Nalea, putri bungsu keluarga Hersa, ternyata tertukar. Ia dibesarkan di lingkungan yang keras dan kelam. Setelah 20 tahun, Nalea bersumpah untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan berniat menjadi putri keluarga yang baik.
Namun, kepulangan Nalea nyatanya disambut dingin. Di bawah pengaruh sang putri palsu. Keluarga Hersa terus memandang Nalea sebagai anak liar yang tidak berpendidikan. Hingga akhirnya, ia tewas di tangan keluarganya sendiri.
Namun, Tuhan berbelas kasih. Nalea terlahir kembali tepat di hari saat dia menginjakkan kakinya di keluarga Hersa.Suara hatinya mengubah takdir dan membantunya merebut satu persatu yang seharusnya menjadi miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Sisilia terkejut dan menolak. “Tidak mau! Kak Vian, itu dingin!”
Lidya berusaha membela anaknya mati-matian. “Zavian, tolong! Jangan sekejam itu! Sisilia baru pulang!”
“Diam, Bibi Lidya!” Zavian menatap Lidya dengan tatapan mengancam. “Jika kamu masih membela yang salah, aku tidak akan segan mengusir kamu dari rumah ini malam ini juga. Ini rumah keluargaku, bukan tempat untuk menampung sampah!”
Mampus, rubah betina. Selamat bermalam dengan tikus dan kecoa. Ini baru permulaan, Lidya. Sebentar lagi keluarga Hersa akan tahu siapa dirimu sebenarnya. Kata hati Nalea, ia menahan tawa, hampir tersedak apelnya.
Sisilia akhirnya pasrah. Zavian langsung menyuruh salah satu keamanan yang menunggu di luar untuk mengantar Sisilia ke gudang dan mengunci pintunya.
Setelah Sisilia diantarkan ke gudang, Zavian menghela napas panjang. Ia berjalan tenang menuju dapur, seolah tahu Nalea bersembunyi di sana.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Lea?” Zavian tersenyum tipis, ingin mengerjai Nalea.
Nalea langsung berdiri tegak, terkejut. “K-Kak Vian? Aku, aku, aku sedang makan.” Nalea memperlihatkan apelnya yang tersisa sedikit.
Zavian berjalan mendekati Nalea. Jarak mereka hanya tinggal lima sentimeter. Wajah Zavian yang tegas dan tampan kini terpampang jelas di depan mata Nalea. Zavian menahan napas, menikmati ekspresi panik adiknya.
“Makan apel, ya?” bisik Zavian, suaranya rendah dan menggoda. “Aku penasaran, apakah apel itu semanis wajahmu yang sedang merona ini?”
Nalea menahan napas. Pikirannya kosong. Semua kelicikannya hilang. Ia hanya bisa melihat mata Zavian yang begitu dekat.
Ya Tuhan! Kakakku sedang menggodaku! Dia ingin mengerjaiku! Kenapa dia tampan sekali! Kenapa dia tidak jadi orang lain saja!
“A-aku… aku mau tidur, Kak,” gagap Nalea.
Zavian tertawa kecil, tawa yang sangat jarang terdengar. Ia menyentuh pipi Nalea dengan ujung jarinya. “Jangan bersembunyi lagi. Aku tahu kau melihat semuanya. Dan aku tahu, kau tahu lebih banyak dari yang kau katakan.”
Zavian menjauh, memberikan Nalea ruang untuk bernapas. “Sekarang pergilah tidur. Aku tidak mau kau sakit karena begadang melihat pertunjukan drama ini.”
Nalea hanya mengangguk lemas. Ia bergegas meninggalkan dapur, jantungnya berdebar kencang. Zavian tersenyum simpul, menyadari bahwa ia kini memiliki cara baru untuk mendapatkan kebenaran dari adiknya.
"Dasar gadis licik tapi aku suka," gumam Zavian sambil tersenyum kecil, nyaris terkekeh melihat tingkah adik bungsunya yang diluar ekspektasi.
Di dalam kamar yang mewah, Nalea tak bisa melanjutkan tidurnya. Ia membolak-balikkan badan di atas ranjang empuk. Pikirannya melayang pada kejadian di kehidupan sebelumnya.
Andai saja diriku masih sama seperti dulu, si anak buangan yang bodoh, mungkin malam ini akulah yang seharusnya tidur di gudang, meringkuk kedinginan, menunggu hukuman selesai.
Kenangan itu begitu jelas. Rasa sakit di kakinya karena dipukul Azlan. Rasa lapar yang menderanya. Dan yang paling menyakitkan… Tak ada satupun yang peduli pada hidupnya.
Nalea mendudukkan diri di tepi ranjang. Ia tiba-tiba teringat sosok lain.
Apa si tikus bau itu datang malam ini, ya?
Dia masih ingat, malam itu seharusnya Kayzo datang, menyelinap ke rumah ini, memberikan sepotong roti bagi dirinya yang kelaparan. Namun karena semuanya sudah berubah, Nalea tak lagi tidur dan dihukum di dalam gudang yang lembab. Kemungkinan besar, Kayzo tidak akan datang hanya untuk membawakan roti padanya.
Nalea menghela napas, memutuskan untuk bergerak. Ia ingin memastikan hukuman Sisilia berjalan dengan sempurna.
Akhirnya, Nalea kembali keluar kamarnya. Ia berjalan pelan menuruni tangga menuju lantai dasar, menuju bagian belakang rumah di mana gudang penyimpanan berada.
Tepat di depan pintu gudang yang terbuat dari kayu tebal, Lidya duduk di kursi lipat kecil, matanya terkantuk-kantuk. Ia menunggu Sisilia yang terkurung di dalam. Terpaksa Lidya menuruti perintah Zavian, dia juga tidak ingin kehilangan pekerjaannya sebagai manajer rumah tangga, yang memberinya akses ke semua rahasia keluarga Hersa.
Nalea berhenti, menyilangkan tangannya di dada.
“Ibu yang sangat baik,” cibir Nalea.
Lidya tersentak kaget. Ia segera membuka mata lebar-lebar.
“Nalea! Kau mengagetkanku!” Lidya menatap Nalea dengan sorot penuh kebencian.
“Tentu saja aku Ibu yang baik! Sisilia adalah putriku!” balas Lidya defensif.
Mendadak hati Nalea sakit seperti tertusuk tombak. Ia membandingkan betapa beruntungnya Sisilia memiliki Lidya yang siap membelanya mati-matian, berbanding terbalik dengan Mutiara yang dulu memilih bungkam.
Nalea masih ingat, di kehidupan lalu, saat ia tidur dan dihukum di gudang, tak ada rasa iba dari Mutiara. Bahkan tatapannya seolah merasa jijik padanya.
Meskipun saat ini, Mamah bersikap baik dan mulai menunjukkan perhatian. Namun, hubungan di antara kami tak bisa dikatakan akrab. Mamah seolah menjaga jarak denganku, padahal kami adalah ibu dan anak kandung. Suara hati Nalea terdalam terdengar getir. Dia tidak tahu seberapa besar rasa sakit hati yang harus aku tanggung dari masa lalunya.
“Mau apa kamu ke sini? Ingin mengejek Sisilia, hah?!” bentak Lidya, suaranya berusaha direndahkan.
Nalea berdecak, menggeleng santai. Ia bersandar di dinding, menatap pintu gudang yang terkunci rapat.
“Tidak, Bi Lidya. Aku hanya tidak bisa tidur saja. Ingin lihat bagaimana kondisi Sisilia. Adik kesayangan Kak Azlan dan Kak Zavian, tidur di tempat yang tidak layak,” ujar Nalea, nadanya terdengar seperti sebuah nina bobo yang menyeramkan.
Nalea tersenyum sinis. “Mudah-mudahan jari-jari kakinya yang lentik tidak digigit tikus-tikus nakal, ya. Lalu tubuhnya yang wangi dan mulus tidak digerayangi kecoa bau, ya. Kudengar gudang ini lembap sekali.”
Wajah Lidya pucat pasi mendengar kata-kata Nalea.
“Kau! Dasar gadis jahat! Sisilia dihukum karena hasutanmu, kan?! Kau mengadukan dan menghasut Kakak-Kakakmu!” tuduh Lidya, suaranya bergetar.
Nalea tertawa kecil. “Menghasut? Astaga, Bu Lidya. Sisilia dihukum karena perbuatannya sendiri. Dia pulang malam, mabuk, dan pulang dengan kiss mark dari pacar tukang mabuk yang dia banggakan. Kok bisa sih, Sisilia yang berkelas jatuh cinta dengan pria sampah! Sungguh ironi!”
“Kau hanya ingin merebut semua perhatian di rumah ini! Kau anak liar yang tidak tahu malu!” balas Lidya, mencoba menyerang Nalea secara pribadi.
“Anak kampung yang tidak tahu malu?” Nalea melangkah mendekat, matanya menatap Lidya tajam. “Aku memang anak liat, Bu Lidya. Tapi setidaknya, aku tidak seliar anakmu, aku tidak serendah Sisilia. Pergi malam-malam dengan pakaian minim, mabuk hingga hilang akal sehatnya. Bukankah itu sama saja dengan perilaku liar tanpa aturan. Dan satu hal lagi, sebagai seorang gadis seharusnya dia yang dibiayai oleh laki-laki, bukannya membiayai laki-laki sampah.”
Lidya terdiam, terkejut karena Nalea tahu detail tentang perilaku Sisilia terutama soal pria sampah itu. Bukannya Lidya tidak mengetahui dan dia juga sudah menyuruh untuk menjauhi dan pencari pria lain. Tapi menasehati orang yang jatuh cinta seperti mencuci di air keruh.
Tiba-tiba, dari dalam gudang terdengar suara jeritan Sisilia yang melengking.
“IBUUU! TOLONG! KAK ZAVIAN! HIIIII, ADA TIKUS! KECOAAA!”