Nasib Si Kayya Yang Miskin

Sore harinya Kayya pulang diantar oleh Nicky. Rencananya hari ini Nicky ingin meminta ijin pada ibu Kayya, untuk mengajak Kayya pergi ke Dubai.

Meski sebagai atasan dia bisa saja tidak peduli, tetapi entah mengapa, Nicky selalu berusaha untuk tetap membuat Kayya nyaman bekerja dengannya. Salah satunya dengan menjaga ibunya. Dengan begitu, saat bekerja Kayya bisa fokus bekerja tanpa perlu mengkhawatirkan ibunya.

Sesampainya di rumah Kayya, Bu Rahayu dan Mbak Sita ternyata sedang membuat kue. Bu Rahayu langsung meninggalkan adonannya dan menemui Nicky. Di matanya Nicky adalah sosok yang sangat baik dan dia begitu menghargainya.

"Pak Nicky, maaf sudah merepotkan anda," kata Bu Rahayu keluar sambil mengelap tangannya.

"Panggil saya, Nicky saja, Bu. Tidak masalah, Bu. Saya memang ada perlu ke sini untuk bicara dengan ibu."

Bu Rahayu merasa gugup melihat wajah Nicky yang serius. Nicky pun tak pelak tertawa. "Maaf, maaf, Bu. Apakah saya menakuti anda?"

"Tidak, Nak Nicky. Ibu hanya terkadang mudah gugup."

"Saya ke sini karena ingin meminta ijin pada Bu Rahayu. Lusa saya ada perjalanan bisnis ke luar negeri. Saya perlu Kayya ikut dengan saya, karena Jovan tidak bisa ikut."

"Luar negeri, Nak?"

"Ya, Bu."

Bu Rahayu melirik Kayya yang sejak tadi hanya diam. Dia melihat sepertinya Kayya sudah tahu akan hal ini.

"Kamu bagaimana, Nak?" tanya Bu Rahayu pada Kayya.

"Saya sudah tahu hal ini, Bu. Sebagai seorang asisten saya memang harus selalu siap bekerja di mana saja." Kayya terlihat begitu yakin dengan keputusannya.

Akhirnya bu Rahayu pun memberikan ijin pada Kayya dan menitipkan Kayya pada Nicky. Setelah berbincang sebentar, Nicky akhirnya pergi. Bu Rahayu menatap Kayya dengan perasaan enggan.

"Dubai itu sangat jauh, Kay."

"Kayya tahu, Bu. Akan tetapi dengan aku mengikuti pak Nicky mungkin aku bisa berkembang. Aku bisa meraih cita cita yang awalnya sulit untuk aku gapai, Bu."

"Maafkan ibu, Nak. Kalau bukan karena kebodohan ibu, mungkin kamu ...."

"Bu, semuanya ini sudah takdir Tuhan. Aku percaya semua hal pasti akan berakhir indah. Yang aku inginkan sekarang, aku bisa membahagiakan ibu. Kalau ibu bahagia, sesulit apapun jalan yang harus aku tempuh, aku pasti akan menghadapinya."

Bu Rahayu memeluk Kayya, dia bersyukur memiliki putri yang berpikiran terbuka dan tidak pernah mengeluh dengan keadaannya.

Malam itu Kayya mengemasi baju bajunya. Dia sampai mencari tahu segala hal yang berkaitan dengan Dubai supaya tidak terlalu merepotkan atasannya di sana.

Paspor Kayya sudah jadi sejak lama, mungkin karena pengaruh uang jadi prosesnya pun cepat dan mudah. Karena besok dia akan terbang, malam itu Kayya sama sekali tidak bisa tidur. Dia sulit untuk memejamkan matanya dan bahkan perutnya pun sepertinya bermasalah.

Kayya merasakan perutnya melilit, tetapi ketika dia ke kamar mandi, dia tidak bisa buang air. Sampai keesokan harinya, mata Kayya sudah seperti mata panda. Meski begitu dia berusaha semaksimal mungkin untuk merias wajahnya agar tampak segar.

"Kamu kenapa, Nak?" bu Rahayu cemas melihat wajah Kayya yang kusut.

"Ga papa, Bu. Mungkin aku cuma gugup aja karena mau terbang jauh."

"Kamu sudah bawa obat-obatan kan? Obat pusing, obat flu, minyak angin semuanya udah kan, sama jangan lupa obat anti mabuknya. Ibu khawatir kamu mabuk perjalanan. Dubai itu jauh sekali, Kayya."

"Ya, Bu semua sudah aku masukin ke tasku ini, tapi kayaknya ga bisa sembarangan pakai minyak angin, Bu. Soalnya takut mengganggu penumpang lain."

"Ya sudah, kamu atur sendiri saja. Enaknya gimana. Ibu do'akan semoga perjalanan kamu lancar, dipermudah urusannya."

"Aamiin, makasih, Bu."

Tak lama, mobil Nicky berhenti tepat di depan halaman Kayya. Pria itu turun untuk berpamitan pada bu Rahayu. Sopir yang mengantar mereka ke bandara, seperti biasa mengambil koper Kayya dan memasukkannya di bagasi.

Setelah berpamitan pada Bu Rahayu, Kayya dan Nicky pergi menuju bandara. Di perjalanan, ponsel Nicky bergetar. Ia mendapat panggilan dari Erlangga.

Setelah mengangkat panggilan Erlangga, Nicky melirik ke arah Kayya. Erlangga menyebut nama Kayya dalam teleponnya. Nicky merasa agak ragu, tetapi dia juga penasaran. Dia pun mulai membuka percakapan.

"Kay, boleh aku tanya sesuatu?"

Kayya yang sedang menatap jalanan segera menoleh, "Mau tanya apa, Kak?"

"Bagaimana ayah kamu meninggal?" tanya Nicky langsung. Dia merasa tidak perlu berbasa basi karena takut Kayya akan curiga.

Kayya menggeleng dengan wajah sendu. "Kalau aku bilang aku juga ga tahu, apa kak Nicky akan percaya?"

"Aku percaya sama kamu, tapi kenapa kamu bisa ga tahu?"

"Waktu itu ada polisi ke rumah kami. Saat itu masih terlalu pagi, polisi datang membawa dompet yang ada foto kami. Mereka berkata ayah menjadi korban laka dan meninggal. Beliau segera dikuburkan karena tubuhnya hancur.

Aku ga bisa percaya itu semua, Kak. Buat aku ini masih menjadi misteri. Jika dompet ayah memang ditemukan di lokasi, kenapa yang hilang hanya identitasnya saja, bukan uangnya? Uangnya utuh di dalam dompet, tetapi kartu identitasnya hilang. Baik itu SIM, KTP semuanya ga ada. Itu alasan polisi waktu itu lama menemukan petunjuk soal kami. Anehnya lagi, biasanya korban seperti itu akan dititipkan dirumah sakit, dimasukkan ke ruang pendingin sampai keluarga datang, lalu kenapa ayahku justru dikebumikan?"

Mendengar ucapan Kayya, Nicky mengernyit. Dia menatap Kayya dengan pandangan lain. Ternyata gadis ini cukup cerdas.

"Bagaimana dengan ibumu?"

Kayya bergumam, "Ibu, ya?" Ia tampak menerawang mencoba mengingat hari itu lagi. Seingatnya ibunya tidak menunjukkan respon apapun, hanya saja dia langsung mengurung diri selama beberapa hari.

"Aku lupa, Kak," kata Kayya sambil memalingkan wajahnya.

Nicky tidak lagi berani bertanya, sepertinya ada luka yang belum sembuh di hati Kayya. Setelah nanti pulang dari Dubai, Nicky memutuskan untuk berbicara pada Erlangga.

Mereka tiba di bandara satu jam sebelum jam keberangkatan.

Sementara itu di ruang kerja Erlangga, Erlangga sedang duduk sembari membuka lembar demi lembar informasi yang dia dapat mengenai Kayya. Informasi yang Erlangga dapat bahkan lebih komplit dari milik Nicky.

Dia rela membayar mahal untuk informasi itu. Sejak Erlangga melihat Kayya malam itu, ia merasa seperti memiliki ikatan dengannya, terlebih wajah Kayya sangat persis dengan wajah neneknya sewaktu muda dulu.

Saat Erlangga membaca satu per satu informasi mengenai Kayya, Erlangga merasa hatinya berdenyut.

Seburuk inikah keluarganya? Mereka memperlakukan istri kedua ayahnya begitu buruk. Padahal bisa saja itu bukan kesalahan perempuan itu.

Erlangga merasa sangat penasaran dan ingin tahu mengenai ibu Kayya. Dia ingin memastikan apakah mereka semua memiliki hubungan dengannya, karena semua keluarganya memilih bungkam dan tidak pernah menyebutkan perihal masalah ini.