Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERBURU PEKERJAAN - DITOLAK BERKALI-KALI bagian 2
"Kenapa... kenapa tidak ada yang mau menerima aku..." bisiknya pelan, suaranya bergetar. "Aku mau bekerja keras. Aku siap kerja apa saja. Tapi kenapa tidak ada yang kasih kesempatan..."
Air matanya jatuh. Ia terlalu lelah untuk menahan. Terlalu lapar untuk berpikir jernih. Terlalu putus asa untuk tetap kuat.
Ponsel tuanya berbunyi. Panggilan dari rumah. Dari ibu.
Fajar mengusap air matanya cepat, menarik napas dalam-dalam, berusaha menormalkan suaranya. Ia tidak boleh terdengar sedih. Tidak boleh membuat ibu khawatir.
"Halo, Bu," jawabnya dengan suara yang dipaksakan ceria.
"Jar, Nak... Ibu kangen..." suara Bu Nirmala terdengar sangat rindu di seberang sana. "Kamu baik-baik saja di sana? Sudah makan? Kuliah lancar?"
"Alhamdulillah baik, Bu. Kuliah lancar. Tadi siang makan nasi ayam." Bohong. Ia hanya makan nasi putih dengan garam.
"Syukurlah... Ibu seneng dengernya," Bu Nirmala terdengar lega. "Ayahmu juga nanya terus. Rani juga. Mereka semua kangen kamu, Nak."
"Aku juga kangen, Bu. Kangen sekali." Suara Fajar mulai bergetar. Ia gigit bibir bawahnya, menahan tangis.
"Uangnya cukup tidak, Nak? Kalau kurang, Ibu bisa cari—"
"CUKUP, Bu!" Fajar memotong cepat. "Cukup banget. Jangan khawatir. Ibu fokus di rumah aja. Jagain Ayah sama Rani."
Keheningan sejenak.
"Jar..." suara Bu Nirmala bergetar. "Ibu tahu kamu pasti kesusahan di sana. Ibu tahu uangnya pasti tidak cukup. Tapi... maafkan Ibu yang tidak bisa bantu lebih banyak. Maafkan Ibu—"
"Jangan minta maaf, Bu," potong Fajar lagi, air matanya mengalir semakin deras. "Jangan pernah minta maaf. Ibu sudah kasih yang terbaik. Aku yang harus berterima kasih. Aku janji, Bu... aku janji akan sukses. Aku janji akan balik dan bawa kebahagiaan untuk kita semua."
"Ibu percaya, Nak. Ibu percaya sama kamu."
Setelah telepon berakhir, Fajar langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis. Menangis keras-keras. Tangisan yang sudah ditahan berhari-hari akhirnya meledak.
"Ibu... maafin aku," isaknya. "Maafin aku yang masih belum bisa apa-apa. Maafin aku yang malah jadi beban tambahan."
Tapi di tengah tangisannya, ada sesuatu yang berkobar di dadanya. Bukan keputusasaan. Tapi tekad. Tekad yang semakin membara.
Aku tidak akan menyerah. Besok aku akan coba lagi. Dan lagi. Sampai ada yang mau menerima aku.
Hari keempat, pagi-pagi sekali, Fajar sudah mengayuh sepeda tuanya ke pasar tradisional. Ia dengar dari kakak kos sebelah bahwa ada warung makan di sana yang sering cari orang untuk cuci piring.
Warung Makan Mbok Jumi terletak di pojok pasar yang ramai. Warung sederhana dengan meja-meja kayu tua dan bangku plastik. Tapi warungnya selalu ramai—terutama pagi dan siang hari saat buruh pasar dan pedagang makan.
Fajar berdiri di depan warung dengan gugup. Dari luar, ia bisa melihat seorang ibu-ibu tua sedang memasak di belakang dengan keringat bercucuran. Itu pasti Mbok Jumi.
"Permisi, Bu..." Fajar melangkah masuk.
Mbok Jumi menoleh. Wajahnya tua dan keriput, tapi matanya masih tajam dan penuh semangat. "Ya, Nak? Mau pesan apa?"
"Bukan mau pesan, Bu. Saya... saya mau nanya. Apa Ibu masih butuh orang untuk cuci piring?"
Mbok Jumi menatap Fajar dari atas hingga bawah. Tatapannya menilai tapi tidak meremehkan.
"Kamu anak kuliah?" tanyanya.
"Iya, Bu. Mahasiswa Universitas Adidaya. Saya butuh kerja paruh waktu untuk biaya hidup."
"Kuat kerja keras tidak?"
"Kuat, Bu. Saya siap kerja keras."
Mbok Jumi menatap lebih lama. Ia melihat mata Fajar—mata yang lelah tapi penuh tekad. Mata anak muda yang sedang berjuang.
"Jam berapa kamu kuliah?"
"Pagi sampai siang, Bu. Jam 8 sampai 2."
"Kalau begitu kamu bisa kerja sore sampai malam. Jam 3 sampai 9 malam. Kerja enam jam sehari. Cuci piring, bersih-bersih meja, bantu-bantu kalau lagi rame. Gajiku dua puluh lima ribu per hari. Dapat makan siang sama makan malam gratis. Kamu mau?"
Fajar hampir tidak percaya telinganya. Dua puluh lima ribu sehari! Kalau kerja lima hari, itu seratus dua puluh lima ribu seminggu! Dan dapat makan dua kali gratis!
"MAU, BU! Terima kasih banyak, Bu!" jawab Fajar dengan suara bergetar senang. Matanya berkaca-kaca—hampir menangis lagi, tapi kali ini karena lega.
Mbok Jumi tersenyum tipis. "Mulai besok ya. Datang jam 3 sore."
"Siap, Bu! Terima kasih banyak. Terima kasih!" Fajar membungkuk berkali-kali.
"Sudah, sudah. Pergi sana. Jangan sampai telat kuliah."
Fajar berlari keluar warung dengan senyum lebar—senyum pertamanya yang tulus dalam berminggu-minggu. Ia mengayuh sepedanya dengan semangat penuh meski tubuhnya lapar dan lemas.
Akhirnya! Akhirnya ada yang kasih kesempatan!
Keesokan harinya, Fajar datang tepat jam 3 sore. Ia sudah ganti baju—memakai kaos lama yang nyaman untuk kerja.
Mbok Jumi langsung memasukkannya ke dapur belakang. "Ini tempatmu," kata Mbok Jumi sambil menunjuk bak besar penuh piring-piring kotor yang menumpuk. "Cuci bersih. Kalau lagi rame, kamu bantu angkat piring kotor dari meja dan anterin ke sini. Paham?"
"Paham, Bu."
"Kalau capek, bilang. Jangan sampai sakit. Anak muda kayak kamu, kesehatan penting."
"Siap, Bu."
Fajar mulai bekerja. Tangannya terendam air sabun yang dingin. Piring-piring berminyak harus digosok keras agar bersih. Punggungnya harus membungkuk berjam-jam. Tangan kasarnya—yang sudah terbiasa mencuci pakaian tetangga sejak kecil—kembali bekerja dengan ritme yang familiar.
Sore itu warung sangat ramai. Piring kotor datang tanpa henti. Fajar mencuci tanpa berhenti. Tangannya lecet-lecet. Punggungnya pegal luar biasa. Kakinya kesemutan karena berdiri terlalu lama.
Tapi ia tidak mengeluh. Tidak sekalipun.
Jam 7 malam, Mbok Jumi memberinya makan malam—sepiring nasi putih dengan sayur lodeh dan tempe goreng. Untuk ukuran orang lain mungkin makanan yang sangat sederhana. Tapi untuk Fajar yang sudah berhari-hari hanya makan nasi putih dengan garam, ini seperti hidangan istana.
"Makan yang banyak, Nak," kata Mbok Jumi sambil duduk di sebelahnya. "Kamu terlalu kurus. Anak muda harus makan banyak biar kuat."
"Terima kasih, Bu," jawab Fajar sambil melahap makanan itu dengan lahap. Rasanya sangat enak. Atau mungkin ia hanya terlalu lapar sehingga apapun terasa enak.
"Kamu dari mana, Nak?" tanya Mbok Jumi dengan nada penuh perhatian—seperti seorang nenek yang peduli pada cucunya.
"Dari Desa Asri, Bu. Desa kecil di kaki Gunung Merapi."
"Jauh banget. Orang tuamu gimana?"
"Ayah saya lumpuh, Bu. Kecelakaan kerja. Ibu kerja cuci baju orang. Adik saya putus sekolah." Fajar bercerita dengan jujur. Entah kenapa, ia merasa nyaman bercerita pada Mbok Jumi—wanita tua ini punya aura hangat yang mengingatkannya pada kakek.
Mbok Jumi terdiam. Matanya berkaca-kaca. "Kamu hebat, Nak. Masih muda tapi sudah berjuang keras untuk keluarga. Ibu percaya, suatu hari nanti kamu akan sukses."
"Terima kasih, Bu. Doanya sangat berarti."
"Bekerjalah dengan ikhlas di sini. Ibu akan bantu sebisanya. Dan jangan pernah malu dengan pekerjaan apapun. Cuci piring itu terhormat, Nak. Yang tidak terhormat itu kerja dengan cara curang."
Kata-kata itu tertanam dalam di hati Fajar.
Malam itu ia pulang dengan hati ringan. Di sakunya, ada dua puluh lima ribu rupiah—gaji hari pertama yang Mbok Jumi bayar langsung. Dan yang lebih penting, ia sudah makan dua kali dengan kenyang.
Akhirnya... akhirnya aku bisa bertahan.
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.