"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
...****************...
Musik berdentum lembut di dalam venue acara, mengiringi suara langkah para tamu yang berlalu-lalang di karpet merah. Cahaya lampu sorot menyorot panggung utama, tempat para model berlenggak-lenggok dalam balutan busana rancangan eksklusif.
Aku berdiri di belakang panggung, mengenakan gaun figure skating yang khusus dirancang untukku. Bahannya lembut, pas di tubuh, dan berkilauan setiap kali aku bergerak. Di kakiku, sepasang sepatu skate dengan pisau tajam sudah siap membawa tubuhku meluncur dengan anggun.
"Gimana rasanya?" tanya Arsen, suaranya terdengar datar seperti biasa.
"Bagus. Tapi agak ketat di bagian pinggang," balasku, meliriknya sekilas.
"Kalau tidak nyaman, bilang ke desainer. Jangan dipaksakan," ucapnya tenang.
"Sudah telat. Sebentar lagi aku harus tampil," helaku, menerima kenyataan bahwa tidak ada waktu untuk perbaikan.
Salah satu kru acara menghampiri kami, memberi isyarat bahwa giliranku akan segera tiba. Aku mengambil napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ini bukan pertama kalinya aku tampil di depan banyak orang, tapi tetap saja ada sedikit rasa gugup.
"Lakukan seperti biasanya. Tidak perlu berlebihan, cukup buat mereka terpesona," ucap Arsen setelah menatapku beberapa detik.
"Itu maksudnya kau menyemangatiku?" tanyaku, menatapnya heran.
Arsen mendesah pelan. "Terserah bagaimana kau menafsirkannya," balasnya enggan.
Aku terkekeh kecil, lalu berjalan menuju area pertunjukan. Begitu namaku dipanggil, sorak-sorai penonton terdengar menggema.
Saat kakiku menyentuh permukaan es buatan di tengah panggung, tubuhku langsung bergerak otomatis. Meluncur dengan ringan, berputar dengan anggun, lalu melompat melakukan spin yang sempurna. Gaun ini benar-benar menyatu dengan setiap gerakanku, menciptakan siluet yang memukau.
Aku bisa merasakan banyak mata tertuju padaku. Tapi satu tatapan yang paling terasa menusuk adalah tatapan pria yang berdiri di sudut ruangan, dengan mata tajamnya yang tak pernah lepas dari setiap gerakanku.
Arsen.
...****************...
Acara pun selesai dengan lancar dan meriah.
Suasana makan malam terasa mewah. Lampu gantung besar berkilauan, menciptakan cahaya lembut yang bikin ruangan makin elegan. Semua tamu terlihat menikmati hidangan, berbincang santai sambil sesekali tertawa kecil.
Aku duduk di meja bersama Arsen dan beberapa orang penting dari industrinya. Makanan di piringku masih utuh, baru kusentuh sedikit karena sejak tadi lebih sibuk mengamati suasana sekitar.
Lalu, tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang berhenti di dekat mejaku.
Perasaan nggak enak langsung muncul.
Aku mendongak—dan sial.
Rizky.
Pria itu berdiri di sana dengan setelan jas rapi, kamera tergantung di lehernya. Wajahnya sedikit terkejut saat melihatku, tapi nggak butuh waktu lama sebelum dia tersenyum. Senyuman yang bikin perutku terasa mual.
"Sienna?"
Tanganku otomatis mengepal di atas paha.
Arsen yang duduk di sebelahku melirik sekilas, tapi nggak bilang apa-apa.
"Aku nggak ada urusan sama kau," kataku sambil menarik napas dalam dan membuangnya perlahan.
"Ayolah, Sienna. Aku cuma mau bicara sebentar," ucapnya, malah tertawa kecil.
"Nggak ada yang perlu dibicarakan," balasku, langsung menatapnya tajam.
"Sebentar aja, bisa?" tanyanya, masih aja ngotot.
Aku benar-benar nggak mau berurusan lagi sama dia, tapi sebelum aku bisa menolak, Arsen tiba-tiba buka suara dengan nada datarnya.
"Kalau mau bicara, jangan di sini."
Aku menoleh ke arahnya, sedikit nggak percaya. Dia serius nyuruh aku buat ngobrol sama pria itu?
Rizky tersenyum tipis, lalu melirik ke arah pintu keluar. "Hanya sebentar, aku janji."
Aku menggigit bibir bawah, otakku bekerja keras mencari alasan buat kabur dari situasi ini. Sial. Kenapa harus ketemu dia di sini, di saat seperti ini?
Aku mundur selangkah, berusaha menjaga jarak, tapi Rizky malah makin mendekat. Tangannya sempat menyentuh lenganku, mencengkeram sebentar sebelum aku tepis dengan kasar.
"Jangan sentuh aku!"
Aku bisa merasakan wajahku menegang, napasku sedikit memburu. Hawa di ruangan ini mendadak terasa sesak, bukan karena banyaknya orang, tapi karena kehadiran pria ini yang membuat tubuhku otomatis waspada.
Rizky masih tersenyum, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang bikin perutku terasa nggak nyaman.
"Sienna, kau terlalu kaku. Aku cuma mau bicara baik-baik."
"Aku nggak punya urusan sama kau. Pergi!"
Dia mendekat lagi, kali ini tangannya mencoba menggenggam pergelangan tanganku.
Brak!
Aku hampir loncat kaget ketika kursi yang tadi diduduki Arsen terseret ke belakang dengan keras.
Aku menoleh, mendapati pria itu kini berdiri dengan ekspresi datar khasnya, tapi sorot matanya gelap.
"Lepaskan tangannya," ucap Arsen pelan, tapi dingin.
Rizky melirik ke arahnya, lalu tertawa kecil.
"Santai saja, Tuan Ludwig. Aku dan Sienna hanya teman lama."
"Kau tuli?" Kali ini suara Arsen terdengar lebih rendah, ada nada ancaman yang jelas di sana. "Aku bilang lepaskan."
Rizky masih menahan genggamannya, dan saat itu juga tubuhku terasa kaku. Ada sekilas ingatan yang muncul di kepalaku—saat di mana lima tahun lalu dia juga menggenggam tanganku seperti ini. Bedanya, waktu itu aku nggak bisa kabur.
Panik mulai merayap di dadaku, napasku memburu tanpa bisa kukendalikan. Aku hampir mendorong Rizky sekuat tenaga, tapi sebelum sempat melakukannya, tiba-tiba saja dia melepaskan cengkeramannya sendiri.
Atau lebih tepatnya, tangannya dicengkeram lebih kuat oleh Arsen.
"Tuan Ludwig," Rizky tertawa kecil, tapi ekspresinya jelas berubah sedikit panik. "Kau nggak perlu se—"
Kata-katanya terpotong saat Arsen mencengkeram lebih kuat, membuat Rizky mengerang pelan.
"Aku tidak suka mengulang perintah," suara Arsen tetap datar, tapi tekanan pada tangannya semakin kentara. "Kalau kau ingin tetap bisa memakai tanganmu untuk memotret, aku sarankan kau pergi sekarang."
Aku melihat rahang Rizky mengeras, seolah dia menahan sakit dan juga harga dirinya yang diinjak-injak. Namun, dia bukan orang bodoh. Setelah beberapa detik, dia akhirnya menarik napas kasar dan menghempaskan tangannya dari cengkeraman Arsen.
"Baiklah," gumamnya dingin. "Tapi kita belum selesai, Sienna."
Lalu dia berbalik dan berjalan pergi.
Aku masih berdiri di tempat, napasku belum kembali normal, tanganku bahkan sedikit gemetar.
Arsen melirikku sekilas. "Kau baik-baik saja?"
Aku menelan ludah, berusaha meredakan gemetar di tubuhku. "Aku butuh udara," gumamku pelan. Lalu tanpa menunggu jawaban, aku langsung melangkah keluar ruangan, mencari tempat sepi untuk menenangkan diriku sendiri.
.
.
.
.
Next 👉🏻