Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Suasana Yang Canggung
Rumah sakit
Bik Laras segera mengambil wadah plastik dari dalam kantong belanja dan mengeluarkan bubur ayam hangat yang masih mengepul. Aromanya langsung memenuhi ruangan VIP itu, membaur dengan semerbak lembut dari diffuser aroma terapi di pojok ruangan. Ia menyiapkan sendok dan tisu dengan cekatan, lalu menaruhnya di atas meja kecil samping ranjang Shanum.
“Nih, buburnya masih anget. Tadi beli di langganan saya dekat , enak, enggak terlalu asin,” kata Bik Laras sambil tersenyum.
Shanum hanya mengangguk pelan dari balik selimut, menyibakkan sedikit kainnya agar bisa duduk bersandar. Pipinya masih sembab kemerahan, bukan karena marah, tapi canggung. Terlalu banyak yang terjadi pagi itu. Ervan. Gendongan. Kata-kata soal tanggung jawab. Dan sekarang … sarapan.
Sementara itu, Ervan berjalan ke meja kecil di dekat jendela. Ia mengambil kantong kertas berisi kotak roti, tanpa menyuruh Bik Laras, ia membuka kotak itu sendiri. Di dalamnya ada dua potong sandwich isi telur dan ayam asap, serta dua potong roti panggang yang sudah dioles selai stroberi.
Ia membawa kotak itu ke sofa panjang yang ada di pojok ruangan, tak jauh dari tempat tidur Shanum, lalu duduk tenang, membuka botol air mineral, dan mulai menikmati sarapannya.
Tanpa banyak suara.
Hanya terdengar denting pelan sendok di mangkuk bubur Shanum, dan sesekali suara kertas roti berkeresek saat Ervan menggigit rotinya.
Canggung.
Pagi itu terasa seperti pertarungan dalam diam. Mereka tidak sedang marah, tapi juga tidak sepenuhnya berdamai. Semua seperti tertahan di antara kalimat yang tidak selesai.
Ervan mengunyah pelan, lalu mengambil ponsel dari saku celananya dan mengetik sesuatu.
Ikhsan, saya kerja dari RS dulu hati ini. Tolong bawa dokumen merger yang kemarin saya tandain di meja. Segera kirim ke rumah sakit.
Setelah pesan terkirim, ia meletakkan ponsel di atas meja kecil di sebelah sofa. Tatapannya tanpa sengaja tertuju ke arah Shanum yang sedang disuapi Bik Laras. Gadis itu menunduk, mengambil suapan kecil demi kecil. Wajahnya sedikit lebih tenang, tapi matanya tetap penuh kehati-hatian, seperti orang yang belum memutuskan apakah akan mempercayai dunia atau tidak.
Mata mereka bertemu sekilas.
Ervan segera mengalihkan pandangannya, berpura-pura melihat langit yang cerah di balik kaca jendela besar kamar itu. Pagi yang hangat, tapi di antara mereka justru ada udara dingin yang mengganjal.
“Bik … cukup deh. Shanum bisa makan sendiri,” gumam Shanum akhirnya, pelan.
Bik Laras mengangguk. “Iya, kalau udah kuat ya enggak apa-apa. Tapi makannya jangan buru-buru. Nanti saya buatin teh manis anget, ya?”
“Terima kasih, Bik,” jawab Shanum.
Begitu Bik Laras pergi ke pantry kecil di pojok ruangan, keheningan kembali menyelimuti. Ervan masih memegang setengah sandwich, dan Shanum memandangi sisa buburnya dengan tatapan datar.
“Enak buburnya?” tanya Ervan, akhirnya.
Shanum menoleh pelan. “Lumayan. Terlalu banyak merica, tapi hangatnya enak.”
Ervan mengangguk sekali. “Biasanya dia suka masak bubur ayam di mansion.”
“Hm,” gumam Shanum, suaranya hampir seperti desisan.
Ervan kembali mengunyah roti tanpa bicara. Pikirannya berputar—mencari cara bagaimana membuka pembicaraan tanpa memicu ledakan emosi lagi. Tapi rasanya sulit. Terlalu banyak luka, terlalu banyak jarak yang terbentuk sejak awal.
Namun matanya kembali terarah pada perempuan di ranjang itu. Shanum. Perempuan yang dalam waktu singkat menjadi bagian dari hidupnya … meski dulu ia pikir, itu semua hanya sementara.
“Shanum ….”
Gadis itu menoleh perlahan. Matanya menatap penuh siaga, seperti siap diserang dengan pernyataan aneh lagi.
Ervan sempat ragu. Tapi akhirnya tetap bicara. “Kalau kamu tidak nyaman saya di sini, bilang aja. Saya bisa tunggu di luar sampai Ikhsan datang bawa dokumen.”
Shanum terdiam sebentar, lalu kembali menyuapkan sesendok bubur ke mulutnya. “Terserah.”
“Terserah berarti boleh?” tanya Ervan, mencoba membaca intonasi itu.
“Terserah berarti Shanum enggak mau ribut pagi-pagi. Seharusnya Bapak yang lebih tua umurnya lebih paham akan maksud Shanum,” jawab Shanum sambil menatap roti yang ada di tangan Ervan. “Memangnya Bapak tidak ke kantor? Atau ada niatan untuk tetap di sini?”
Ervan menyandarkan punggung ke sofa, menatap langit-langit ruangan sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kamu masih bisa baca maksud saya, ya?”
Shanum tidak membalas. Ia hanya menyeruput air putih dari gelas plastik di sampingnya, lalu meletakkannya perlahan kembali ke meja kecil.
“Shanum bukan orang bodoh, Pak,” gumamnya.
“Dan saya bukan orang jahat,” sahut Ervan, nada suaranya pelan tapi mantap.
Keheningan kembali turun. Tapi bukan seperti tadi. Kali ini lebih seperti jeda antara dua kalimat penting.
Bik Laras kembali dari pantry membawa cangkir berisi teh manis hangat, meletakkannya dengan hati-hati di meja kecil, lalu mengusap punggung tangan Shanum sebentar.
“Kalau butuh apa-apa, panggil saya ya. Saya ke bawah sebentar beli alat mandi buat saya.”
Shanum mengangguk. “Ya, Bik.”
Saat pintu tertutup kembali, hanya mereka berdua yang tersisa.
Dan diam itu kembali merayap, kali ini makin kental, seperti kabut yang menahan mereka untuk bicara terlalu banyak.
“Shanum enggak tahu,” kata Shanum akhirnya, suaranya pelan. “Apa semua ini bentuk tanggung jawab … atau cuma rasa bersalah.”
Ervan memutar tubuhnya di sofa, menghadap lebih langsung ke arah ranjang. “Mungkin dua-duanya.”
“Jujur banget,” gumam Shanum.
“Kalau saya bilang ini cinta, kamu pasti akan ketawa dan tidak akan percaya. Karena saya sudah memiliki wanita yang sangat saya cintai,” ujar Ervan pelan.
Shanum tidak menjawab. Ia menatap bubur di mangkuknya yang tinggal setengah, mengaduknya perlahan dengan sendok. Tidak ada rasa cemburu pada suaminya, walau ia tidak bisa pungkiri sosok Ervan lebih tampan, lebih gagah dari pada Reinaldi.
“Karena saya tahu kamu tidak akan percaya,” lanjut Ervan. “Dan mungkin saya juga belum benar-benar yakin apa ini cinta atau cuma penyesalan. Tapi saya tahu satu hal, saya tidak ingin kamu sendirian di saat ini. Jadi, tolong jangan terlalu dibawa perasaan jika melihat saya hari ini agak berubah.”
Shanum menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air matanya agar tidak menetes begitu saja. Kata-kata Ervan itu … seperti lembaran takdir yang belum selesai ditulis. Ganjil. Tidak pasti. Tapi juga … tidak sepenuhnya menyakitkan.
“Shanum enggak butuh dikasihani, Pak.”
“Shanum enggak mengasihani kamu. Dan, tidak butuh pula dicintai oleh Bapak. Shanum tahu diri."
“Dan Bapak enggak harus ada di sini kalau Bapak memang masih ingin menikahi tunangannya," ucap Shanum, lebih pelan. “Kelak Shanum bisa lahirin dan membesarkan anak ini sendiri. Shanum tidak butuh drama tambahan.”
Ervan bangkit dari sofa, berjalan pelan ke arah ranjang. Ia tidak lagi membawa sisa roti, hanya berdiri di sisi tempat tidur dan menatap Shanum yang sudah memalingkan wajahnya.
Bersambung .... ✍️
ternyata papa Wijat lebih bijak menyikapi permasalahan Shanum terlepas dr kesalahan Reinaldi d banding anda pa Aiman!!!
hidup tersakiti bahkan sama dua orang kaka beradik skaligus,,begitu miris hidup Shanum d lecehkan oleh Reinaldi,,d tekan oleh Ervan, d hina ma Meidina dn d caci maki ma bu Diba..bahkan orangtua sendiri mengusir nya,,,tp TIDAK dengan papa Wijat..dengan penuh kasih sayang papa Wijat merangkul Shanum jangan sampe terpuruk lebih jauh,,dengan penuh kasih papa Wijat memberikan ketenangan..bahkan papa Wijat pasang badan utk Shanum jika ada yg berani menyakiti nya 🥺...kasih sayang papa Wijat melebihi kasih sayang orangtua kandung 😥
bangkitlah Nuuum,,jangan kecewakan papa Wijat yg begitu sayang ma kamu layak nya puteri sendiri..tunjukan pada orang2 yg telah menyakiti muuu 🥺💪💪