Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 — Ikrar di Balik Kebohongan
Hari pernikahan Aira dan Dion Arganata adalah perayaan kemunafikan yang paling megah. Aula utama Hotel Argantara disulap menjadi taman surgawi dengan jutaan mawar putih, lampu kristal yang memantulkan kilauan dingin, dan ratusan tamu yang berpakaian layaknya bangsawan. Aira, berdiri di altar, merasa seperti hiasan mahal yang tidak memiliki jiwa.
Gaun putih yang ia kenakan—dirancang oleh desainer ternama—terasa berat, bukan karena bebannya, melainkan karena rasa bersalah yang ia bawa di bawah kain sutra itu. Ia melihat ke sekeliling, mencari wajah Harun, Ayahnya, yang kini duduk di barisan depan dengan senyum palsu yang terlalu lebar. Harun terlihat lega, utang terbayar.
Aira memaksakan senyum, tangannya menggenggam erat buket bunga lili—simbol kepolosan yang sudah lama ia tinggalkan.
Lalu, di sampingnya, ada Dion.
Dion Arganata terlihat sempurna, patung pahatan yang dihidupkan dalam setelan tuxedo hitam. Wajahnya lurus, tanpa ekspresi kebahagiaan, hanya formalitas dingin seorang CEO yang menjalankan tugas. Kehadirannya begitu dominan sehingga Aira merasa paru-parunya kekurangan oksigen. Setiap kali Dion bergerak sedikit, aroma maskulin yang tajam, khas pria yang tahu kekuatannya, menyengat hidung Aira.
Aura itu terlalu familiar, terlalu berbahaya.
Di mata publik, mereka adalah pasangan sempurna: CEO kaya menikahi gadis cantik yang sederhana. Di mata Aira, mereka adalah dua orang asing yang terikat oleh rantai utang dan rahasia yang membusuk.
Saat pendeta membacakan janji suci, Aira kesulitan bernapas. Ia harus mengucapkan janji untuk mencintai dan menghormati, sementara ia tahu janji itu adalah kebohongan terbesar yang pernah ia ucapkan.
“Dion Arganata, bersediakah Anda menerima Aira Nadiya sebagai istri Anda, dalam suka dan duka?”
Suara Dion tegas dan datar. “Saya bersedia.”
“Aira Nadiya, bersediakah Anda menerima Dion Arganata sebagai suami Anda, dalam suka dan duka?”
Aira mengangkat pandangan, matanya bertemu dengan mata Dion. Mata itu, yang beberapa malam lalu ia yakini adalah mata yang sama dengan pria dari masa lalunya, kini tampak tidak sabar dan menuntut.
Seketika, rasa mual menghantam. Stres, kurang tidur, dan ketakutan akan Arvan membuat kepala Aira berdenyut hebat. Ia melihat mawar putih di vas besar di sebelahnya mulai memudar, suara musik orkestra mulai berdenging.
Ia mencoba berjuang. Ia mencoba membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi kata 'bersedia' tersangkut di tenggorokannya. Ia merasa gaunnya mencengkeram.
Sebelum ia sempat bersuara, pandangannya meredup. Tubuhnya terasa ringan. Hal terakhir yang ia rasakan adalah sentuhan dingin dan kuat di pinggangnya, sebelum kegelapan merenggut kesadarannya.
Aira terbangun di ruangan beraroma antiseptik yang lembut. Ia terbaring di sofa kulit di sebuah ruang tunggu mewah, dengan tirai beludru tebal menutup jendela dari keramaian di luar.
“Kau sudah bangun?”
Suara berat itu membuat Aira terlonjak. Dion berdiri di dekat jendela, kedua tangannya terlipat di dada. Ia sudah mengganti tuxedo-nya dengan setelan kasual yang lebih longgar, namun auranya tetap membekukan.
“Saya… saya minta maaf,” kata Aira, segera bangkit.
Dion hanya menatapnya. “Acara sudah selesai. Kami menganggap jawabanmu sebagai ‘ya’ sebelum kau pingsan.”
Aira menunduk. Ia tahu ini adalah bagian dari sandiwara. Dion tidak peduli dengan kondisi medisnya, hanya dengan formalitas yang sudah selesai.
“Kau lemah,” komentar Dion, suaranya mengandung cemoohan tipis. “Aku tidak suka wanita yang mudah jatuh.”
Aira menggigit bibir. “Saya hanya sedikit stres. Saya baik-baik saja sekarang.”
“Stres?” Dion melangkah mendekat, perlahan. Langkahnya terasa mengancam. “Kau baru saja menjadi Nyonya Arganata. Kau seharusnya bahagia, bukan pingsan seperti aktris drama murahan.”
Aira mendongak, hatinya sakit oleh penghinaan itu. “Saya tidak pernah meminta pernikahan ini, Tuan Arganata. Jika saya bisa memilih, saya akan memilih bekerja keras seumur hidup daripada menikah dengan seseorang yang…”
Ia berhenti. Ia hampir mengatakan, ...seseorang yang saya tidak tahu apakah saya benci atau takuti.
Dion memiringkan kepalanya, senyum dingin muncul di sudut bibirnya. “Seseorang yang apa? Sempurna? Berhati-hatilah dengan kata-katamu, Nyonya. Sekarang, kita sudah terikat. Tugasmu adalah mematuhiku. Dan tugasmu adalah memastikan tidak ada skandal. Pingsan di altar adalah batas maksimal yang bisa kutoleransi.”
Pintu ruangan terbuka. Seorang wanita paruh baya dengan riasan tebal dan penampilan yang mahal masuk, diikuti oleh dua pelayan yang membawa nampan kecil berisi kue dan minuman.
Itu adalah Tantri, Mama tiri Dion, yang dikenal sebagai wanita paling berkuasa di lingkaran sosial Kota Arganata setelah suaminya. Tatapannya pada Aira setajam pisau.
“Ah, menantu baruku sudah sadar,” ujar Tantri, nadanya manis dan palsu. Ia tidak mendekat, hanya berdiri di ambang pintu, menciptakan jarak yang jelas. “Kau membuat drama di hari pernikahanmu sendiri. Menarik.”
Aira merasakan darahnya mendidih. Ia ingin membela diri, menjelaskan bahwa ia hanya kelelahan.
“Tantri,” potong Dion, suaranya tenang, tetapi memerintah. “Dia istriku sekarang. Dia hanya butuh istirahat.”
Tantri mengabaikan Dion. Ia melangkah masuk, berhenti tepat di depan Aira. “Dengar, gadis kecil. Jangan berpikir karena kau memakai marga Arganata, kau bisa bertingkah. Dion butuh istri di atas kertas, bukan benalu yang haus perhatian. Tugasmu adalah diam dan anggun. Jangan mencoba menggali rahasia keluarga. Jangan sentuh warisan. Jangan pernah mencoba menjadi lebih dari apa yang kau tanda tangani.”
Tantri menyenggol bahu Aira dengan keras saat ia berbalik, sengaja menjatuhkan sedikit remah kue dari nampan. Ini adalah peringatan, sebuah pembacaan sumpah yang lebih jujur daripada yang diucapkan di altar.
Dion, yang telah melihat seluruh adegan itu, tidak bereaksi. Namun, saat Tantri melangkah keluar, Aira melihat rahang Dion mengeras. Ia melirik Aira sejenak, tatapan itu terasa seperti campuran rasa bersalah yang enggan dan kemarahan.
Ia berjalan ke arah Aira, mengulurkan tangannya. Bukan sentuhan lembut seorang suami, melainkan genggaman yang kuat, hampir menyakitkan.
“Sudah selesai,” katanya. “Kemasi barang-barangmu. Kita pergi ke penthouse malam ini juga.”
Mobil mewah Dion melaju membelah malam Kota Arganata yang elegan. Aira duduk kaku di kursi penumpang, tas kecilnya diletakkan di pangkuan. Ia tidak berani bersuara, hanya menatap gedung-gedung tinggi yang berkilauan.
Mereka tiba di penthouse Dion, sebuah kediaman di puncak pencakar langit yang memiliki pemandangan kota 360 derajat. Mewah, modern, dan benar-benar dingin. Tidak ada sentuhan personal, hanya kemewahan yang diatur.
Dion melemparkan kunci di meja marmer. “Kamarmu ada di sana. Jangan berani masuk ke ruang kerjaku. Jangan sentuh berkas di mejaku. Dan jangan ganggu aku saat bekerja.”
Aira mengangguk, hatinya terasa kosong.
Malam pertama mereka sebagai suami-istri. Bukan malam madu, melainkan malam pengumuman aturan.
Aira memasuki kamarnya. Kamar itu besar, berdekorasi minimalis dengan dominasi warna abu-abu dan putih. Ia berdiri di tengah ruangan, merasakan keheningan yang memekakkan telinga. Ia merindukan suara tawa Arvan, aroma selimutnya, dan kehangatan rumah kecil mereka.
Setelah beberapa saat, ia mendengar langkah kaki Dion di lorong. Pria itu masuk ke kamar Aira tanpa mengetuk.
Aira, yang sudah berganti pakaian tidur sederhana, menegang.
Dion berdiri di ambang pintu, menyalakan lampu redup. Ia menatap Aira, pandangan yang kembali menjadi misterius dan penuh perhitungan. Ketegangan seksual yang tipis mulai mengisi ruangan, dingin seperti udara AC, tapi membakar di bawah permukaan.
“Ada satu hal lagi yang harus kau pahami, Nyonya Aira,” katanya, suaranya lebih lembut, lebih berbahaya daripada sebelumnya. Ia menutup pintu di belakangnya.
Aira mundur selangkah. “Apa… apa itu, Tuan Arganata?”
Dion berjalan mendekat, setiap langkahnya membuat detak jantung Aira berpacu. Ia berhenti hanya beberapa inci di depan Aira, begitu dekat sehingga Aira harus mendongak untuk menatapnya.
Dion mencondongkan tubuhnya, aroma whisky ringan dan parfum mahalnya menyeruak. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Aira, napasnya yang hangat berhembus.
“Malam ini adalah malam pernikahan kita,” bisik Dion, suaranya begitu rendah dan sensual sehingga seluruh bulu kuduk Aira berdiri. “Aku tidak mencintaimu, Aira. Jangan pernah mengharapkan hati atau perasaanku. Jangan berharap kita menjadi keluarga yang bahagia. Tapi… kau adalah asetku, dan aku akan mengklaim apa yang menjadi hakku.”
Dia mundur sejenak, lalu matanya kembali menatap mata Aira, dingin, namun penuh api yang tak terucapkan.
“Aku benci kebohongan. Aku benci drama. Aku benci emosi yang tidak perlu.” Dion menyentuh rahang Aira dengan jari telunjuknya, sentuhan itu cepat, dingin, dan otoriter. “Tapi, aku punya hasrat yang harus dipuaskan. Dan kau, sebagai istriku, harus memberikannya.”
Aira tersentak. Ia tahu ini akan terjadi. Rasa sakit yang tajam menusuknya, bukan karena sentuhan, tapi karena kata-katanya. Ia merasakan air mata mengumpul di pelupuk matanya. Ia tidak boleh menangis. Ia tidak boleh terlihat lemah di depan pria ini.
Ia menarik napas dalam, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. Ia menatap balik mata gelap Dion, mencoba mencari celah, mencoba menemukan pria yang mungkin pernah ia rasakan empat tahun lalu. Tidak ada. Hanya CEO yang menuntut kepatuhan.
“Aku… Aku mengerti,” kata Aira, suaranya serak.
Senyum puas yang dingin muncul di wajah Dion. “Bagus.”
Dion menjauh. Ia berjalan ke pintu, tangannya sudah di kenop, siap pergi. Aira mengira badai sudah berlalu, bahwa Dion hanya ingin menegaskan dominasinya.
Namun, di ambang pintu, Dion menoleh kembali, menatap Aira yang masih kaku berdiri. Ekspresinya sedikit melunak, sedikit saja.
“Dan jangan pernah berpikir untuk mendekatkan anak laki-laki itu ke dalam hidupku,” katanya, suaranya kembali dingin dan tajam, seperti pecahan kaca.
Aira terkejut. Dion tahu tentang Arvan?
Sebelum Aira bisa bertanya, Dion melanjutkan. “Aku tahu kau punya keponakan atau semacamnya di kampung. Aku tidak peduli siapa dia, tapi jangan biarkan ia mengacaukan skenarioku. Aku benci kekacauan, Aira. Paham?”
Aira merasa lega yang luar biasa, bercampur rasa takut yang mendalam. Dion hanya tahu tentang "keponakan" atau anak yang jauh. Dion belum sadar.
“Saya mengerti,” bisik Aira, menahan air mata yang kali ini bukan karena kesedihan, melainkan kelegaan yang berbahaya.
Dion mengangguk sekali, lalu membuka pintu. Sebelum ia melangkah keluar sepenuhnya, ia mengucapkan kalimat yang menjadi sumpah dingin di malam pernikahan mereka.
“Aku tidak mencintaimu. Jangan berharap apa pun dariku. Tapi kau sudah milikku sekarang.”
Pintu tertutup. Suara kunci diputar terdengar, mengisolasi Aira di dalam kamar mewahnya.
Aira jatuh ke kasur. Ia menangis, tidak lagi menahan isak tangis. Itu adalah tangisan kesendirian, ketakutan, dan rasa jijik pada dirinya sendiri. Ia adalah istri, tapi ia merasa seperti pelacur yang dibayar mahal. Ia memeluk lututnya, mencari kehangatan yang tidak ada di kamar dingin itu.
Di kamar sebelah, Dion Arganata berdiri di depan jendela penthouse. Ia tidak kembali ke Aira. Ia tahu ia telah melanggar aturannya sendiri—membiarkan hasrat mengambil alih. Ia minum whisky, memandangi kota yang bersinar, hatinya kosong. Ia membenci kelemahan itu, kelemahan yang membuat ia tertarik pada Aira—gadis yang pingsan di altar, gadis yang tampak rapuh tapi menyembunyikan sesuatu di matanya. Ia benci tertarik pada kebohongan.
Di kamar Aira, Arvan adalah nama yang tak terucapkan, benih yang diam-diam tumbuh subur, siap menghancurkan pernikahan yang sudah retak ini. Aira tahu, malam ini hanya awal dari perang dingin yang panjang, di mana tubuh mereka mungkin akan menyatu, tetapi hati mereka akan selalu berjauhan.
semoga cepet up lagi