Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.
Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.
Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.
Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.
Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 – Merasa Di Remehkan
Ruang interview itu bercahaya putih lembut, luas namun dibuat sederhana agar tidak terasa mengintimidasi. Meja oval besar diletakkan tepat di tengah ruangan, sementara tiga kursi berjejer di seberangnya. Bau wangi kertas baru dan kopi hitam yang masih mengepul samar dari mug di dekat layar laptop menambah kesan profesional yang kental.
Embun berdiri di ambang pintu dengan map lamaran di tangan. Tangannya sedikit dingin, bukan karena AC, melainkan karena momen ini… adalah momen yang enam tahun lalu tidak pernah ia dapatkan kembali. Momen yang dulu sempat menciptakan luka kecil—yang kini justru menjadi motivasi.
Ia tersenyum sopan sambil menunduk sedikit. “Selamat siang, Bapak-bapak.”
Tiga pria menoleh bersamaan.
Pria di tengah—tubuh tegap, rambut disisir rapi ke samping, wajah teduh dengan kacamata tipis yang memberinya aura seseorang yang sabar namun sangat cermat—mengangguk sambil tersenyum hangat.
“Selamat siang. Silakan duduk, Mbak Embun. Kita mulai sesi interviewnya ya.” Dialah Pak Sofyan, Manager HR.
Embun mengangguk halus. “Terima kasih, Pak.”
Ia duduk dengan punggung tegak, menaruh map di pangkuan bersama tas laptop, dan mengatur napas perlahan, memastikan suaranya stabil.
Di sebelah kanan Pak Sofyan duduk Pak Ardan, Chief Information Officer. Wajahnya tegas namun tidak keras, tipe pemimpin yang berpikir jauh sebelum bicara. Ia membuka berkas Embun dengan cara yang metodis, seakan ia sedang membedah data penting.
Di sebelah kiri… duduk seorang pria dengan kemeja biru tua, tidak tersenyum sejak Embun masuk. Ekspresinya datar, sedikit skeptis, dan cara ia memutar bolpennya menunjukkan ketidaksabaran yang halus namun jelas. Itu Ferdi—System Manager.
Dan saat Embun melihatnya lebih jelas, sesuatu dalam ingatannya bergetar.
Pria ini. Pria yang dulu menjadi bagian dari tim interviewer enam tahun lalu. Pria yang dulu memandang rendah dirinya. Pria yang… sekarang kembali duduk di depannya.
Embun hanya tersenyum sopan. Ia tidak memperlihatkan bahwa ia mengenal. Ia tidak perlu itu sekarang.
Pak Sofyan membuka percakapan dengan suara tenang. “Kami sudah membaca CV Mbak Embun. Pengalaman Mbak cukup unik—HR dan IT di satu posisi.”
Embun tersenyum tipis. “Iya, Pak. Di Global Farmasi, divisi IT digabung dengan HRGA. Jadi saya meng-handle keduanya.”
Pak Ardan mengangguk kecil sambil memeriksa sesuatu di laptopnya. “Jadi kamu pernah terlibat di pengelolaan sistem internal, ya?”
“Iya, Pak. Saya memegang sistem HRIS dan database employee tracking. Saya juga menangani maintenance server dasar, troubleshoot software, dan beberapa kebutuhan jaringan ringan.”
Nada bicara Embun lembut, tapi mantap. Tidak melebihkan, tidak merendahkan diri. Hanya menyampaikan fakta.
Ardan menaikkan alis, kesan terkejut muncul sekilas. “Kamu paham kernel level juga ternyata.”
Embun tersenyum, lebih tulus kali ini. “Saya memang senang ngoprek sejak SMA, Pak. Jadi lumayan terbiasa dengan bahasa mesin dan logika firmware.”
Pak Sofyan tampak senang mendengarnya. “Baik. Tapi saya lihat pengalamanmu enam tahun terakhir lebih dominan di HR. Kenapa tiba-tiba ingin pindah ke full IT?”
Pertanyaan itu menggantung. Bukan mengintimidasi, tapi diarahkan untuk menggali.
Embun menarik napas pelan. Matanya jernih. Tidak bergetar. “Karena dunia IT adalah tempat saya sebenarnya, Pak. HR mengajarkan saya memahami manusia… tapi komputer mengajarkan saya logika. Dan saya lebih… hidup saat bermain dengan logika.”
Ada keheningan singkat. Ardan berhenti mengetuk meja. Sementara Ferdi—yang sejak tadi hanya memutar bolpen—akhirnya angkat bicara.
Ferdi menyandarkan tubuh, nada suaranya datar tapi mengandung sinis yang sangat halus. “Tapi Mbak Embun… dunia software engineering itu keras. Ini bukan ruang HR yang isinya tabel absensi dan gaji karyawan. Kalau sistem gagal, tanggung jawabnya besar. Tekanannya beda.”
Embun menatapnya. Tidak defensif. Tidak tersinggung. Hanya… tenang.
“Saya paham, Pak. Tekanan bagian dari tanggung jawab. Dan saya siap belajar lebih banyak kalau diberi kesempatan.”
Jawabannya sopan, tapi kuat.
Ferdi menatap lebih tajam, bibirnya terangkat sedikit menjadi senyum skeptis.
“Semangatnya bagus. Tapi pengalaman HR itu… yah, beda jauh dengan dunia backend. Tidak semua orang bisa tahan, apalagi kalau…” Ia berhenti sebentar, lalu menatap Embun dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Apalagi kalau yang masuk itu wanita.”
Ruang interview langsung terasa lebih dingin. Pak Sofyan tegang. Ardan mendengus kecil sambil menutup laptopnya sebagai bentuk ketidaksukaan.
Embun? Embun hanya dalam diam melihat pria itu—dan saat itulah dia ingat pasti. Pria ini adalah orang yang enam tahun lalu menatapnya dengan cara yang sama.
Embun mengukir senyum tipis. Senyum yang… bukan marah. Tapi penuh pemahaman bahwa ia sudah berkembang jauh dari masa itu.
Pak Ardan berdehem hendak menyela. “Pak Ferdi, mungkin maksudnya—”
Tapi Embun menundukkan kepala sedikit, memberi tanda halus bahwa ia ingin menjawab sendiri.
Lalu ia menatap Ferdi dengan mata yang tenang namun tajam seperti bilah yang baru diasah. “Saya tahu dunia IT keras, Pak. Saya juga tahu banyak perempuan diremehkan. Tapi kalau saya menyerah hanya karena gender, saya mungkin tidak akan duduk di ruangan ini hari ini.”
Ferdi menahan ekspresi. Tangan yang memutar bolpen berhenti.
Embun melanjutkan, suaranya lembut tapi mengiris. “Tekanan bukan sesuatu yang saya takuti. Dan saya tidak datang untuk membuktikan apa pun ke siapa pun… selain ke diri saya sendiri.”
Pak Ardan terlihat menahan senyum. Pak Sofyan mengangguk perlahan, bangga dengan keberanian Embun.
Ferdi, mungkin merasa belum puas, mencondongkan tubuh sedikit. “Saya cuma realistis. Di sini bukan tempat untuk orang yang… manja.”
Embun tidak tersinggung. Tidak terpancing. Ia hanya tersenyum kecil—sangat kecil—yang entah kenapa membuat Ferdi terlihat sedikit gelisah.
Lalu ia berkata perlahan, namun setiap kata jatuh dengan presisi. “Tenang saja, Pak. Saya tidak mudah pecah karena tekanan. Tapi kalau saya boleh jujur…” Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menatap Ferdi tepat di mata. “Kadang yang paling rapuh itu bukan yang belajar dari bawah… tapi yang sudah lama di atas dan lupa bagaimana rasanya berjuang.”
Keheningan memukul ruangan seperti gelombang.
Pak Sofyan memalingkan wajah untuk menyembunyikan keterkejutannya. Ardan batuk kecil untuk menutup tawa. Sementara Ferdi… terdiam. Senyumnya hilang sepenuhnya.
Ia tidak marah. Ia hanya diam—seperti seseorang yang baru saja ditegur oleh kenyataan yang tidak mau ia dengar.
Embun duduk tegak kembali, tangannya stabil di atas pangkuan. Tatapannya lurus, lembut namun kokoh. Untuk pertama kalinya sejak masuk… ia merasa dirinya benar-benar berada di ruang yang tepat.
Pak Sofyan akhirnya memecah keheningan. “Baik, Mbak Embun… kita lanjut ke pertanyaan berikutnya.” Suaranya hangat namun mengandung kekaguman halus.
Sementara Ardan menatap Embun dengan berbeda—bukan sekadar kandidat, tapi seseorang yang menarik perhatiannya secara profesional dan personal sebagai individu kuat.
Ferdi? Ia mengalihkan tatapan, tapi sorot matanya tidak lagi meremehkan. Justru… waspada.
Wawancara itu baru dimulai. Tapi Embun sudah menunjukkan satu hal yaitu Ia bukan lagi gadis yang ditolak enam tahun lalu. Ia kembali sebagai seseorang yang layak disejajarkan.
*
Ruang interview yang sebelumnya hanya terasa formal kini berubah atmosfernya begitu cepat, seolah udara di dalamnya mengental dan mengandung listrik halus yang merambat dari meja ke meja. Semua orang yang duduk di sana menyadari bahwa apa yang sedang terjadi bukan lagi sebatas interview biasa; ini sudah berubah menjadi sebuah duel profesional yang langka, duel yang tidak pernah tertulis dalam SOP HR mana pun, namun tidak ada satu pun dari mereka yang sanggup menghentikannya.
Pak Ardan, setelah mencatat beberapa catatan yang terlihat seperti potongan puzzle teknis, mengemukakan pertanyaan berikutnya dengan nada terukur—nada seorang CIO yang sudah puluhan kali melihat engineer saling mengukur kemampuan tetapi jarang melihat seorang kandidat berani mengangkat dirinya ke meja diskusi setinggi ini.
“Di sini kami sedang membahas sistem analis dan pengembangan software. Saya ingin tahu pandangan Mbak tentang arsitektur sistem dan peran software engineer di dalamnya.”
Suara Ardan terdengar netral, namun sorot matanya tidak pernah lepas dari Embun, seolah ia sekaligus ingin memberi ruang agar jawaban Embun mengalir tanpa gangguan, sekaligus mengamankan atmosfer agar tidak kembali diganggu komentar miring dari Ferdi.
Embun mengangguk perlahan, menata napas terlebih dahulu agar jawabannya tidak terdengar terburu-buru.
Ketika ia mulai bicara, suaranya mantap, tidak meninggi, tidak gemetar—tenang seperti seseorang yang benar-benar memahami dunia yang sedang ia jelaskan.
“Menurut saya, Pak, sistem yang baik itu bukan hanya kuat di sisi runtime, tetapi juga jelas dalam pengelolaan dependensi, observability, dan proses recovery saat terjadi kegagalan. Peran software engineer bukan sekadar menulis fitur atau memperbaiki bug, melainkan memastikan bahwa seluruh sistem dapat dipantau, dapat di-rollback dengan aman, serta memiliki redundansi saat load meningkat atau terjadi error yang tidak terduga.”
Kata-katanya tidak berlebihan; setiap kalimat mengandung informasi padat yang menggambarkan bukan hanya teori, tetapi pengalaman lapangan.
Ardan mencondongkan tubuh sedikit ke depan, lengan kirinya bertumpu pada meja, mata berbinar kecil—binar yang muncul hanya ketika seseorang benar-benar terkesan meski ia menutupi hal itu dengan bahasa tubuh profesional.
“Bagus,” gumamnya, sebelum mengajukan pertanyaan lanjutan yang lebih sulit.
“Bagaimana menurut Mbak tentang aspek keamanan—khususnya antivirus? Kita semua tahu Atmaja mengembangkan solusi yang diklaim sangat tangguh. Menurut Mbak, apa yang membuat sebuah antivirus benar-benar kuat?”
Pertanyaan yang rumit. Pertanyaan yang membutuhkan pemahaman tingkat tinggi. Pertanyaan yang jelas ingin menguji seberapa jauh Embun benar-benar menguasai dunia yang ia pilih.
Alih-alih gugup, Embun justru tersenyum tipis, senyum kecil yang menandakan bahwa inilah wilayahnya—wilayah yang sudah ia cintai jauh sebelum ia mengenal dunia HR.
Matanya menyala halus. “Antivirus yang baik adalah kombinasi dari beberapa hal, Pak,” ujarnya tenang. “Pertama, signature-based detection yang cepat dan terus diperbarui. Kedua, heuristik adaptif yang mampu mengenali pola tidak biasa sebelum menjadi ancaman. Ketiga, mekanisme isolasi yang bekerja dalam hitungan milidetik agar eksploit yang lolos tidak sempat menyebar.”
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap.
“Tapi yang lebih penting dari itu, bukan hanya fiturnya, melainkan koordinasi antara tim software, tim keamanan, dan tim infrastruktur. Jika ada eksploit baru, response engineer harus bergerak sedekat mungkin dengan waktu deteksi. Tanpa itu, sekuat apa pun antivirus, ia bisa runtuh oleh celah desain yang tidak diperhitungkan.”
Pak Sofyan menatapnya lama, tidak berkata apa pun, namun dari caranya mengetuk pena ke meja, jelas ia sedang menahan kekaguman. Ardan mencatat sesuatu lagi dengan cepat—gerakan cepat namun presisi, seperti seseorang yang menemukan potensi yang tidak ia duga sebelumnya.
Ferdi… lain lagi. Senyumannya berubah menjadi garis miring setengah meremehkan.
“Menarik,” ujarnya perlahan, nada suaranya menurun seperti seseorang yang hendak memotong kayu dengan hati-hati namun berniat keras. “Tapi teori seringkali berbeda dari praktik. Kami punya antivirus yang sudah diuji di skala enterprise. Klaim-klaim seperti koordinasi tim itu memang terdengar bagus di paper, tapi di lapangan… yang menang adalah yang punya signature tercepat dan response paling efisien.”
Embun menatapnya dengan sikap yang sama sekali berbeda dari enam tahun lalu. Bukan takut, bukan merasa kecil… tetapi penuh ketegasan halus seorang profesional.
“Saya sepakat bahwa praktik harus kuat, Pak. Namun teori tidak bisa diabaikan. Dan dari pengalaman saya, ada banyak sekali kasus di mana solusi yang tampak kuat justru ditembus karena asumsi desain yang salah…”
Mata Ferdi menyipit, menandakan mulai timbulnya rasa tidak terima.
“…dan itu bukan masalah signature atau response, melainkan masalah pola pikir.”
Ferdi mengetukkan bolpen, semakin keras. Senyum sinisnya kembali. “Jadi intinya, Mbak, Anda bilang produk kami rentan?”
Ruangan langsung mengeras, seolah suhu turun beberapa derajat.
Embun tidak menghindar. Ia bahkan sedikit mengangkat dagunya, menatap Ferdi lurus-lurus.
“Saya tidak meremehkan tanpa bukti. Kalau Bapak ingin melihat performa nyata, saya bersedia tunjukkan—secara terkontrol, terisolasi, dan aman. Kalau antivirus Bapak sekuat klaim, maka ia akan menang dalam simulasi yang ketat.”
Itu bukan tantangan yang emosional. Itu tantangan ilmiah. Dan itulah yang membuatnya jauh lebih menusuk.
Ferdi tertawa kecil—tawa yang terdengar seperti seseorang yang tidak percaya ada pihak luar berani menyentuh harga dirinya.
“Simulasi?” katanya dengan nada mengejek. “Baik. Kalau Mbak yakin, kita uji sekarang. Jika antivirus kami menang, Anda langsung tidak lolos ke tahap selanjutnya.”
Embun diam sejenak. Lalu mengangguk. “Baik.” Suaranya rendah tapi tegas.
“Kalau saya kalah, saya mundur dari kesempatan ini. Dan tidak akan mendaftar lagi di Atmaja Group.”
Semua kepala menoleh sekaligus. Tapi Embun belum selesai.
“Tapi kalau Bapak kalah… saya minta satu hal.” Ia menatap Ferdi tanpa berkedip. “Terima saya langsung. Tanpa tes lanjutan.”
Keheningan merambat ke seluruh ruangan seperti air dingin yang dituang ke dalam gelas panas.
Pak Sofyan langsung menegakkan punggungnya. Pak Ardan menghentikan gerakan tangannya. Ferdi—yang biasanya sangat sulit dipancing—akhirnya terpancing.
Pak Sofyan angkat tangan. “Anda serius, Mbak Embun?” Nadanya bukan melarang, tapi memastikan batas mentalnya jelas.
Embun mengangguk. “Saya serius, Pak.”
Pak Ardan menoleh sedikit ke arah Ferdi, seolah berkata tanpa suara: terima saja tantangannya jika Anda memang sekuat bicara Anda.
Pak Sofyan menimbang cukup lama, lalu berkata dengan suara tegas namun adil. “Baik. Jika ini dilakukan dalam lingkungan aman dan sesuai protokol, saya tidak menghalangi. Tapi semua proses harus melalui mesin isolasi dan tidak mengganggu sistem internal Atmaja sedikit pun.”
Ferdi mengangguk cepat, jelas merasa superior. Ia membuka laptopnya, memutar layar agar terlihat oleh semua orang.
“Kalau itu permintaan Anda—silakan. Tapi jangan salahkan saya kalau Anda kalah.”
Embun membuka laptopnya juga—ramping, bersih, dengan stiker kecil “Byte Me” di sudut kanan. Ia menata rambutnya ke belakang telinga, gerakan kecil yang membuat ketegangan ruangan justru semakin terasa intens.
“Saya tidak perlu TeamViewer, Pak,” ujarnya lembut namun mantap. “Saya akan menjalankan simulasi dari laptop saya sendiri. Payload saya kirimkan ke mesin isolasi di sini. Kita akan gunakan lingkungan yang sama untuk memastikan hasil adil.”
Ferdi berhenti memutar bolpen. Diam. Lalu tersenyum tipis.
“Baik. Kalau itu yang Anda mau.”
Ruangan menjadi sangat sunyi. Hanya suara kipas pendingin mesin isolasi yang terdengar.
Pak Sofyan menahan napas, tangannya mengeras di atas meja. Pak Ardan terlihat seperti seseorang yang sedang menyaksikan eksperimen yang sangat ia minati.
Ferdi mengetik cepat, membuka dashboard keamanan Atmaja Group—panel biru berisi grafik, log, dan status real-time antivirus.
Embun memosisikan laptopnya, jari-jarinya tenang di atas keyboard.
Dalam diam, tidak ada yang memandang layar lebih tajam dibanding Ferdi. Tidak ada yang memandang Embun lebih tenang dibanding Pak Ardan. Tidak ada yang lebih gelisah daripada Pak Sofyan.
“Mulai,” ujar Ferdi, penuh tantangan.
Embun mengangkat kepala, menatap tiga pria di depannya, lalu tersenyum samar—senyum yang tidak pernah terlihat sebagai kesombongan, melainkan sebagai rasa percaya diri seseorang yang mengetahui batas dirinya… dan bersedia melampauinya.
“Baik,” katanya pelan. “Mari kita lihat siapa yang benar-benar kuat berdasarkan bukti, bukan asumsi.”
**
tbc