Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Juan Memasang Badan (Mode Protektif)
Bab 34: Juan Memasang Badan (Mode Protektif)
Kamis siang.
Tiga hari setelah insiden tas kanvas yang menggemparkan.
Kampus masih belum tenang. Malah semakin panas, seperti panci presto yang siap meledak.
Surat kaleng di loker Yuni semakin banyak dan semakin agresif.
Bukan lagi tulisan tangan manis dengan tinta glitter warna-warni.
Tapi ketikan komputer dengan font merah tebal.
Isinya:
Jauhin Juan atau lo bakal nyesel seumur hidup. Kita tau lo pulang lewat mana. Kita tau kosan lo. Dasar parasit. Lintah darat.
Yuni membaca surat itu di dalam bilik toilet wanita yang pengap.
Tangannya gemetar hebat.
Dia meremas kertas itu sampai menjadi bola kecil.
Membuangnya ke tempat sampah yang penuh tisu bekas.
Dia takut.
Sangat takut.
Tapi dia tidak bilang ke Juan.
Juan sudah cukup repot dengan tugas akhir yang menumpuk dan urusan BEM yang kacau karena dia sering bolos. Yuni tidak mau jadi beban tambahan.
Dia pikir dia bisa menanganinya sendiri.
Yuni keluar dari toilet.
Mencuci muka di wastafel.
Berjalan menuju kantin Sastra untuk makan siang.
Dia pikir dia aman di wilayahnya sendiri. Di antara teman-teman sesama penyuka buku.
Tapi dia salah.
Di meja kantin tempat dia biasa duduk di pojok, sudah ada sesuatu yang menunggu.
Orang-orang berdiri melingkar, menjaga jarak.
Menutup hidung.
Di atas meja kayu itu, ada sebuah piring plastik putih.
Di atasnya, tergeletak bangkai tikus got yang besar dan basah.
Matanya melotot. Ekornya putus.
Di sebelahnya ada tulisan pakai spidol merah di atas tisu makan:
MAKAN TUH, PARASIT.
Orang-orang di kantin Sastra diam. Menonton.
Tidak ada yang berani mendekat atau membuangnya.
Yuni mematung di ambang pintu.
Lututnya goyah.
Perutnya mual seketika. Asam lambung naik ke kerongkongan.
Darahnya berdesir ngeri.
Ini bukan lagi bully verbal. Ini bukan lagi ejekan di media sosial.
Ini teror psikologis.
"Siapa yang lakuin ini?" tanya Yuni pelan.
Suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.
Tidak ada yang jawab. Semua orang menunduk atau pura-pura sibuk dengan HP mereka. Takut terlibat.
Tiba-tiba.
Ponsel Yuni di saku jeans berbunyi nyaring.
Drrt... Drrt...
Nama Juan muncul di layar.
Yuni mengangkatnya dengan tangan gemetar.
"Halo?"
"Kamu di mana?" Suara Juan terdengar tegang. Panik.
"Kantin Sastra."
"Tunggu di situ. Jangan gerak. Jangan sentuh apapun. Aku ke sana."
"Kenapa?"
"Ada yang lapor ke aku. Kirim foto. Soal tikus."
Yuni terkejut. "Kamu tau?"
"Satu kampus tau, Yuni. Foto bangkai itu udah nyebar di grup angkatan lima menit lalu."
"Aku ke sana sekarang. Jangan takut."
Sambungan putus.
Lima menit kemudian.
Suara keributan terdengar dari pintu masuk kantin.
Juan datang.
Dia tidak berjalan santai dengan gaya cool-nya yang biasa.
Dia berlari.
Menerobos kerumunan mahasiswa Sastra yang kaget melihat "Raja Teknik" masuk ke wilayah mereka dengan napas memburu dan keringat bercucuran.
Dia memakai kaos hitam polos yang basah di punggung.
Juan sampai di meja Yuni.
Dia melihat bangkai tikus itu.
Mencium bau busuknya.
Rahangnya mengeras sampai urat lehernya menonjol jelas.
Matanya gelap. Marah. Sangat marah.
Dia menoleh ke Yuni yang berdiri mematung di samping meja.
Memeriksa Yuni dari ujung kepala sampai kaki.
"Kamu nggak apa-apa? Ada yang kena?"
Yuni menggeleng lemah. "Aku... aku mual."
Juan mengangguk.
Lalu dia melakukan sesuatu yang tidak diduga siapa pun.
Dia mengambil piring plastik berisi bangkai tikus itu dengan tangan kosong.
Tanpa jijik. Tanpa ragu.
Dia berjalan ke tengah kantin.
Naik ke atas kursi kayu panjang.
Berdiri tegak di sana, sehingga semua orang bisa melihatnya.
Dia mengangkat piring itu tinggi-tinggi.
"Denger gue semua!" teriak Juan.
Suaranya menggelegar, memantul di dinding kantin.
Kantin yang tadinya berisik dengan bisik-bisik, mendadak hening total.
Musik dari speaker pojok dimatikan oleh seseorang.
"Gue tau pelakunya ada di sini."
"Atau setidaknya, temennya ada di sini."
Juan menatap satu per satu wajah mahasiswa di sana.
Tatapannya tajam. Mengintimidasi. Mencari rasa bersalah.
"Denger baik-baik."
"Yuni bukan parasit."
"Dia pacar gue."
"Dia orang yang gue sayang."
"Siapapun yang berani nyentuh dia, neror dia, atau bikin dia nangis lagi..."
Juan meremas piring plastik itu sampai penyok.
Bangkai tikus itu jatuh ke lantai dengan bunyi plak yang menjijikkan.
"...berurusan sama gue."
"Gue nggak peduli lo cowok atau cewek. Gue nggak peduli bapak lo siapa."
"Gue bakal cari lo. Gue bakal laporin lo ke Rektorat dengan pasal terorisme dan perbuatan tidak menyenangkan."
"Gue bakal pastiin lo di-drop out."
"Dan gue bakal bikin hidup lo di kampus ini neraka sampai lo lulus."
"Ngerti?!"
Hening.
Sangat hening.
Bahkan lalat pun tidak berani terbang di dekat Juan.
Juan turun dari kursi.
Dia mengambil tisu basah dari saku celananya.
Membersihkan tangannya dengan kasar.
Lalu dia berjalan kembali ke arah Yuni.
Wajah marahnya menghilang saat berhadapan dengan Yuni.
Dia mengambil tangan Yuni.
Menggenggamnya erat.
"Ayo pergi," katanya lembut.
Berbeda 180 derajat dengan nada ancamannya tadi.
Juan membawa Yuni keluar dari kantin Sastra.
Di koridor, mereka berpapasan dengan segerombolan mahasiswi yang memakai atribut fans club Juan (bando nama Juan, pin foto Juan).
Mereka biasanya histeris kalau liat Juan. Minta foto.
Tapi kali ini, mereka menunduk. Takut. Mundur menempel ke dinding.
Juan berhenti di depan mereka.
Gerombolan itu mematung.
"Kalian," kata Juan dingin.
"Kalau kalian beneran fans gue..."
"Hargai pilihan gue."
"Kalau nggak bisa, berhenti jadi fans gue. Bakar poster gue."
"Gue nggak butuh dukungan dari pengecut yang mainnya teror tikus."
Cewek-cewek itu mengangguk cepat, bibir mereka gemetar, hampir menangis.
"Maaf, Kak Juan... Kami nggak ikutan..."
Juan tidak menjawab. Dia menarik Yuni pergi.
Mereka berjalan cepat menuju mobil Juan di parkiran VIP.
Masuk ke dalam.
Juan mengunci pintu. Klik.
Menyalakan mesin dan AC full.
Lalu dia bersandar di jok, memejamkan mata.
Napasnya masih berat.
Tangannya yang memegang setir gemetar sedikit.
Adrenalin pasca-marah.
Yuni menatapnya dari kursi samping.
Hatinya berdesir hebat.
Dia belum pernah melihat Juan semarah itu. Se-protektif itu.
Bukan demi skenario.
Bukan demi Oma.
Tapi demi dia. Yuni.
"Juan," panggil Yuni pelan.
Juan membuka mata. Menoleh.
"Makasih."
"Nggak usah makasih," kata Juan kasar.
"Aku gagal."
"Gagal apa? Kamu baru aja nyelamatin aku."
"Gagal lindungin kamu dari awal. Harusnya kejadian tikus itu nggak pernah ada."
"Aku ceroboh. Aku ngeremehin kegilaan mereka. Aku pikir mereka cuma keyboard warrior."
Juan memukul setir pelan.
"Mulai sekarang, aku nggak akan bolehin kamu sendirian di kampus. Titik."
"Aku bakal jadi bodyguard kamu."
"Ke mana-mana?"
"Ke mana-mana. Ke kelas, ke perpus, ke toilet pun aku tungguin di depan pintu."
"Juan, itu berlebihan. Kamu punya kehidupan sendiri."
"Bodo amat."
"Aku nggak mau liat muka kamu pucat dan ketakutan kayak tadi lagi."
Juan menatap mata Yuni dalam-dalam.
Ada kejujuran yang menyakitkan di sana.
"Aku nggak bisa liat kamu takut, Yun."
"Itu... bikin aku sakit."
Kalimat itu.
Sederhana.
Tapi efeknya seperti bom atom di hati Yuni.
Bikin aku sakit.
Itu bukan kalimat yang diucapkan oleh klien kepada karyawan kontrak.
Itu kalimat yang diucapkan oleh seorang laki-laki yang... peduli.
Sangat peduli.
Yuni menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memanas dan matanya yang berkaca-kaca.
"Oke," bisiknya.
"Jadi bodyguard-ku."
Juan tersenyum tipis.
Dia mengulurkan tangan, mengusap kepala Yuni. Mengacak rambutnya pelan.
"Siap, Tuan Putri."
"Sekarang kita makan. Yang beneran makan. Bukan bangkai tikus."
"Aku tau tempat enak yang aman."
Mobil Juan melaju keluar dari parkiran.
Meninggalkan kampus yang kini tahu satu hal pasti:
Menyentuh Yuni berarti membangunkan naga tidur di dalam diri Juan Adhitama.
Dan tidak ada yang berani melakukannya lagi.