Sera, harus kehilangan calon anak dan suaminya karena satu kecelakaan yang merenggut keluarganya. Niat ingin berlibur malah menjadi petaka.
Sera bersedih karena kehilangan bayinya, tapi tidak dengan suaminya. Ungkapannya itu membuat sang mertua murka--menganggap jika Sera, telah merencanakan kecelakaan itu yang membuat suaminya meninggal hingga akhirnya ia diusir oleh mertua, dan kembali ke keluarganya yang miskin.
Sera, tidak menyesal jatuh miskin, demi menyambung hidup ia rela bekerja di salah satu rumah sakit menjadi OB, selain itu Sera selalu menyumbangkan ASI nya untuk bayi-bayi di sana. Namun, tanpa ia tahu perbuatannya itu mengubah hidupnya.
Siapakah yang telah mengubah hidupnya?
Hidup seperti apa yang Sera jalani setelahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini ratna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serba Salah
"Kamu benar Inah, ini mencurigakan. Tidak biasanya Darren membawa Lio saat pergi dinas."
"Inah, Kan sudah bilang sama Nyonya jika Inah sudah dua kali melihat Tuan Darren dan Sera itu berduaan. Nyonya, sih tidak percaya."
"Aduh, Inah, kamu itu cuman ngomong doang nggak ada bukti. Bagaimana saya bisa percaya."
Majikan dan asisten rumah tangga sedang bercengkrama di dalam kamar. Maudy, mulai curiga jika Darren dan Sera memang punya hubungan, atau mulai tertarik satu sama lain. Namun, yang buat Maudy bingung bukan masalah Darren yang menyukai Sera, Maudy tidak akan mempermasalahkan itu akan tetapi, surat wasiat dari Tamara.
Tamara menginginkan Clara menjadi ibu Lio, dan Clara juga Darren harus cepat-cepat menikah. Akan tetapi, Maudy tidak ingin salah langkah, bagaimanapun dia tidak bisa memaksa Darren menikah dengan Clara.
"Aduh, gimana ini." Maudy menghela nafas sambil menengadah ke atas. Tiba-tiba sebuah bel rumahnya berbunyi.
"Nyonya, itu siapa?" tanya Inah yang menatap Maudy. Mereka seperti dua sahabat yang sedang curhat, karena Maudy tidak pernah menganggap Inah sebagai orang lain.
"Mana saya tahu Inah. Ya, kamu buka dong pintunya."
Inah beringsut mundur lalu bangkit—berdiri dari duduknya. Inah berjalan keluar dari kamar Maudy, menuju pintu utama, Inah langsung membukakan pintu. Inah terpaku menatap Clara, yang bersama seorang wanita.
"Mbak Clara," ucap Inah sambil membungkuk."
"Tante Maudy ada?" tanya Clara dengan sedikit senyuman.
"Ada, monggo masuk."
"Iya, Bi."
Clara dan wanita itu pun melangkah memasuki ruang tamu. Mereka berjalan ke arah kursi besar lalu mendaratkan bokongnya.
"Permisi, Non saya ke belakang dulu sekalian mau ngasih tahu Nyonya. O iya, Non Clara mau minum apa?"
"Seperti biasa Bi," jawab Clara.
"Oh iya. Buat ibunya ...." Tunjuk Inah kepada wanita di samping Clara.
"Samakan saja," katanya membalas perkataan Inah.
Inah mengangguk lalu pergi ke belakang. Sebelum menuju dapur, Inah masuk ke dalam kamar Maudy untuk memberitahukan jika di luar ada Clara.
"Nyonya."
"Iya, Inah? Siapa yang datang?"
"Dokter Clara, dan ibunya."
"Ibunya?" Seketika Maudy mematung. Perasaan Maudy tiba-tiba tidak karuan, setelah mendengar dari Inah jika Clara datang bersama ibunya.
"Clara dengan ibunya, mau apa mereka? Jangan-jangan ...." Maudy, sudah berfirasat jika kedatangan Clara untuk membicarakan perihal surat dari Tamara.
"Inah permisi dulu Nyonya, mau buatkan minuman."
"Iya, kamu cepat buatkan minuman sana. Bila perlu pakai obat tidur."
"Eh, Nyonya kok ngomong gitu. Kejam dong saya Nyonya."
"Udah sana pergi!"
Maudy, semakin dibuat pusing hatinya semakin tidak karuan. Ia terus mengatur nafas sampai hatinya tenang. Setelah itu Maudy pergi menemui Clara.
"Clara, Bu Mawar, apa kabar? Lama tidak bertemu, ya." Maudy, menyapa sambil memeluk kedua tamunya apalagi Mawar yang merupakan ibu dari Clara. Mereka memang sudah saling kenal tetapi lama tidak bertemu.
"Silakan duduk," titah Maudy kepada Mawar. Tidak berselang lama Inah membawakan teh camomile kesukaan Clara, bersama cemilan yang ia suguhkan. Setelah itu Inah kembali ke belakang, tetapi nalurinya ingin sekali mendengarkan pembicaraan majikannya.
"Tumben-tumbenan dokter Clara datang bersama ibunya, kira-kira mereka mau ngomong apa, sih. Aduh ... jadi kepo aku."
Kembali ke ruang tamu, Maudy terlihat gugup yang berusaha tenang dan tersenyum. Mawar, meneguk teh nya, lalu menyimpan kembali cangkir teh itu di depannya.
"Lama, ya Maudy kita nggak bertemu."
"Iya. Kapan ya, terakhir kali kita bertemu? Mungkin waktu anak-anak lulus kuliah." Darren dan Clara memang teman lama, mereka satu universitas dan lulus bersama, hanya saja Clara melanjutkan studinya menjadi dokter sementara Darren, dia sibuk menjalankan bisnis ayahnya setelah meninggal.
"Bagaimana kabar Darren?"
"Darren ... dia baik."
"Syukurlah. Aku sudah dengar jika istri Darren meninggal dua bulan yang lalu."
"Sekarang di mana Lio Tante," tanya Clara yang sudah celingukan mencari Sera. Ia tidak melihat Sera, yang biasanya akan menjemur Lio di halaman belakang. Dan rumah ini tampak sepi sekarang.
"Lio, pergi bersama Darren. Entah, kenapa Darren tiba-tiba ingin mengajak Lio ke luar kota, niatnya sih pergi ke kantor cabang."
Kening Clara mengerut. Rasanya sangat aneh jika seseorang mengajak anaknya yang masih bayi pergi bersamanya dalam perjalanan bisnis. Hati Clara menjadi cemas, ia sudah menduga jika Sera dan Darren kini sedang bersama.
"Tante biarkan Lio ikut, berarti Sera juga ikut. Kenapa Tante membiarkan? Begini lo, Tante ... Clara rasa mereka terlalu dekat jika hanya sebatas ibu susu dan majikan. Apalagi mereka pergi bersama, Tante tidak takut jika mereka ...." Clara pun bingung menjelaskan. Akan tetapi, Maudy bisa memahami dan mengerti.
"Ada Alex juga. Kalau saya, sih berpikir positif saja, ya Clara. Dan saya percaya sama Darren dia tidak akan melakukan hal yang tidak pantas. Darren hanya ingin mengajak Lio, itu saja. Jika masalah Sera, dia itu ibu susu Lio sudah seharusnya dia ikut. Ya, semacam baby sitter mereka selalu ikut kemanapun, kan?"
Clara hanya diam. Mawar, melirik putrinya sekilas yang terlihat muram dan tersenyum kecut.
"Maudy, saya kesini ingin membicarakan perihal Darren dan Clara. Clara sudah menjelaskan kepada saya tentang wasiat dari mendiang istri Darren. Menurut saya, alangkah lebih baik jika niat baik itu disegerakan. Jika terlalu lama, kasihan juga kepada Tamara, dia pasti sudah menunggu saat ini. Bagaimanapun juga ... itu amanah yang harus cepat dilakukan."
Maudy tersenyum kikuk.
"Hmmm ... begini ya Mawar, saya tidak pernah menahan. Malah, saya juga ingin menyegerakan niat baik ini tetapi, saya tidak bisa memutuskan karena yang berhak memutuskan adalah Darren."
Obrolan terjeda sesaat.
"Saya sudah mengatakan ini kepada Darren, tapi ya ... begitulah. Kamu pasti mengerti Clara, sepertinya Darren belum siap bagaimanapun dia butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Tante harap, kamu mau menunggu dan sabar."
"Aku rasa, Darren bukan tidak siap tetapi ada seseorang yang menghalangi kami. Tante, mengerjakan seorang ibu susu di rumah ini tanpa sadar mengundang syahwat bagi Darren. Tante, saya curiga kepada ibu susu Lio, jika dia mengincar Darren. Karena tidak mudah mencari seorang ibu susu apalagi memberikan ASInya untuk bayi orang lain." .
"Aku rasa, Sera punya niat lain Tante. Sera, menginginkan Darren lewat cara mendekati Lio."
Maudy tertegun. Sebenarnya ia sudah menyadari kedekatan itu. Namun, Maudy tidak pernah berpikir jika Sera, menggoda Darren. Malah, Maudy merasa kasih sayang yang tulus diberikan Sera untuk Lio.
Perkataan Clara, terus mengganggu pikirannya. Tidak mau terus membebani diri sendiri akhirnya Maudy menghubungi Darren dan membicarakan hal itu juga kedatangan Clara bersama ibunya. Maudy benar-benar tidak mau ambil pusing ia meminta Darren untuk segera menyelesaikan semuanya. Jika memang harus menikah, maka menikahlah dengan cepat bersama Clara.
"Darren, pokoknya Mama nggak mau pusing. Setelah pulang dari luar kota kamu harus temui Clara, bicarakan tentang pernikahan kalian."
"Mama, Darren tidak bisa menikah begitu saja hanya karena surat wasiat. Darren harus mencari tahu dulu apa benar itu wasiat dari Tamara atau bukan."
"Mama nggak mau tahu, pokoknya kamu harus cepat selesaikan. Jika menurut Mama, lebih baik kalian bicarakan berdua, jika itu benar wasiat dari Tamara maka kamu harus segerakan Darren."
Darren langsung menutup sambungan teleponnya, dan melempar ponselnya itu ke atas kasur. Darren benar-benar frustasi, pikirannya sedang kacau saat ini dan yang ia ingat sekarang hanyalah Lio.
Darren, segera meninggalkan kamar berjalan keluar menuju kamar Sera, yang berada di sebelahnya.
Tok, tok, tok.
Darren mengetuk pintu, tidak berselang lama pintu pun terbuka. Sera, muncul dari balik pintu yang menatap heran kepada Darren.
"Aku ingin bertemu Lio," ucap Darren demikian. Sera pun mengangguk dan mempersilakan Darren untuk masuk.
"Lio, baru saja tidur. Apa kamu mau mengajak Lio jalan-jalan? Sebaiknya nanti saja setelah Lio bangun, aku akan memberitahumu."
Darren, hanya diam. Ia juga bingung apa kedatangannya ke kamar itu untuk Lio atau untuk menemui Sera. Darren berbalik menghadap Sera, dia berdiam diri sebelum akhirnya berkata.
"Sera, aku ...."
Apa aku harus mengatakan padanya sekarang, jika aku adalah Evan, batin Darren.