Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Malam menua tanpa suara.
Namun di Istana Lang, keheningan tak pernah benar-benar berarti tidur. Ia hanya berganti kulit dari kesibukan siang menjadi bisikan malam.
Ketika lentera satu per satu dipadamkan, ada bayang yang tetap terjaga.
Di sebuah paviliun jauh dari kamar Yun Sia, Mochen berdiri memandangi kolam teratai yang bunganya belum mekar. Airnya tenang, tetapi di bawahnya, ikan bergerak tanpa terlihat. Ia menyeruput tehnya, menghela napas pelan, lalu berkata tanpa menoleh, “Bayangan itu bergerak terlalu lambat.”
Dari balik pilar, Liyan muncul. “Selir Xu menutup pintunya. Tiga dayang dikirim pulang lebih awal. Dan satu tabib keluar dengan wajah seperti orang baru pulang dari pemakaman.”
Mochen mengangguk. “Tidak mati, tapi tidak akan sehat.”
Liyan menipiskan mata. “Dan putri Yun Sia?”
“Tidur.” Mochen menjawab dengan singkat. “Untuk saat ini.”
“Untuk saat ini,” Liyan mengulang dengan suara lebih kecil.
Mereka terdiam.
Di sisi lain istana, A-yang berdiri tegak di luar kamar Yun Sia. Ia menunggu, bersandar di dinding dingin yang menyimpan ribuan cerita. Ia telah menolak tidur sejak matahari hilang, membiarkan malam berlalu seperti seorang penjaga gerbang terhadap sesuatu yang tak bisa dilihat.
Ia menoleh ketika pintu berderit pelan.
Yun Sia berdiri di ambang pintu dengan rambut terurai. Ia mengucek mata, lalu menatap A-yang dengan wajah setengah mengantuk.
“Ayang...?”
“Kenapa belum tidur?” tanyanya.
“Aku mimpi.” Ia menguap kecil.
“Mimpi apa?”
“Bunga tidak mau mekar. Tapi ada suara yang bilang aku salah menyiramnya.”
A-yang mengernyit.
Yun Sia melangkah mendekat dan duduk di lantai tepat di depan pintu, menyandarkan punggungnya ke kaki A-yang. “Kalau mimpi buruk, aku boleh duduk di sini?”
A-yang menelan napas. “Boleh.”
Yun Sia memejamkan mata.
Tak sampai semenit, napasnya sudah teratur. Seakan dunia terlalu berat untuk dipikirkan terlalu lama oleh gadis sekecil itu.
Dan A-yang berdiri di sana, sepanjang malam, menjadi dinding bagi mimpi yang tak ingin dia biarkan retak.
Pagi berikutnya datang membawa kabut.
Permaisuri bangun lebih awal dari biasanya. Ia duduk di depan cermin perunggu, memperhatikan garis halus di wajahnya yang semakin nyata sejak kehilangan Yun Sia. Sejak putrinya kembali, garis itu tetap ada tetapi kini terasa seperti bekas luka yang telah sembuh, bukan luka yang menganga.
Ia menyentuh pipinya pelan.
“Yang mulia,” seorang dayang masuk dengan hati-hati. “Kaisar telah meminta untuk sarapan bersama.”
Biasanya, permintaan dari Kaisar terdengar seperti perintah. Tapi pagi itu, terdengar lebih seperti... ajakan.
Permaisuri tersenyum kecil. “Baik.”
Di ruang makan, suasana berbeda dari hari-hari lain.
Kaisar duduk lebih santai. Ia tidak menepuk meja menunggu laporan, tidak menuntut berita dari perbatasan, tidak menanyakan daftar upeti.
Ia menunggu Yun Sia.
Ketika gadis kecil itu masuk dengan rambut dikepang setengah miring oleh dayang yang jelas belum mahir, Kaisar berdiri.
“Ayah...” Yun Sia tersenyum lebar.
Satu kata itu mengguncang lebih dari ribuan genderang perang.
Kaisar menahan diri untuk tidak menunjukkan terlalu banyak. Tapi tangannya gemetar saat menarik kursi untuk Yun Sia.
“Duduk,” katanya singkat, tapi suaranya lebih rendah, lebih hangat.
Selama sarapan, Yun Sia bercerita tentang mimpinya.
“Bunganya tidak mau mekar kalau disiram banyak-banyak,” katanya sambil memainkan sumpit.
Permaisuri mengangguk. “Kadang, kasih sayang juga begitu. Terlalu banyak bisa membuat akar lelah.”
Kaisar menatap istri dan anaknya bergantian. Lalu berkata pelan, “Atau mungkin bunganya bukan tidak mau mekar... tapi belum waktunya.”
Yun Sia memiringkan kepala. “Kalau begitu, aku tunggu.”
Kaisar tersenyum untuk pertama kalinya dalam entah berapa tahun. Bukan senyum seorang penguasa. Tapi senyum seorang ayah.
Siang hari, angin mengubah arah.
Angin selalu menjadi pembawa kabar bagi mereka yang tahu cara mendengarnya.
Di paviliun tersendiri, Selir Xu terbaring dalam keheningan. Nafasnya tak teratur, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Di samping ranjangnya, tabib tua menggenggam pergelangan tangannya, wajahnya muram.
“Tidak ada racun,” katanya. “Tapi tubuhnya menolak sesuatu.”
“Apa maksudmu?” tanya dayang dengan cemas.
Tabib menggeleng pelan. “Seolah jiwanya menolak tinggal di badannya sendiri.”
Dan di sudut ruangan, bayangan bergerak.
Bukan manusia.
Selir Xu membuka mata tiba-tiba.
Ia melihat sesuatu yang tak seharusnya terlihat.
Seorang gadis kecil berdiri di ujung ranjangnya dengan gaun putih kusam, mata hitam tanpa cahaya, dan rambut terurai seperti malam.
Selir Xu menjerit.
Gadis itu mengangkat tangan, menunjuk ke dadanya.
Dan berkata dengan suara seperti air yang menetes di liang batu, “Aku tidak mati... tapi kau ingin aku mati.”
Selir Xu memegangi dada. Jantungnya berdetak liar.
“Pergi! Pergi!” teriaknya.
Namun gadis itu hanya tersenyum... dan lenyap seketika.
Tabib dan dayang panik.
Tapi tidak ada yang melihat apa pun.
“Hantu... ada hantu...” Selir Xu gemetar.
Tabib menatapnya tajam.
“Yang mulia.”
Selir Xu menggigit bibirnya. “Aku dibuang... aku akan dibakar... aku—”
Kata-kata itu mengalir seperti jarum.
Dan tabib tahu, rahasia telah mulai berdarah.
Di taman istana, Yun Sia bermain dengan burung pipit.
Ia duduk berjongkok, menaburkan remah roti.
Burung-burung mendekat, ragu-ragu, lalu mematuk. “Aku tidak akan menyakitimu,” katanya.
Di balik pepohonan, Mochen memperhatikan, wajahnya tenang, tapi pikirannya tajam.
“Dia tidak tahu,” kata Liyan.
Mochen menjawab pelan, “Atau mungkin tahu... tapi memilih tidak menjadi pisau.”
“Berbahaya.”
“Justru karena itu ia hidup.”
A-yang datang menghampiri Yun Sia, membawa selendang kecil.
“Angin.” katanya singkat.
Yun Sia mengangguk patuh saat A-yang menyelimutkan bahunya.
“Tadi aku dengar orang menjerit,” ujar Yun Sia polos.
A-yang membeku sepersekian detik.
“Siapa?”
“Tidak tahu. Tapi nadanya sedih... bukan marah.”
A-yang menelan napas.
“Yun Sia, kalau seseorang menyakitimu... apa yang akan kau lakukan?”
Yun Sia berpikir.
“Aku mungkin... tidak akan membalas.”
“Kenapa?”
“Karena... orang yang menyakiti biasanya sudah sangat kesepian.”
A-yang menutup mata.
Kalimat itu menghantam lebih keras dari pedang.
Sore hari, Kaisar memanggil pengawal pribadinya.
“Apa yang terjadi pada Selir Xu,?” tanya Kaisar.
Kai maju. “Yang mulia, dia menunjukkan delusi. Bicara tentang anak yang dibuang. Tentang api. Tentang darah.”
Mata Kaisar berubah. “Perintahkan tabib mencatat semua.”
kai melangkah maju. “Yang mulia... jika yang dia katakan benar... maka pelakunya bukan hanya Ledy tapi juga selir Xu, mereka licik.”
Kaisar mengepalkan tangan.
“Dan Andai... itu memang mengarah kepada hilangnya Putri Lang di masa lalu…” Istana terasa tercekik oleh kemungkinan itu. “Cari kebenarannya,” titah Kaisar. “Tanpa suara.”
Malam terakhir dalam bab ini turun perlahan.
Yun Sia duduk di kamarnya, menggambar bunga dengan arang di atas kertas.
Ia menggambar yang setengah mekar.
A-yang menatap gambar itu. “Kenapa tidak digambar mekar penuh?”
Yun Sia menjawab lembut, “Karena nanti terlalu cepat selesai.”
A-yang tersenyum kecil.
Di luar, bulan menggantung seperti rahasia yang belum dibuka.
Dan di paviliun Selir Xu, perempuan itu menjerit dalam tidur berulang-ulang memanggil nama yang tidak berani ia sebut pada siang hari.
Langit Istana Lang retak... perlahan.
Bukan oleh badai.
Tapi oleh kebenaran yang ingin pulang.
Dan tanpa siapa pun sadar, rusa kayu di meja Yun Sia bergerak... sekali... sangat kecil... seperti menghela napas.
Bersambung
Maaf malam ini cuma satu bab disini hujan lebat, petir dan angin, tidak ada signal untuk up
Sekali lagi author minta maaf 🌹🌹🌹🌹