak pulang-pulang. Mungkin sekalian ngopi dan main catur. Taunya ngomel terus. Katanya kemarin malem kamu rewel sampai Mbah Lanang enggak bisa tidur." Dijah merentangkan kasur busa menggunakan kaki, lalu duduk perlahan memindahkan Dul dari gendongan.
“Aku mau sekolah,” ucap Dul.
“Belum bisa. Tahun depan baru masuk TK. Baring di sini,” kata Dijah, menurunkan Dul dengan perlahan.
“Ibu tidur di sini. Jangan pulang,” ucap Dul lagi. Malam itu ia benar-benar ingin ditemani ibunya. Kemarin malam ia bermimpi buruk dan teringat bahwa ia terbangun dengan sisa lengkingan di tenggorokan. Ia mengigau. Mbah Lanang marah dan mengomelinya agar kembali tidur.
Saat Dul meletakkan kepalanya ke bantal, ibunya berhenti untuk menatap. Ibunya terlihat cantik sekali, pikir Dul. Meski kaus yang dikenakan ibunya berleher kendur, rambutnya terikat sederhana, dan wajahnya terlihat sangat lelah.
“Ya, udah … malem ini Ibu nginep di sini. Kita bisa tidur di depan tv berdua. Kalau kamu enggak bisa tidur, nanti Ibu puterin film kartun. Sekarang baring dulu. Ibu mau beresin masakan,” kata Dijah.
Dul langsung bergulung mendekap guling kecil semasa bayi yang masih ia gunakan. Guling kempes dan memiliki aroma khas buatnya.
Malam itu adalah kenangan di mana Dul merasa begitu bersalah pada ibunya. Malam penyebab luka yang tak pernah sembuh. Karena ia yang terlalu memaksa meminta ibunya menginap di rumah mbahnya. Untuk kali pertama, ia melihat ibunya dipukuli mati-matian.
Mereka baru saja meletakkan kepala di bantal. Berdua berpelukan menonton sisa acara televisi yang hampir selesai di pukul sebelas malam. Dul berbaring miring, punggungnya baru ditepuk-tepuk pelan agar ia bisa segera tertidur. Lalu mereka dikejutkan dengan gedoran pintu depan dan suara teriakan laki-laki yang memanggil ibunya.
Itu suara bapak Dul. Namanya Fredy. Bapak kandung yang sudah sangat lama berpisah dari ibunya.
“Dijah ...! Aku tau kamu di dalam! Keluar! Aku perlu teman tidur!” teriak Fredy.
Dul melirik ibunya. Dijah meletakkan telunjuk di depan bibir meminta Dul untuk tetap diam. Tapi ternyata beberapa menit berpelukan dalam diam, tak membuat Fredy percaya.
Beberapa detik yang terasa lama, suara di luar kembali senyap. Jam dinding menunjukkan hampir tengah malam. Lalu bersamaan ibu dan anak itu melihat kilatan api dari celah tipis pintu kayu yang sudah sepuh.
“Aku bawa obor! Mau tak bakar rumah ini kalau kamu enggak keluar! Biar habis sekalian!” jerit Fredy lagi.
Dengan matanya yang cekung, Dul mengerti apa yang dimaksud bapaknya. Di usianya, dia cukup mengerti kalau api itu bisa melahap seluruh rumah dan mencelakakan mereka semua.
“Kurang ajar! Kamu jangan keluar,” pinta Dijah pada Dul. “Pak! Bapak! Bangun! Itu Fredy dateng mau bakar rumah!” teriaknya lagi.
Lima menit kemudian bapak Dijah keluar dari kamar. Menggaruk-garuk kepalanya masih dengan mendekap kain sarung. “Ada apa lagi? Kamu pasti ngomong yang enggak-enggak makanya dia ngamuk.”
“Ngomong enggak-enggak gimana? Aku dari siang di rumah nemenin anakku. Dari tadi juga belum bisa tidur karena Dul masih panas. Bapak yang keluar. Suruh dia pergi. Malu sama tetangga,” kata Dijah.
Kejadian itu sangat cepat di mata Dul. Pintu dibuka sedikit dan Mbah Lanang bicara dengan sangat halus pada pria di depan pintu. Hanya selang beberapa detik, pria mengerikan itu menghambur ke dalam dan menarik paksa ibunya keluar. Sebuah tongkat kayu dengan api menyala terayun-ayun di tangannya.
“Ibu …! Ibu …!” Dul terhuyung-huyung berdiri mau menyongsong ibunya. Mbah Lanang menarik tubuhnya masuk, dan Mbah Wedok menangis seraya merangkak di lantai karena lututnya lemas.
Dalam sekilas pandangannya ke luar tadi, tampak olehnya ibu yang begitu dia harapkan menemani tidur, bergumul dengan laki-laki yang berusaha menciumnya.
Dul merasa tenggorokannya panas bagai menelan api yang terlempar tak jauh dari ibu dan bapaknya. Dia mau membantu ibunya, tapi badan yang kurus bisa ditahan dengan mudah oleh Mbah Lanang yang berdiri meneriaki bapaknya.
“Tolong! Bapak …! Tolong!” jerit ibunya. “Dia mau perrkosa aku! Bapak …!”
Jeritan ibunya memecah keheningan malam itu. Dua tetangga pria berhasil melerai. Tak dilihat olehnya bagaimana ibunya berhasil melepaskan cengkeraman dari pria mengerikan itu. Ibunya masuk kembali ke rumah dengan rupa yang sangat kotor. Kerah kausnya melorot, rambutnya awut-awutan dan berpasir. Telapak tangan ibunya membekap mulut.
“Udah—udah, kamu jangan nangis lagi. Nanti luka Ibu jadi sakit,” kata Dijah, menyeka bibirnya yang sedikit robek karena membenturkan mulut saat hendak dicium paksa oleh Fredy.
Dul masih menangis. Duduk di atas kasur tipis sambil mendekap gulingnya. Tanpa ia menangis pun, luka itu pasti sangat sakit. Ia meyakini bahwa dialah penyebab ibunya babak belur malam itu.
“Bu … jangan nginep di sini lagi.” Dul mengelap air mata dengan leher kausnya.
Dengan ingatan seorang kanak-kanak yang terbatas, Dul mengingat bagaimana Mbah Lanang menganggap biasa luka-luka ibunya. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat bagaimana Mbah Wedok tak menyampaikan sedikit pun penghiburan pada ibunya. Ibunya sendirian. Ibunya benar-benar sendirian. Ia menangis untuk ibunya.
Dul mengamati bagaimana ibunya dengan cekatan merawat luka sendiri. Bahkan tak ada rintihan atau keluhan yang keluar dari bibir yang terluka itu. Karena sorot matanya yang tak lepas memandang sang ibu, akhirnya wanita itu mendongak.
“Kalau sudah besar, jangan perlakukan perempuan begini, ya, Dul. Kamu harus jadi anak hebat,” kata ibunya.
Dul tak menjawab. Kepalanya menunduk mengambil sehelai kapas untuk membantu menyeka sisa darah di bibir ibunya. Dalam kepalanya ia sudah membayangkan bagaimana cara menyingkirkan pria yang membuat ibunya menderita.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
☘ᴍ͠iss Anget
welcome back juskelapa. semoga bacaan kali ini bisa memberi manfaat yang banyak lagi untuk para pembaca juskelapa. Welcome Mas Dul kedaatnganmu sangat dinatikan disini banyak yang menunggumu. Sehat terus buat juskelapa.
2022-04-01
339
Siti Aisyah
dah bc ulang kl setelah bc pengakuan Dijah ya paling pas trus bc Dul
2024-10-20
0
Fitri Handayani
😭😭😭😭 masih nangis padahal udah baca berulang kali . dan nyatanya kehidupan seperti Dijah banyak terjadi di lingkungan kita
2024-10-17
0