Ratih yang tidak terima karena anaknya meningal atas kekerasan kembali menuntut balas pada mereka.
Ia menuntut keadilan pada hukum namun tidak di dengar alhasil ia Kembali menganut ilmu hitam, saat para warga kembali mengolok-olok dirinya. Ditambah kematian Rarasati anaknya.
"Hutang nyawa harus dibayar nyawa.." Teriak Ratih dalam kemarahan itu...
Kisah lanjutan Santet Pitung Dino...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom young, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Sati di lecehkan
"Nduk, ibu berangkat dulu, nanti kamu nyusul saja, yah." panggil Ratih keluar dari rumah, karena Sati masih mandi, dan matahari mulai meninggi, jadi ia segera pergi ke ladang.
"Ibu, iki, aku malah di tingal." Gerutu Sati sepuluh menit kemudian, setelah Ratih keluar dari rumah.
Sati berjalan keluar dari rumah, mengunci pintu rumahnya, dan menuju ke ladang, dimana ibunya, Ratih, pergi. Ia merasa sedikit marah karena ibunya meninggalkannya sendirian di rumah.
Sati mempercepat langkahnya, ingin segera menyusul ibunya dan meminta penjelasan tentang apa yang terjadi. sampai ibunya buru-buru, hinga ia ditinggal.
Saat ia tiba di ladang, Sati melihat ibunya sedang bekerja keras, membajak tanah dengan cangkul. Ia merasa sedikit lega karena ibunya aman, tapi masih merasa sedikit marah karena ditinggalkan sendirian.
"Ibu, aku malah ditinggal!" kata Sati, suaranya sedikit keras.
Ratih berhenti bekerja dan menoleh ke arah Sati. "Nduk. Kenapa baru sampai?" katanya, sambil mengusap keringat dari dahinya.
Sati mengangguk, masih merasa sedikit marah, tapi juga merasa lega karena ibunya aman. Ia memutuskan untuk membantu ibunya bekerja di ladang, dan bersama-sama mereka menyelesaikan pekerjaan mereka.
Buruh adalah pekerjaan sehari-hari mereka berdua, karena dari sinilah mereka bisa menyambung hidup untuk makan sehari-hari.
Hari menjelang sore, Ratih. meminta Sati untuk pulang terlebih dulu, karena ia hendak kerumah juragan Mukti, untuk meminta upah hari ini.
"Nduk, kamu pulanglah dulu, ibu mau kerumah juragan Mukti dulu." Kata Ratih, tersenyum lembut kearah anaknya.
Kulit putih Sati sampai merah, karena terbakar sinar matahari. "Nggih Bu'e, Sati mulih riyin. (Iya Bu'e, Sati pulang dulu.)" Sati langsung berjalan mendahului, mereka berpisah di persimpangan jalan.
Entah menggapa sore ini jalan kampung begitu sepi, biasanya ramai dengan anak-anak yang bermain Egrang bahkan kelereng juga tidak ada, seolah-olah seperti tersirat hal yang tak di ketahui nalar
"Tumben sekali jalan ini sepi." Gumam Sati sembari menengok kesekelilingnya.
Matahari sore tertutup awan, udara yang panas berubah menjadi mendung.
Tepat disekeliling hutan bambu, jalan menuju rumahnya, Sati berhenti, ia merasa ada beberapa pasang mata yang mengawasinya, di dalam pohon bambu yang sepi itu.
Sati mengusap tengkuknya pias, ia berusaha acuh dengan sesuatu yang mengawasinya itu. Langkah demi langkah seolah ada beberapa langkah juga yang mengikutinya.
Hinga tibalah saatnya, lima orang laki-laki, misterius menyergap Sati secara paksa, tangannya di tarik paksa. Sati berusaha melawan namun tenaganya kala kuat, karena satu lawan lima.
"Tolong lepaskan..." teriak Sati. Hutan bambu yang jauh dari pemukiman rumah warga itu menjadi saksi bisu bagi seorang Gadis berusia empat belas tahun, di rudal paksa oleh lima orang laki-laki misterius.
"Diam kamu, jangan teriak!" Salah satu diantara mereka menampar pipi Sati, hinga sampai Sati ambruk, setelah itu ia meludahi Sati.
Dimana yang lainya malah ikut tertawa puas menyaksikan itu.
"Tolong lepaskan aku!... Aaaaaaa ibu sakit!" Sati mencengkeram tanah sekuat tenaga, saat salah satu dari mereka melancarkan aksi bejadnya.
"Udah minggir cepat gantian..." Yang lainya ingin juga mencoba tubuh Sati.
Darah menetes di tanah, keperawanan Sati pecah, namun mereka masih terus mengiliri Sati hinga lemas.
"Rupanya Bos sangat baik pada kita, dia meminta kita menodai gadis perawan ini, sudah gitu kita dapat bayaran lagi... Hahaha." Mereka tertawa diatas penderitaan Sati.
Setelah mereka puas bergantian, mereka langsung pergi meningalkan Sati yang lemas, dengan pakaiannya yang sudah compang camping. Mereka biarkan begitu saja seperti hewan.
.
.
Sementara itu, sepulang dari rumah Juragan Mukti, entah kenapa perasaan Ratih begitu tidak enak. Ia berfikir mungkin saja karena ia masih kepikiran dengan mimpinya semalam.
Kakinya terus melangkah menuju rumah, matahari sudah masuk ke ufuk barat, kini sudah berganti cahaya bulan di langit yang menggantung sedikit kelabu.
Di pohon bambu, ia mendengar suara rintihan dan erangan, Bukanya takut Ratih malah penasaran dan ia berjalan kearah semak bambu yang cukup lebat.
"Tol..long..." Rintih Sati dalam ketidak berdayaan.
Sebagai seorang ibu, Ratih tersentak kaget, saat melihat putrinya lemah tidak berdaya, dalam kondisi yang memilukan.
"Sati ... Siapa yang melakukan ini Nak?" Ratih menjerit histeris dalam pekatnya waktu surup.
Ia langsung berlari memangil bala bantuan untuk membantu membopong Sati pulang kerumah.
Bahkan Bude Sukma juga langsung melaporkan kejadian ini pada lurah Desa.
Sati sudah dibawa pulang, Ratih lansung menganti baju putrinya, yang dimana kain jarik yang digunakan Sati terkena tanah dan juga darah.
"Pak tolong tangkap pelakunya pak! saya sebagai ibunya sangat tidak terima." Ratih yang melihat Lurah desanya datang, ia langsung mengatkan keluhannya.
"Tunggu jangan gegabah, apakah Bu Ratih sudah tahu siapa pelakunya?" Pak lurah malah balik bertanya, membuat Ratih semakin murka saja.
"Bagimana saya tahu! kalau saya tahu, saya tidak akan melapor! akan saya habisi mereka semua!" Tangannya mengepal kuat. Bude Sukma, langsung meminta Ratih tahan emosi.
"Anak saya di nodai pak! masa bapak akan diam saja!" Ratih meraung memohon keadilan.
"Tapikan bukan saya yang menodai Ratih! kenapa kamu malah ngotot kesaya..." Lurah malah memandang Ratih sinis. seolah ia sedang menyembunyikan sesuatu.
"Lalu apa, gunanya bapak disini! kalau tidak membantu kami, hanya menonton penderitaan orang miskin." Ratih berteriak, menatap tajam sang lurah.
"Oh-bukan begitu Ratih, tolong pelankan nada suaranya." Sang lurah mengelus lengan Ratih, tatapnya mengandung hasrat.
Bahkan Bude Sukma yang menyaksikan itu langsung merasa jijik. "Jangan ganggu keponakan saya! kalau setidaknya sampean tidak mau membantu yah silahkan pergi!" ujar Bude Sukma
Lurah desa langsung keluar dari rumah Ratih, tatapan mesumnya tidak lepas dari Ratih, entah otak kotornya sedang merencanakan apa.
Setelah kepergiannya lurah desa, Ratih langsung duduk ambruk di atas tanah, "Aku ngak sanggup Mba! apa yang harus aku lakukan?... semua ini, adalah salahku, seharusnya tadi aku tidak memintai Sati pulang lebih awal Mba." Ratih meraung, menangisi waktu yang sudah terlewati.
Bude Sukma mengusap lembut rambut Ratih yang berantakan, "Kamu yang sabar Ratih, semua ini sudah terjadi, kamu harus kuat."
"Apa yang akan aku jelaskan Mba, kalau Sati sadar nanti, pasti traumanya begitu dalam, aku takut nanti dia malah depresi Mba." Ratih nampak frustasi, ia tidak bisa membayangkan saat anaknya di lecehkan, lalu meminta tolong, namun tidak ada satu orang pun yang mendengar jeritan atau kesakitannya.
"Mba faham, Mba Tahu hancurnya hati kamu, tapi yang terpenting sekarang, kamu harus kuatkan mental Sati, agar ia tidak merasa di hakimi, ataupun merasa ia sendirian Ratih." Ujar Bude Sukma.
Karena hanya Bude Sukma-lah yang perduli dengan semua ini.
pelan pelan aja berbasa-basi dulu, atau siksa dulu ank buah nya itu, klo mati cpt trlalu enk buat mereka, karena mereka sangat keji sm ankmu loh. 😥