"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32: PENOLAKAN YANG MENYAKITKAN
Lucian akhirnya menemukan suaranya—tapi bukan suara yang Chelsea ingin dengar.
"Aku tidak bisa."
Tiga kata. Hanya tiga kata.
Tapi cukup untuk menghancurkan hati Chelsea.
"Kenapa?" bisik Chelsea—suaranya pecah, air matanya mengalir deras. "Kenapa kamu tidak bisa?"
Lucian berdiri—membelakangi Chelsea karena ia tidak sanggup melihat air matanya.
"Karena aku bukan orang yang tepat untukmu. Karena aku punya terlalu banyak... terlalu banyak yang kusembunyikan. Kamu pantas mendapat seseorang yang lebih baik."
"Aku tidak mau orang lain!" Chelsea berdiri juga—suaranya naik, putus asa. "Aku mau kamu! Hanya kamu!"
"Chelsea—"
"Aku tidak peduli apa masa lalumu! Aku tidak peduli apa yang kamu sembunyikan! Aku hanya peduli—"
"KAMU HARUS PEDULI!" Lucian berbalik—untuk pertama kalinya ia berteriak pada Chelsea. Matanya merah, air matanya mengancam jatuh. "Kamu harus peduli karena kalau kamu tahu siapa aku sebenarnya—kamu akan membenciku!"
Chelsea terdiam—terkejut melihat emosi Lucian meledak.
Lucian menarik napas—mencoba menenangkan diri.
"Maafkan aku," katanya lebih pelan. "Aku tidak bermaksud berteriak. Tapi... aku tidak bisa, Chelsea. Aku tidak bisa menerima perasaanmu. Aku tidak pantas."
"Biar aku yang tentukan apakah kamu pantas atau tidak."
"Tidak." Lucian menggeleng—tegas. "Aku yang tentukan. Dan aku tahu—aku tidak pantas."
Ia berjalan menuju pintu.
"Mulai besok, aku akan menjaga jarak. Kita kembali seperti awal—majikan dan bodyguard. Tidak lebih."
"Lucian, kumohon—"
Tapi Lucian sudah masuk ke dalam rumah—meninggalkan Chelsea menangis sendirian di teras.
Minggu-minggu berikutnya adalah neraka bagi keduanya.
Lucian benar-benar menjaga jarak.
Tidak lagi sarapan bersama—ia makan lebih awal, sendirian di dapur.
Tidak lagi makan malam bersama—ia makan di kamarnya.
Tidak lagi mengobrol—hanya menjawab dengan "ya" atau "tidak" atau "baik, Nona".
Kembali memanggil Chelsea dengan "Nona"—formal, dingin, profesional.
Chelsea mencoba—berkali-kali mencoba.
"Lucian, mau makan siang bersama?"
"Maaf, Nona. Saya sudah makan."
"Lucian, akhir minggu kita ke panti asuhan?"
"Saya akan mengantar Nona ke sana, tapi saya tunggu di mobil."
"Lucian... bisakah kita bicara?"
"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Nona."
Setiap penolakan adalah pisau di hati Chelsea.
Tapi ia tidak menyerah.
Karena ia melihat—di balik dinginnya Lucian, di balik jarak yang ia buat—ada rasa sakit.
Rasa sakit yang sama seperti yang Chelsea rasakan.
Chelsea meninggalkan catatan kecil di meja—"Aku memasak sup. Dimakan ya, jangan sampai kelaparan."
Lucian membaca catatan itu—dadanya sesak.
Ia makan sup itu—sendirian di kamarnya, menangis dalam diam.
Kenapa kamu tidak menyerah, Chelsea? Kenapa kamu membuat ini semakin sulit?
Chelsea mengetuk pintu kamar Lucian malam-malam—"Lucian, kamu di dalam? Aku bawa teh hangat..."
Lucian tidak membuka pintu—duduk di balik pintu itu, mendengar suara Chelsea.
"Lucian, kumohon bicara padaku. Aku tidak akan memaksamu menerima perasaanku. Aku hanya... aku hanya ingin kita kembali seperti dulu. Aku merindukanmu."
Lucian menutup mulutnya dengan tangan—menahan isakan.
Aku juga merindukanmu. Sangat merindukan. Tapi aku harus melakukan ini. Aku harus melindungimu dariku.
Chelsea menangis di luar pintu—perlahan meletakkan teh di depan pintu, lalu pergi.
Setelah yakin Chelsea sudah jauh, Lucian membuka pintu—mengambil teh itu.
Masih hangat.
Ia meminumnya—merasakan kehangatan mengalir ke tubuhnya.
Kehangatan yang datang dari cinta Chelsea.
Cinta yang ia tolak tapi sangat ia rindukan.
Lucian tersiksa.
Setiap hari melihat Chelsea dari jauh—melihat kesedihan di matanya, melihat senyumnya yang dipaksakan, melihat bagaimana ia mencoba terlihat baik-baik saja tapi tidak bisa menyembunyikan rasa sakitnya.
Aku menyakitinya. Aku yang menyebabkan kesedihan di matanya.
Malam-malam, Lucian tidak bisa tidur.
Ia menatap langit-langit—membayangkan bagaimana rasanya kalau ia menerima perasaan Chelsea.
Membayangkan memeluknya, menciumnya, bilang "Aku juga mencintaimu".
Membayangkan bangun setiap pagi di sampingnya.
Membayangkan hidup bersama—bahagia, lengkap.
Tapi lalu ia teringat—tangannya yang penuh darah, 47 orang yang ia bunuh, masa lalunya yang gelap.
Aku tidak pantas. Aku tidak—
Dan lingkaran pikiran itu berputar terus.
Sampai ia tidak tahu lagi yang mana yang benar—menolak Chelsea untuk melindunginya, atau menolak Chelsea karena ia pengecut yang takut kebenaran akan terungkap.
Chelsea juga tersiksa.
Setiap hari melihat Lucian dari jauh—begitu dekat tapi begitu jauh.
Melihat bagaimana Lucian menghindari matanya.
Melihat bagaimana Lucian tegang setiap kali mereka di ruangan yang sama.
Melihat bagaimana Lucian—yang dulu tersenyum untuknya—sekarang tidak pernah tersenyum lagi.
Apa aku salah mengaku cinta? Apa aku seharusnya menyimpan perasaan ini?
Tapi bagaimana aku menyimpan sesuatu yang terlalu besar untuk disimpan?
Chelsea menangis setiap malam—memeluk bantal, berharap itu Lucian.
"Kenapa kamu menolakku?" bisiknya di kegelapan kamar. "Kenapa kamu tidak mau membiarkan aku mencintaimu?"
Tidak ada jawaban.
Hanya kesunyian yang menyakitkan.
Dua minggu setelah pengakuan.
Tidak ada yang berubah.
Lucian masih menjaga jarak.
Chelsea masih mencoba—dengan lembut, tidak memaksa, hanya... ada.
Dan keduanya menderita dalam diam.
Mencintai dalam diam.
Tersiksa dalam diam.
Karena cinta yang seharusnya membawa kebahagiaan—malah membawa rasa sakit.