Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23— Dua Dunia yang Sama-Sama Tidak Tenang
POV RAKA
Lintang sudah berjalan entah ke mana.
Tempat ini luas, tapi tidak seperti padang atau ruangan. Tidak ada batas. Tidak ada horizon.
Hanya… putih yang tidak memberi arah.
Aku berjalan pelan.
Tidak ada tujuan, tapi tidak berhenti.
Semakin aku mencoba mengingat rasa sakit — semakin tempat ini terasa sempit dan gelap.
Tapi setiap kali aku melepaskan ingatan itu, meski sedikit saja…
tempat ini terbuka kembali.
Seperti ruang ini dibuat dari pikiranku sendiri.
Beberapa saat kemudian aku melihat sosok lain.
Tidak jelas siapa. Laki-laki muda, duduk sendirian, menunduk, kedua tangan menutupi wajah.
Aku mendekat.
Dia tidak menoleh.
“Siapa…?” tanyaku pelan.
Suara retak keluar dari dia: “Aku seharusnya mati… bukan dia.”
Itu saja.
Dan aku tahu — orang ini bukan Lintang, bukan aku.
Ini orang lain.
Pendaki lain.
Yang menukar hidupnya dengan orang yang ia cintai.
Dunia ini ternyata bukan hanya milik kami.
Rupanya Arunika menyimpan banyak jiwa…
bukan jiwa yang dirampas,
melainkan jiwa yang menyerahkan diri agar seseorang selamat.
Semua orang di sini datang dengan rasa bersalah dan cinta yang — entah bagaimana — bercampur menjadi racun.
Dan aku menyadari sesuatu:
> Tempat ini bukan kuburan.
Tempat ini rumah untuk orang-orang yang memilih terluka demi merasa berarti.
Aku menutup mata.
Dan berkata pelan untuk diriku sendiri,
barangkali untuk pertama kalinya dengan jujur:
> “Aku ingin hidup… tapi bukan agar seseorang mencintaiku.
Aku ingin hidup… karena aku berhak hidup.”
Kalimat itu membuat ruang di sekitarku bergetar lembut…
seperti ada pintu yang sangat jauh — belum terbuka, tapi mulai mencari.
---
POV SARI
Hari ke-127 setelah Raka hilang.
Sari mulai menulis buku harian — bukan untuk nostalgia, tapi untuk bertahan hidup agar pikirannya tidak runtuh.
Ia menulis:
> Hari ini aku makan tiga kali.
Hari ini aku tidak merasa bersalah karena tertawa sebentar.
Hari ini aku percaya Raka tidak memerlukan aku untuk tetap hancur.
Titik kecil perkembangan seperti itu adalah cara Sari menolak kutukan.
Kayla juga berubah.
Dia tidak lagi berkata “Kalau Raka hilang karena aku…”
Dia mulai berkata:
> “Kalau suatu hari kita ketemu dia lagi, aku mau dia lihat kita tetap hidup.”
Itulah cara Kayla menolak kutukan.
Mereka tidak tahu apakah Raka bisa kembali.
Tapi mereka tahu kalau dia bisa kembali, dia harus menemukan dunia yang tidak rusak.
Dan pelan-pelan… perasaan mereka berubah bukan menjadi kehilangan… tapi penghormatan.
Hingga suatu malam…
Gelang biru — yang selama ini bertuliskan SELESAI —
tiba-tiba berubah.
Huruf-huruf ukiran yang pudar muncul dengan jelas lagi.
Bukan nama.
Bukan daftar.
Satu kalimat:
> PINTU MENCARI MEREKA YANG SUDAH SIAP PULANG
Sari menjatuhkan pulpen.
Kayla membaca ukirannya dan menutup mulutnya.
“Artinya… dia belum hilang,” kata Kayla, suaranya getar.
“Artinya… dia belum siap pulang,” Sari membalas, pelan.
Tidak ada rasa panik.
Tidak ada histeris.
Hanya ketegasan untuk hidup sampai pintu itu siap.
Malam itu keduanya duduk di lantai, punggung bersandar pada lemari, sambil menangis pelan — bukan kesedihan… tapi rindu.
Rindu yang tidak memaksa.
---
POV RAKA
Aku terduduk, memeluk lutut di tempat yang tak bernama.
Di sampingku, ada garis tipis cahaya — seperti retakan di udara.
Tidak besar.
Tidak cukup untuk dilewati.
Tapi cukup untuk melihat sesuatu di baliknya.
Aku mendengar tawa kecil Kayla.
Bukan memanggil — hanya tawa orang yang sedang cerita dengan temannya.
Aku mendengar suara Sari mengumpat kecil karena menumpahkan teh.
Mereka bernafas.
Mereka hidup.
Dan bukan karena aku mati untuk mereka —
tetapi karena mereka memilih untuk hidup setelah aku pergi.
Untuk pertama kalinya, aku ingin ke sana…
bukan karena aku ingin dibutuhkan,
tapi karena aku rindu.
Rindu tanpa keinginan dijadikan sebab seseorang hilang.
Retakan cahaya itu bergetar pelan.
Lintang muncul kembali di belakangku, bersandar pada ruang tak berbentuk.
“Gimana rasanya kalau yang lo sayang bisa bahagia tanpa lo ada?” tanyanya.
Aku tersenyum kecil — pahit, tapi kuat.
“Melepaskan itu nggak hilangin cinta.
Cuma hilangin ego.”
Lintang menghela napas lega.
“Kalau gitu… lo udah setengah jalan keluar.”
Aku menatap retakan itu.
“Aku nggak mau kembali untuk diselamatkan.
Aku mau kembali supaya gue bisa bilang: gue pulang sebagai gue — bukan sebagai beban siapapun.”
Retakan cahayanya melebar — sangat lambat — hanya cukup untuk menunjukkan:
langit malam dunia nyata.
Bukan pintu.
Bukan jalan keluar.
Tapi arah.
Lintang menepuk bahuku.
“Nanti kalau lo siap… lo bakal nemuin jalannya.
Bukan mereka.”
Aku mengangguk.
Ini bukan saatnya pulang.
Tapi untuk pertama kali sejak memilih menghilang…
aku percaya suatu hari aku bisa pulang tanpa menghilangkan siapa pun.
Dan rasa percaya itulah langkah pertama menuju pintu.
---
Bab ini selesai bukan dengan kepastian…
melainkan dengan harapan yang akhirnya sehat.
Raka belum kembali.
Sari dan Kayla belum melihatnya.
Tapi untuk pertama kalinya…
Raka ingin hidup untuk dirinya sendiri
Sari ingin hidup tanpa menjadikan luka sebagai identitas
Kayla ingin mencintai tanpa mengorbankan dirinya
Dan saat ketiga hal itu lengkap…
barulah pintu pulang akan terbuka.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor