Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Persimpangan Takdir
"Ketika berada di persimpangan takdir, terkadang kita harus berani memilih. Bukan hanya dengan hati, tetapi juga dengan iman."
---
Hati yang Masih Bimbang
Hari-hari setelah pertemuan dengan Daffa terasa semakin berat bagi Arpa. Ia mencoba menenangkan diri, menyibukkan dirinya dengan aktivitas kampus dan dakwah, tapi pikirannya terus dipenuhi oleh satu pertanyaan besar:
Apakah ia harus tetap menunggu Fathir atau menerima Daffa yang sudah pasti ingin melamarnya?
Ia tahu, menunggu adalah keputusan yang ia ambil dengan kesadaran penuh. Ia yakin bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya menunggu tanpa alasan. Namun, kini hatinya mulai diuji dengan cara yang tak ia duga—hadirnya seseorang yang menawarkan kepastian.
Daffa bukan sekadar pria biasa. Ia memiliki segalanya—akhlak yang baik, keyakinan yang kuat, dan kesungguhan yang nyata. Jika ia menerima Daffa, ia tak perlu lagi hidup dalam ketidakpastian. Tak perlu lagi bertanya-tanya apakah Fathir akan benar-benar kembali atau tidak.
Namun, di sisi lain, ada Fathir. Lelaki yang telah ia tunggu lebih dari dua tahun. Seseorang yang ia percayai bukan hanya karena janji, tetapi juga karena doa-doa yang terus dipanjatkan.
Malam itu, setelah shalat Isya, Arpa berjalan menuju balkon kamarnya. Angin malam berhembus pelan, menyentuh wajahnya dengan lembut. Langit bertabur bintang, seolah menjadi saksi bisu atas pergolakan hatinya.
Ia menghela napas panjang. Hatinya lelah.
Ya Allah, aku ingin memilih dengan benar. Aku ingin mengambil keputusan yang Engkau ridhoi. Tapi kenapa semakin aku mencari jawaban, semakin aku merasa bimbang?
Ia menutup matanya, mengingat kembali bagaimana perjalanan ini dimulai. Bagaimana ia dan Fathir sepakat untuk menjaga hati. Bagaimana mereka berjuang dalam diam, merawat cinta dalam doa, tanpa melanggar batas yang telah ditentukan Allah.
Tapi sekarang, ujian itu semakin nyata.
---
Doa yang Menggetarkan Hati
Setelah mengambil wudhu, Arpa menggelar sajadahnya dan menunaikan shalat Tahajjud. Hatinya begitu sesak hingga ia merasa hanya kepada Allah ia bisa mengadu.
Dalam sujud panjangnya, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.
"Ya Allah, Engkau yang Maha Mengetahui segala isi hatiku. Aku tak ingin menduakan hati, aku tak ingin mengkhianati janji. Tapi aku juga takut memilih jalan yang salah. Jika Fathir memang Engkau takdirkan untukku, maka teguhkan hatiku untuk tetap menunggunya. Tapi jika ada takdir lain yang lebih baik, maka lapangkan hatiku untuk menerimanya."
Tangannya menggenggam erat kain sajadah. Ia merasa begitu rapuh, begitu lemah.
Dalam keheningan malam itu, ia berharap ada jawaban yang Allah letakkan di hatinya.
Namun, saat ia membuka mata, keheningan tetap menyelimuti. Tak ada jawaban instan. Hanya ada perasaan damai yang perlahan merayapi hatinya.
Arpa menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Ya Allah, aku menyerahkan semuanya kepada-Mu. Bimbing aku dalam kebimbanganku ini. Jangan biarkan aku mengambil keputusan hanya karena takut atau karena lelah menunggu."
Malam itu, Arpa tak langsung tidur. Ia duduk di atas ranjangnya, menatap jurnal yang selama ini menjadi tempat ia mencurahkan isi hati. Dengan tangan yang masih gemetar, ia membuka lembaran baru dan mulai menulis:
"Aku tahu, Allah sedang mengujiku. Bukan hanya tentang kesabaran, tetapi juga tentang kepercayaan. Jika selama ini aku percaya bahwa Fathir adalah seseorang yang Allah hadirkan dalam hidupku untuk sebuah tujuan besar, maka mengapa aku harus ragu sekarang?"
"Tapi di saat yang sama, aku juga takut. Bagaimana jika aku menunggu sesuatu yang sebenarnya tidak pasti? Bagaimana jika aku hanya menggantungkan harapan pada sesuatu yang bisa saja berubah?"
Arpa menutup jurnalnya, menghela napas panjang.
Malam itu, ia tidur dengan hati yang masih bimbang, berharap esok akan membawa sedikit kejelasan.
---
Daffa yang Kian Serius
Daffa tidak menyerah. Sejak percakapan mereka di acara keluarga, ia semakin sering menghubungi Arpa dengan alasan yang sopan dan tidak berlebihan. Ia tidak ingin terkesan memaksa, tetapi setiap langkahnya menunjukkan kesungguhan.
Arpa sendiri mulai merasa bimbang. Setiap pesan yang dikirimkan Daffa membuat hatinya sedikit bergetar. Bukan karena ia mulai berpaling, tetapi karena Daffa menghadirkan sebuah kepastian yang tidak ia dapatkan dari Fathir.
---
Pertemuan yang Menggetarkan Hati
Sore itu, saat Arpa baru saja keluar dari masjid kampus setelah mengajar anak-anak mengaji, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Daffa.
Daffa: “Arpa, aku ingin bertemu denganmu sebentar. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Aku janji, ini tidak akan lama.”
Arpa menatap layar ponselnya dengan perasaan yang campur aduk.
Awalnya ia ingin menolak, tetapi ada sesuatu dalam hatinya yang mengatakan bahwa ia harus mendengar apa yang ingin dikatakan Daffa.
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya ia mengizinkan.
Mereka bertemu di sebuah kafe yang dekat dengan masjid, tempat yang ramai dan cukup terbuka untuk menghindari prasangka. Arpa tiba lebih dulu, memilih tempat duduk di dekat jendela.
Beberapa menit kemudian, Daffa datang dengan langkah tenang. Ia mengenakan kemeja putih bersih dan celana bahan gelap, tampak rapi dan berwibawa seperti biasanya.
“Assalamualaikum,” sapa Arpa pelan saat Daffa duduk di hadapannya.
“Waalaikumsalam,” jawab Daffa dengan senyum tipis. Ia menghela napas sebelum berkata, “Terima kasih sudah mau bertemu.”
Arpa mengangguk pelan. “Ada apa, Daffa?”
Daffa menatapnya dengan serius, matanya berbicara lebih banyak daripada kata-katanya.
“Arpa, aku tahu aku mungkin membuatmu tidak nyaman dengan keinginanku. Tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja.”
Arpa menundukkan pandangannya. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons kata-kata Daffa yang begitu tegas.
“Aku tahu kamu masih menunggu seseorang. Aku tahu kamu adalah perempuan yang teguh dalam keputusan. Dan itu salah satu hal yang membuatku semakin yakin… bahwa aku ingin bersamamu.”
Jantung Arpa berdegup lebih cepat.
“Aku ingin kamu berpikir dengan lebih luas, Arpa,” lanjut Daffa. “Penantian bisa menjadi sesuatu yang indah, tapi juga bisa menjadi jebakan jika tidak memiliki kepastian. Aku tidak ingin melihatmu terluka karena berharap pada sesuatu yang tidak pasti.”
Arpa terdiam. Kata-kata Daffa seperti menekan titik lemahnya yang paling dalam.
Ia tahu, penantian tanpa kepastian memang bisa menjadi pedang bermata dua.
“Arpa, aku tidak meminta jawaban sekarang,” lanjut Daffa, suaranya lebih lembut, tapi tetap penuh ketegasan. “Tapi aku ingin kamu tahu, aku siap datang ke keluargamu, berbicara baik-baik dengan mereka. Aku siap menjalani ini dengan cara yang benar.”
Hati Arpa semakin bergetar.
Ia menatap Daffa dalam diam, mencoba mencari ketulusan di matanya. Namun, yang ia lihat bukan hanya ketulusan, tetapi juga kesungguhan yang tidak main-main.
“Aku tidak ingin memaksamu,” lanjut Daffa. “Tapi aku juga tidak ingin berpura-pura tidak merasakan apa-apa. Aku ingin melamarmu, Arpa. Aku ingin menjadikanmu bagian dari hidupku.”
Kata-kata itu menghantam hatinya dengan begitu kuat.
“Aku bisa menunggumu,” kata Daffa. “Aku tidak meminta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kamu mempertimbangkan ini dengan hati yang benar-benar jernih.”
Arpa masih diam.
Di dalam hatinya, ada suara yang berkata, "Daffa adalah pilihan yang lebih pasti. Dia ada di sini. Dia tidak memintamu menunggu tanpa kepastian."
Tapi di sisi lain, ada suara lain yang berbisik, "Bagaimana dengan Fathir? Apakah kamu benar-benar bisa melepaskan penantianmu begitu saja?"
Daffa menghela napas panjang, seolah bisa merasakan kebimbangan di dalam diri Arpa.
“Aku tidak ingin menjadi alasan kamu melangkah tanpa keikhlasan, Arpa. Jika memang hatimu masih ingin menunggu, aku akan menghormatinya. Tapi jika kamu butuh seseorang yang benar-benar siap untuk memperjuangkanmu sekarang, aku ada di sini.”
Hati Arpa semakin sesak.
Ia menggenggam ujung hijabnya, mencoba mencari ketenangan di tengah badai perasaan yang melanda.
Akhirnya, setelah beberapa saat, ia berkata dengan suara pelan, “Daffa… aku butuh waktu.”
Daffa tersenyum tipis, meskipun ada kekecewaan yang tersirat di wajahnya. “Aku mengerti. Aku akan menunggu jawabanmu, Arpa.”
Arpa menundukkan kepala, merasa bahwa setelah pertemuan ini, hatinya akan lebih sulit untuk kembali tenang.
---
Refleksi Setelah Pertemuan Itu
Sepulang dari pertemuan itu, Arpa merasa dadanya begitu sesak.
Ia berjalan menuju kosnya dengan langkah pelan, merasakan angin malam yang bertiup lembut. Namun, hatinya justru terasa semakin berat.
Saat tiba di kamar, ia langsung mengambil wudhu dan menunaikan shalat.
Dalam sujudnya, air matanya kembali jatuh.
"Ya Allah, apakah aku terlalu sombong karena masih bertahan dengan penantian ini? Atau apakah aku terlalu lemah jika aku menyerah begitu saja?"
Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia mulai merasa takut.
Takut bahwa jika ia menolak Daffa, ia akan menyesal di kemudian hari. Tapi ia juga takut bahwa jika ia menerima Daffa, ia akan mengingkari penantian yang selama ini ia jaga dengan begitu kuat.
Setelah shalat, ia duduk di sajadahnya, menatap mushaf kecil yang telah lama menjadi teman setianya.
Ia membuka lembaran Al-Qur’an secara acak, dan matanya jatuh pada satu ayat:
"Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Anfal: 46)
Air matanya semakin deras.
Malam itu, ia menulis di jurnalnya:
"Aku tahu, Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya menunggu tanpa alasan. Tapi aku juga tahu, Allah tidak akan membuatku bingung tanpa tujuan. Aku harus mencari jawaban ini bukan dari perasaan semata, tapi dari keimanan yang telah aku bangun selama ini."
---
Keyakinan yang Kembali Diuji
Setelah pertemuan itu, Arpa merasa semakin tertekan. Malam-malamnya yang selama ini tenang, kini berubah menjadi pergolakan batin yang tak kunjung reda. Ia duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya dengan hati yang gelisah.
Percakapan dengan Daffa tadi siang terus berputar di kepalanya. Kata-kata laki-laki itu seperti meluruhkan pertahanannya yang selama ini ia bangun dengan sabar.
"Penantian bisa menjadi sesuatu yang indah, tapi juga bisa menjadi jebakan jika tidak memiliki kepastian."
Kalimat itu terus terngiang, membuat keyakinannya mulai goyah.
Ia membuka aplikasi pesan, menatap nama Fathir yang terpampang di layar. Jemarinya bergerak pelan, mencoba mengetik sesuatu.
"Fath, apakah kau benar-benar akan kembali?"
Namun, sebelum pesan itu terkirim, jemarinya berhenti.
Ia menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu.
Ia ingin bertanya... ingin memastikan sesuatu... tapi kata-kata itu seperti tertahan di ujung jemarinya.
Hatinya berperang hebat.
"Bagaimana jika ia sudah berubah? Bagaimana jika ia tidak lagi merindukanku seperti dulu?"
Namun, seolah Allah mengetahui kegelisahannya, ponselnya tiba-tiba bergetar lebih dulu. Sebuah pesan suara masuk dari Fathir.
Dengan cepat, Arpa memasang earphone dan mendengarkan.
Suara Fathir terdengar jelas, hangat seperti biasa, tetapi kali ini ada getaran halus di dalamnya.
Fathir: “Assalamualaikum, Arpa. Aku nggak tahu kenapa, tapi hari ini aku merasa harus menghubungimu. Mungkin karena aku merasakan sesuatu. Aku hanya ingin bilang… aku masih di sini. Aku masih berusaha menjaga hati ini untuk kita.”
Arpa menutup matanya, air mata mulai menggenang.
Seolah Fathir mampu membaca isi hatinya dari ribuan kilometer jauhnya.
Fathir: “Aku tahu perjalanan ini berat. Aku tahu dua tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah melupakan janjiku. Aku tidak pernah berhenti berdoa agar Allah menjaga hati kita dalam penantian ini.”
Air mata Arpa jatuh perlahan, membasahi pipinya.
Ia menggenggam ujung sajadah yang terlipat di atas tempat tidurnya, berusaha menahan gejolak yang berkecamuk di dadanya.
Fathir: “Jika kamu lelah, jika kamu merasa ragu, aku ingin kamu jujur padaku. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, aku tidak akan mundur selama Allah masih mengizinkan kita untuk tetap dalam jalan ini.”
Pesan itu berakhir, meninggalkan keheningan yang begitu dalam. Namun, di dalam hati Arpa, pesan itu justru menjadi titik awal dari pergolakan batin yang semakin besar.
---
Pergulatan Batin
Arpa meletakkan ponselnya di meja kecil di samping ranjang. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, menahan tangis yang semakin deras.
"Ya Allah... aku ingin menunggu, tapi aku juga takut. Aku ingin menjaga janji ini, tapi aku juga lelah."
Ia bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan menuju jendela kamarnya. Langit malam terlihat begitu luas, dengan bintang-bintang yang berkelip terang.
Angin malam berhembus pelan, seolah membawa bisikan lembut dari langit.
Di saat hatinya sedang rapuh, suara Fathir tadi seperti menjadi pengingat bahwa penantian ini bukan hanya tentang dirinya seorang.
Fathir juga sedang berjuang dari tempat yang jauh.
Namun, di sisi lain, ada Daffa yang menawarkan sesuatu yang lebih pasti.
Sesuatu yang nyata.
Arpa merasa seperti berada di persimpangan jalan yang begitu membingungkan.
---
Doa yang Menggetarkan Jiwa
Malam itu, Arpa kembali menggelar sajadahnya. Ia menunaikan shalat Istikharah dengan hati yang remuk redam.
Dalam sujud panjangnya, ia berbisik dengan suara bergetar:
"Ya Allah, aku tak ingin menduakan hati... aku tak ingin memilih sesuatu hanya karena rasa takut atau lelah."
"Jika Fathir memang Engkau takdirkan untukku, maka kuatkan hatiku untuk tetap menunggunya. Tapi jika ada takdir lain yang lebih baik, maka lapangkan hatiku untuk menerimanya."
Air matanya terus jatuh.
Ia merasa begitu kecil di hadapan Allah.
Namun, meskipun hatinya masih bimbang, ada ketenangan yang perlahan menjalar di dalam dirinya.
---
Pesan yang Membuka Hati
Arpa kembali mengambil ponselnya. Kali ini, ia menekan tombol rekam suara dan mulai berbicara dengan suara lirih.
Arpa: “Assalamualaikum, Fath. Aku... aku ingin bilang terima kasih.”
Suara Arpa bergetar, menahan isak.
Arpa: “Aku tidak tahu bagaimana kamu bisa mengirim pesan itu di saat aku sedang sangat bimbang. Mungkin Allah yang menggerakkan hatimu. Aku ingin kamu tahu... aku masih di sini. Aku masih menjaga hati ini. Tapi jika suatu saat aku mulai ragu, tolong ingatkan aku lagi... bahwa cinta yang dijaga dalam ridho Allah tak akan pernah sia-sia.”
Ia menekan tombol kirim, lalu memeluk ponselnya erat-erat.
---
Jawaban dari Langit
Di belahan dunia lain, Fathir membaca pesan itu dengan mata yang berkaca-kaca.
Ia menatap langit malam dari balkon asramanya, lalu menengadahkan tangan dalam doa.
"Ya Allah, kuatkan hatinya seperti Engkau menguatkan hatiku. Jika dia memang takdirku, pertemukan kami dalam keberkahan. Tapi jika bukan, lapangkan hati kami untuk menerima keputusan-Mu."
Di langit yang luas, doa mereka bertemu—menyatu dalam keikhlasan yang semakin dalam.
Sebuah Keputusan Harus Diambil
Hari-hari berikutnya, Arpa lebih banyak berdiam diri. Ia menjauhi media sosial, mengurangi interaksi dengan orang-orang, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Al-Qur’an serta doa-doanya.
Ia tahu, ini bukan hanya soal memilih antara dua laki-laki. Ini adalah tentang memilih jalan yang paling Allah ridhoi.
Sore itu, ia kembali duduk di balkon kosnya, menatap langit yang perlahan berubah jingga. Ia membuka jurnalnya dan menulis:
"Mungkin aku terlalu banyak bertanya. Terlalu takut menghadapi kenyataan. Tapi hari ini aku menyadari satu hal—aku harus memilih, dan aku harus memilih dengan hati yang bertumpu pada Allah, bukan pada ketakutanku sendiri."
Ia menutup jurnalnya dan menarik napas panjang.
Malam itu, setelah shalat Istikharah, Arpa merasa ada ketenangan yang mulai menjalar dalam hatinya.
Ia mengambil ponselnya, lalu mengetik pesan untuk Daffa:
Arpa: “Daffa, terima kasih atas niat baikmu. Aku sangat menghargainya. Tapi aku telah memilih untuk tetap melanjutkan penantianku. Bukan karena aku tidak melihat kebaikan dalam dirimu, tapi karena hatiku masih terikat pada janji yang telah aku buat. Aku tidak ingin mengkhianati penantianku sendiri.”
Arpa menekan tombol kirim. Hatinya sedikit lebih ringan, meski masih ada kekhawatiran tentang bagaimana Daffa akan menerima jawabannya.
Tak lama kemudian, balasan masuk.
Daffa: “Aku mengerti, Arpa. Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sungguh-sungguh dalam niatku. Jika suatu hari keputusanmu berubah, aku tetap di sini.”
Arpa tersenyum kecil. Ia tahu, keputusannya mungkin tidak mudah dipahami oleh orang lain. Tapi ia yakin, selama niatnya lurus, Allah akan selalu bersamanya.
Di belahan dunia lain, Fathir sedang menulis surat di jurnalnya. Ia menuliskan sesuatu yang akan ia berikan kepada Arpa ketika mereka akhirnya bertemu kembali.
"Arpa, aku tidak tahu bagaimana masa depan akan membawa kita. Tapi aku selalu percaya, jika memang kita ditakdirkan bersama, maka Allah akan mempertemukan kita dengan cara-Nya yang paling indah."
"Ketika hati diuji oleh jarak dan waktu, hanya Allah yang mampu menjaga cinta tetap suci dalam penantian."