NovelToon NovelToon
Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Cinta Beda Dunia / Cinta Terlarang / Mata Batin / Romansa / Reinkarnasi
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 31: Perjalanan ke Dukun Pertama**

# **

Tiga hari Arsyan dirawat di RS—kondisinya stabil tapi nggak membaik. Masih lemah. Masih pucat. Masih butuh oksigen terus.

Dokter bingung. Perawat bingung. Semua orang bingung.

Hari keempat—Arsyan boleh pulang. Bukan karena sembuh—tapi karena dokter bilang "nggak ada yang bisa kami lakukan lagi."

Pulang dengan resep vitamin segepok—yang Arsyan sendiri tau nggak akan ngaruh.

Di rumah—Wulan rawat Arsyan kayak rawat bayi. Bantuin ke kamar mandi. Suapin makan. Bantuin ganti baju. Semua dengan jarak—nggak terlalu deket—tapi tetep... peduli.

Arsyan ngeliat itu semua—hatinya sakit. Bukan sakit fisik—tapi sakit yang lebih dalam.

*Gue jadi beban. Gue... gue nggak berguna.*

Malam itu—Bhaskara dateng.

Duduk di ruang tamu—muka serius—tangan dilipat di dada.

"Gas, gue punya info."

Arsyan—yang lagi tiduran di sofa—dongak sedikit. "Info apa?"

"Ada dukun. Dukun terkenal di desa sebelah. Katanya... katanya dia bisa ngobatin penyakit aneh. Penyakit yang dokter nggak bisa."

Arsyan diem. Wulan yang lagi di dapur—motong sayur—berhenti. Pisau diem di udara.

"Dukun..." gumam Arsyan. "Bhas, gue... gue nggak yakin—"

"Gas, dengerin dulu. Gue udah tanya-tanya. Banyak orang yang kesembuhan gara-gara dia. Penyakit gaib, sihir, kutukan—dia bisa. Minimal... minimal kita coba. Daripada lo kayak gini terus."

Arsyan natap langit-langit—mikir. Dukun. Dia sebenernya nggak terlalu percaya sama yang gituan—tapi sekarang... dia udah nggak punya pilihan lain.

"Oke," katanya pelan. "Kapan?"

"Besok. Gue udah bikin janji."

Keesokan harinya—pagi-pagi—jam tujuh—Bhaskara dateng bawa mobil. Mobil pick-up Dzaki yang sama—yang kemarin buat bawa Arsyan ke RS.

Dzaki juga ikut—duduk di belakang sama Wulan. Arsyan di depan—samping Bhaskara.

Perjalanan ke desa sebelah—sekitar satu jam lewat jalan berbatu, berlubang, sempit—pohon-pohon tinggi di kiri kanan—suasana... sepi. Agak serem.

Dzaki dari tadi baca doa pelan—tasbih di tangan—bibir gerak-gerak nonstop.

Wulan duduk diem—tangan ngelus perut—mata natap keluar jendela—pikiran kemana-mana.

*Dukun. Apa dia bisa bantuin? Apa dia... tau aku bukan manusia?*

Sampai di desa—desa kecil—rumah-rumah dari kayu—sedikit—mungkin cuma dua puluh rumah.

Bhaskara tanya ke orang lewat. "Pak, rumah Mbah Darmo mana ya?"

"Oh, Mbah Darmo? Lurus aja sampe ujung. Rumah yang ada bendera putih."

"Makasih, Pak."

Mereka jalan lagi—pelan—sampe ujung desa—ada rumah kayu tua—cat udah ngelupas—atap genteng banyak yang pecah—tapi di depan ada tiang bambu tinggi dengan bendera putih berkibar.

Bhaskara parkir. Mereka turun.

Arsyan jalan pelan—disangga Bhaskara di kanan, Dzaki di kiri. Wulan jalan di belakang—jarak agak jauh.

Naik tangga kayu—bunyi "krieet krieet"—masuk teras—ada orang tua duduk di kursi goyang—cowok—rambut putih panjang—janggut putih lebat—mata sayu—tapi... tajam.

Mbah Darmo.

"Assalamu'alaikum, Mbah," sapa Bhaskara sopan.

"Wa'alaikumsalam. Duduk." Suaranya berat—serak—kayak nggak dipake lama.

Mereka duduk di tikar pandan—Arsyan di tengah—Bhaskara sama Dzaki di kanan kiri—Wulan di belakang sedikit.

Mbah Darmo diem—cuma natap Arsyan lama. Lama banget. Mata menyipit—kayak lagi baca sesuatu yang nggak keliatan.

Lalu dia geser pandang—ke Wulan.

Dan tiba-tiba—matanya melebar.

Tubuhnya menegang. Napas tertahan sebentar.

"Kamu..." bisiknya pelan—tapi terdengar jelas di keheningan. "Kamu... bukan manusia."

Wulan jantungnya langsung dingin. Tangannya menggenggam kain gamis erat.

Bhaskara sama Dzaki kaget—noleh ke Wulan—terus ke Mbah Darmo.

Arsyan nggak kaget. Dia udah tau. Tapi tetep... denger orang lain bilang gitu... tetep sakit.

Mbah Darmo berdiri—tiba-tiba—cepet buat orang seumuran dia—mundur beberapa langkah—tangan terangkat—kayak ngelindungi diri.

"Kamu... putri kerajaan. Kerajaan Cahaya Rembulan." Suaranya gemetar. "Dan kamu..." dia natap Arsyan. "...kamu dikutuk. Dikutuk oleh ratu mereka."

Hening.

Cuma bunyi angin sama bunyi jangkrik jauh.

"Mbah..." Bhaskara buka suara—suaranya pelan. "Bisa... bisa bantu sembuhkan?"

Mbah Darmo menggeleng keras. "Tidak. Ini bukan penyakit biasa. Ini kutukan. Kutukan kuno. Kutukan dari kerajaan jin tertinggi. Aku..." dia mundur lagi—tangan gemetar. "Aku tidak bisa bantu. Ini... ini di luar kemampuanku."

"Tapi Mbah—" Dzaki mau ngomong—tapi Mbah Darmo potong cepet.

"PERGI!" teriaknya tiba-tiba—keras—mata membelalak penuh ketakutan. "PERGI! PERGI DARI SINI! AKU TIDAK MAU KENA MASALAH! AKU TIDAK MAU KERAJAAN MEREKA DATANG KE SINI! PERGI!"

Tangannya nunjuk ke pintu—gemetar keras—napasnya berat.

Wulan berdiri—mundur—air matanya udah jatuh. "Maafin saya, Mbah... maafin saya..."

"PERGI! SEKARANG!"

Mereka semua berdiri—cepet—Bhaskara bantuin Arsyan—mereka keluar dari rumah—turun tangga—napas terengah.

Sampe di mobil—Bhaskara nyalain mesin—mundur—gas—kabur dari desa itu secepat mungkin.

Di dalam mobil—hening total.

Nggak ada yang ngomong.

Arsyan natap keluar jendela—mata kosong. Dzaki pegang tasbih—tapi nggak baca doa—cuma diem. Bhaskara fokus nyetir—rahang mengeras.

Wulan di belakang—nangis diam-diam—tangan nutup muka.

*Aku... aku bikin semua orang takut. Aku... monster.*

Setengah jalan pulang—Arsyan tiba-tiba buka suara. Suaranya pelan—serak.

"Bhas... berhenti sebentar."

"Kenapa, Gas?"

"Berhenti. Kumohon."

Bhaskara minggir—parkir di pinggir jalan—matiin mesin.

Arsyan turun—susah payah—jalan beberapa meter—berhenti di tepi jalan—natap sawah luas di depannya.

Wulan turun juga—jalan ke arah Arsyan—tapi jaga jarak beberapa meter.

"Mas..."

Arsyan nggak noleh. Cuma natap sawah—angin bertiup pelan—rambut tipis dia bergoyang.

"Wulan..." suaranya pelan—tapi jelas. "Lo... lo bawa aku ke dukun lagi... pasti sama. Mereka semua bakal takut sama lo. Mereka semua bakal usir kita."

Wulan nangis—tangan nutup mulut.

"Dan lo tau kenapa mereka takut?" Arsyan akhirnya noleh—natap Wulan—mata merah, basah. "Karena lo... lo punya kekuatan. Lo dari kerajaan. Dan aku... aku cuma manusia lemah. Aku... aku nggak bisa lindungin lo. Aku... malah jadi beban lo."

"JANGAN BILANG BEGITU!" Wulan berteriak—air matanya meledak. "Mas bukan beban! Mas... Mas adalah... adalah alasan aku hidup! Mas—"

"Tapi aku sekarat, Wulan!" Arsyan balas teriak—suaranya retak. "Aku sekarat gara-gara cinta sama lo! Dan lo... lo tau itu! Lo tau tapi lo tetep di sini! Kenapa?! Kenapa lo nggak pulang aja?! Kenapa lo nggak cabut kutukan ini?! KENAPA?!"

Wulan jatuh berlutut—nangis keras—tubuh gemetar hebat.

"Karena aku nggak bisa ninggalin Mas... aku nggak bisa... aku cinta Mas... aku... aku..."

Suaranya putus—nggak bisa lanjut—cuma nangis.

Arsyan natap Wulan—istrinya—yang sekarang berlutut di tanah—nangis kayak anak kecil yang kehilangan.

Dan hatinya... remuk.

Dia jalan—pelan—ke arah Wulan—berlutut di depannya—peluk dia—erat.

"Maafin aku..." bisiknya lirih. "Maafin aku udah teriak... aku... aku cuma... aku capek, Wulan... aku capek sakit... aku capek lemah... aku... aku pengen sembuh tapi aku nggak bisa..."

Wulan peluk Arsyan balik—nangis di bahu suaminya—mereka berdua berlutut di pinggir jalan—dipeluk angin sore yang dingin.

Dan dari mobil—Bhaskara sama Dzaki cuma bisa natap—nggak tau harus ngapain—hati mereka juga sakit.

*Sahabat mereka... sekarat.*

*Dan mereka... nggak bisa berbuat apa-apa.*

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!