Tanggal pernikahan sudah ditentukan, namun naas, Narendra menyaksikan calon istrinya meninggal terbunuh oleh seseorang.
Tepat disampingnya duduk seorang gadis bernama Naqeela, karena merasa gadis itu yang sudah menyebabkan calon istrinya meninggal, Narendra memberikan hukuman yang tidak seharusnya Naqeela terima.
"Jeruji besi tidak akan menjadi tempat hukumanmu, tapi hukuman yang akan kamu terima adalah MENIKAH DENGANKU!" Narendra Alexander.
"Kita akhiri hubungan ini!" Naqeela Aurora
Dengan terpaksa Naqeela harus mengakhiri hubungannya dengan sang kekasih demi melindungi keluarganya.
Sayangnya pernikahan mereka tidak bertahan lama, Narendra harus menjadi duda akibat suatu kejadian bahkan sampai mengganti nama depannya.
Kejadian apa yang bisa membuat Narendra mengganti nama? Apa penyebab Narendra menjadi duda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arion Alfattah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 - Gombalan ala Aqeela
Tubuh bocah sedeng itu sangat dekat dengannya, menempel tanpa penghalang seraya memeluk lehernya hingga kepala Aqeela menelusup dibalik lehernya.
"Qeel," ucap Vaughan begitu lirih kala helaan nafas Aqeela menerpa kulit bagian lehernya. 'Sial, ini diluar dugaan.'
"Enggak! Gue gak mau turun dari gendongan elo sebelum itu anjing pergi! Usir dulu, Bang, gue takut."
Vaughan menghela nafas, bukan itu masalahnya. Ada yang tegak tapi bukan keadilan. Ia menggendong Aqeela, mundur menghindari anjing yang masih berada disana.
"Blacki pergi! Jangan ganggu dia!"
Guk.. Guk.. guk.
"Dia pacar saya, pergi sana!"
Seakan mengerti ucapan Vaughan, anjing itu baru pergi dari sana.
"Udah belum?"
"Udah, anjing itu udah pergi." Tangannya masih menahan tubuh Aqeela dari gendongannya.
Mendengar itu, Aqeela melonggarkan pelukannya, mencari keberadaan anjing berwarna hitam. Helaan nafas lega terdengar.
"Akhirnya anjing itu pergi juga." Barulah dia menoleh ke depan sedikit menunduk hingga mata mereka saling bertatapan. Aqeela baru sadar jika dia berada dalam pangkuan Vaughan dalam posisi berdiri dipinggir pantai.
"Apa?" ujar Vaughan masih terus memperhatikan wajah Aqeela.
"Dari dekat gini kamu kok ganteng sih?"
Perlahan Vaughan menurunkan Aqeela masih dengan mata saling bertatapan. "Sudah dari lahir saya ganteng."
"Ishh pede boros." Pukulan kecil Aqeela layangkan di dada Vaughan secara refleks.
"Kenapa bisa dikejar anjing?" ia berusaha menetralkan degup jantungnya, beralih memandang deburan ombak memperlihatkan mata hari terbenam.
"Gak sengaja kena timpuk sepatu gue," balas Aqeela menatap Vaughan dari samping.
Ia akui paras laki-laki itu begitu tampan, pahatan sempurna yang mampu membuat matanya tak bisa berpaling.
Vaughan menoleh kesamping. "Makanya jadi orang jangan iseng, untung anjing itu paham yang saya bicarakan jadi dia pergi, coba kalau tidak, kamu sudah habis digigitnya."
"Ishhh jangan dong, kulit gue pahit untuk hewan seperti dia, terus ya kalau gue mati kena rabies nanti lo jomblo seumur hidup, mau lo?"
"Siapa bilang saya jomblo? Kamu sendiri yang bilang kita pacaran," jawab Vaughan santai.
"Hei! Waktu itu gue gak sungguhan ya, gue cuman iseng," balas Aqeela melotot kaget.
"Gak bisa, kamu sudah deal dengan saya, jangan ubah perjanjian, harus profesional dong." Vaughan melangkah mundur, tersenyum tipis melihat raut wajah kaget Aqeela.
"Kalau gue gak mau?" Aqeela mengejarnya dengan langkah pelan mengikuti langkah Vaughan yang mundur pelan juga.
"Kamu harus mau kalau tidak .." dia menjeda ucapannya seraya memberhentikan langkahnya.
"Apa?" Aqeela juga ikut berhenti menuntut lanjutan ucapan Vaughan.
"Blacki!"
Guk .. Guk .. guk ..
"Aakhhh!!" Aqeela berlari menghindari anjing itu lagi. "Lo ngeselin!!!" pekiknya.
Sementara Vaughan terkekeh melihat tingkah Aqeela. "Menggemaskan."
**********
"Mana Aqeela?" Alvaro bertanya pada Mario, dia berpas-pasan dengan Mario di lobi hotel.
Dahi Mario mengernyit. "Baru aja gue mau tanya, lo lihat Aqeela tidak? Gue harus bicara sama dia."
Alvaro bingung, apalagi tatapan Mario begitu tajam seakan mengintimidasinya. "I-itu gue .."
"Kenapa lo jadi gagap gini, Al? Lo tahu Aqeela dimana? Atau Aqeela pergi karena ulah lo?"
"Itu, gue .. Makanya gue nanya sama elo karena gue gak tahu adek lo dimana. Kalau gue tahu gak akan nanya sama elo, gitu maksud gue, Mar."
"Ok, tapi awas kalau sampai adek gue kenapa-kenapa gara-gara elo," balas Mario memicingkan matanya.
"Ya e-enggaklah."
'Gak mungkin gue bilang Aqeela pergi entah kemana setelah lihat gue tanpa baju di kamar Zira. Bisa kena pukul gue.'
*********
Semilir angin malam menerpa permukaan kulit Aqeela, gadis itu tengah duduk disebuah meja dekat pantai ditemani minuman kelapa muda. Ia menopang dagu menatap deburan ombak di malam hari.
"Gak baik seorang bocah sedeng melamun sendiri di tepi pantai."
Tiba-tiba seseorang menyampirkan jaket ke pundaknya.
Aqeela mendongak kaget. "Kamu ngapain disini?"
"Sedang ronda malam, eh melihat bocah sedeng disini sendirian melamun, kenapa Neng? Nanti kesambet setan pantai." Dia Vaughan lalu duduk disamping Aqeela.
"Kenapa sih kamu suka manggil aku bocah sedeng? Gue bukan bocah, gak gila juga, harus bedakan mana bocah mana sedang dan sedeng."
"Kenapa sih perkataan kamu gak konsisten? Kadang aku, kadang kamu, terkadang lo gue, harus pilih salah satu dong biar pasti."
"Ehhh malah balik nanya, gue duluan nanya kenapa lo panggil gue bocah sedeng? Gue bukan bocah ihh, gue sedang."
"Karena kamu memang masih bocah, baru belasan tahun dan kenapa saya bilang sedeng ya karena kamu gila, masa baru kenal sudah ngegombal, apa namanya kalau bukan sedeng alias gila."
Aqeela menggeplak pundak Vaughan. "Isshh nyebelin."
Dan laki-laki itu terkekeh dihadapan Aqeela. Seketika bocah sedeng itu terpana untuk pertama kalinya melihat senyum Vaughan yang memperlihatkan lesung pipi dikedua pipinya.
"Eh kok manis."
Kekehan Vaughan terhenti, menatap Aqeela. "Apanya yang manis?
"Senyuman lo manis, gue baru tahu kalau lo punya lesung pipi." Aqeela menopang dagu, menatap wajah Vaughan seraya tersenyum manis. "Seandainya lo gula gue mau jadi semutnya, soalnya manis lo bikin gue suka."
"Mulai." Reaksinya tangannya langsung mengusap wajah Aqeela.
"Ishh, apaan sih, gue serius, lo emang manis, udah ganteng manis pula. Lo itu bagaikan google, semua yang gue cari ada di elo."
Dan Vaughan kembali speechless, tersenyum tipis seraya reflek mengacak-acak rambut Aqeela.
Deg.
Kini Aqeela yang speechless atas tindakan Vaughan.
"Jangan sering-sering gombalin saya, saya takut jantung saya lupa cara kerja."
"Hubungannya apa?" dahi Aqeela mengernyit.
"Nanti jantung saya berhenti berdetak melihat kamu," balas Vaughan tersenyum manis, senyuman yang baru ia tunjukkan.
Eh.
Aqeela mengerjap, pipinya terasa panas.
'Sial, dia malah balik gombalin gue, gini ceritanya gue yang kena, kena panah asmara maksudnya.'
Ia menghindar tatapan Vaughan, tidak tahu kenapa tatapan itu dan senyumannya membuat dia tidak aman, jantungnya tidak baik-baik saja.
"Kayaknya kamu butuh peta deh, biar gak tersesat terlalu jauh," kata Aqeela menatap lurus ke laut.
"Saya nggak butuh peta, soalnya tujuanku saat ini kamu." Tatapan Vaughan masih tertuju ke Aqeela tersenyum tipis.
'Kena kau bocah sedeng.'
Bibir Aqeela menahan senyum, mendadak panas dan grogi balik di gombalin. Ia menunduk menyembunyikan rona merah di pipi.
"Kok pipi kamu merah, Qeel? Sakit kah?" sengaja dia menggoda Aqeela, meraih dagu gadis itu memperhatikan wajahnya yang makin me merah. "Perasaan ini malam deh, gak panas kok."
"Ihh gara-gara kamu nih." Aqeela menepis tangan Vaughan, jantungnya gak aman, lama-lama dia bisa gila beneran oleh pesona pria didepannya.
"Kok saya?" Vaughan mendadak seperti orang bingung padahal dalam hati gemas ingin menggigit bibir... 'Sial, otak gue mendadak mesum.'
"Iya elo, elo penyebabnya. Elo sudah apa-apain gue sampai gue salting gak berkutik. Kalau gue beneran jatuh cinta gimana? Mau tanggung jawab?" seru Aqeela memberengut manyun.
"Saya tanggung jawab," jawab Vaughan serius.
"Tanggungjawab apa?"
Deg.
Mereka menoleh.
"Bang Mario!"