Penasaran dengan cerita nya lansung aja yuk kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Takhta di Atas Puing
Arini berdiri tegak di balik jendela kaca besar kantor pusat Luka-Lana Fashion House yang terletak di lantai dua puluh satu sebuah gedung pencakar langit di jantung Jakarta. Di bawah sana, kemacetan ibu kota pada penghujung tahun 2025 tampak seperti aliran cahaya yang tak berujung. Aroma kopi arabika yang baru diseduh memenuhi ruangan yang didominasi warna putih gading dan aksen emas itu. Namun, bagi Arini, keheningan di ruangan mewah ini jauh lebih bising daripada hiruk-pikuk jalanan. Pikirannya melayang pada ingatan tiga tahun lalu, saat ia hanya memiliki satu mesin jahit tua dan sebuah kamar kontrakan yang bocor jika hujan turun.
“Selamat pagi, Ibu Arini. Jadwal pertemuan dengan konsorsium investor dari Singapura sudah dikonfirmasi pukul sepuluh nanti,” suara Maya, sekretaris pribadinya yang cekatan, memecah lamunan Arini.
Arini berbalik. Ia mengenakan setelan blazer berwarna merah marun yang dijahit dengan presisi sempurna—hasil karyanya sendiri. Rambutnya kini dipotong bob tajam yang membingkai wajahnya dengan kesan tegas. Tidak ada lagi sisa-sisa guratan kesedihan atau keraguan di matanya. Yang tersisa hanyalah tatapan seorang wanita yang telah menelan ribuan pahitnya pengkhianatan dan mengubahnya menjadi energi pembakar.
“Terima kasih, Maya. Pastikan tim legal sudah memverifikasi ulang semua poin dalam kontrak. Saya tidak ingin ada satu pun celah kecil yang bisa digunakan mereka untuk mendikte arah kreatif saya,” jawab Arini dingin namun sopan.
Setelah Maya keluar, Arini berjalan menuju meja kerjanya yang terbuat dari kayu jati solid. Di sana, di tengah tumpukan majalah mode internasional yang menampilkan wajahnya di sampul depan, tergeletak sebuah amplop cokelat kusam tanpa nama pengirim. Arini merobek ujungnya dengan perlahan. Di dalamnya, terdapat selembar foto lama yang telah usang: foto pernikahannya dengan Bram, mantan suaminya. Foto itu sempat dikoyak menjadi dua bagian, namun kini disatukan kembali dengan selotip bening yang dipasang secara kasar.
Di balik foto tersebut, tertulis sebuah kalimat dengan tinta hitam yang tebal: “Kau pikir kau sudah menang dengan semua kemewahan ini? Ingat, Arini, utang masa lalu tidak pernah benar-benar lunas. Aku tahu dari mana inspirasi busanamu berasal.”
Arini tidak gemetar. Ia tidak lagi merasakan sesak napas yang dulu selalu menyerangnya setiap kali nama Bram disebut. Ia justru menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman sinis yang menyimpan sejuta makna. Ia tahu persis tulisan tangan itu—tulisan tangan yang dulu sering menuliskan janji-janji manis tentang kesetiaan yang ternyata hanyalah kamuflase untuk sebuah pengkhianatan yang menghancurkan hidupnya.
“Kau terlambat, Bram,” bisik Arini pada foto itu. “Aku sudah menjahit lukaku dengan sangat rapat menggunakan benang baja. Bahkan jarum yang paling tajam pun takkan bisa menembusnya lagi.”
Dengan gerakan yang tenang dan penuh perhitungan, Arini mengambil sebuah pemantik api perak dari laci mejanya. Ia menyulut api dan membakar ujung foto tersebut. Ia memperhatikan bagaimana api perlahan melahap wajah pria yang dulu sangat ia cintai, lalu merambat ke wajahnya sendiri yang dulu tampak begitu rapuh, naif, dan mudah dibodohi. Ia membiarkan abu foto itu jatuh berserakan ke dalam asbak kristal di atas mejanya, seolah-olah membuang sampah yang sudah lama membusuk.
Namun, ketenangan itu kembali terusik saat ponsel pribadinya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari nomor yang tidak dikenal: “Aku tahu rahasia di balik koleksi ‘Jahitan Luka’. Itu bukan murni hasil pemikiranmu, bukan? Bagaimana jika dunia tahu bahwa ide besarmu adalah hasil curian?”
Alis Arini bertaut rapat. Ini bukan sekadar gangguan emosional dari mantan suami yang tidak tahu diri. Ini adalah serangan strategis. Di dunia mode yang kejam, tuduhan plagiarisme atau pencurian ide adalah lonceng kematian bagi karier seorang desainer. Arini segera menyadari bahwa di puncak kesuksesan yang ia daki saat ini, angin memang bertiup jauh lebih kencang. Musuh kini tidak lagi datang dengan caci maki di depan pintu rumah, melainkan melalui konspirasi gelap di balik layar bisnis.
Arini menarik napas panjang, menenangkan debar jantungnya. Ia tahu persis bahwa orisinalitas karyanya adalah mutlak, namun di dunia ini, persepsi seringkali lebih kuat daripada fakta. Seseorang sedang mencoba meruntuhkan takhta yang ia bangun dari puing-puing kehancurannya.
Ia segera menekan tombol interkom. “Maya, batalkan pertemuan dengan Singapura. Panggil pengacara utama kita sekarang juga. Kita akan melakukan penjahitan ulang—kali ini, bukan untuk pakaian, tapi untuk membungkam mulut-mulut yang terlalu berani menyentuh harga diri saya.”
Arini kembali menatap ke arah jendela. Pertempuran baru saja dimulai, dan kali ini, ia bukan lagi seorang penyintas. Ia adalah seorang pemangsa.