NovelToon NovelToon
Legend Of The Sky Devourer-Kunpeng Terakhir

Legend Of The Sky Devourer-Kunpeng Terakhir

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Alvarizi

Di Desa Fuyun yang terkubur salju, Ling Tian dikenal sebagai dua hal yakni badut desa yang tak pernah berhenti tertawa, dan "Anak Pembawa Sial" yang dibenci semua orang.

Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum konyol dan sikap acuh tak acuh itu, tersimpan jiwa yang lelah karena kesepian dan... garis darah monster purba yang paling ditakuti langit yakni Kunpeng.

Enam puluh ribu tahun lalu, Ras Kunpeng musnah demi menyegel Void Sovereign, entitas kelaparan yang memangsa realitas. Kini, segel itu retak. Langit mulai berdarah kembali, dan monster-monster dimensi merangkak keluar dari bayang-bayang sejarah.

Sebagai pewaris terakhir, Ling Tian dipaksa memilih. Terus bersembunyi di balik topeng humornya sementara dunia hancur, atau melepaskan "monster" di dalam dirinya untuk menelan segala ancaman.

Di jalan di mana menjadi pahlawan berarti harus menjadi pemangsa, Ling Tian akan menyadari satu hal yakni untuk menyelamatkan surga, dia mungkin harus memakan langit itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvarizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7: Darah Pertama di Lembah Hantu

Matahari mulai tergelincir di ufuk barat, menumpahkan cahaya jingga kemerahan yang membuat permukaan Danau Pencuci Pedang tampak seperti genangan darah yang nampak mendidih. Udara di Lembah Belakang semakin berat seiring turunnya malam. Kabut beracun yang biasanya merayap di tanah kini mulai naik setinggi pinggang, membawa aroma belerang dan karat besi yang menusuk hingga ke pangkal tenggorokan.

Di tengah kesunyian yang hanya diisi oleh suara deburan air pelan dan desau angin yang melewati celah-celah pedang patah, suara langkah kaki terdengar sangat asing.

Krak. Krak. Krak.

Itu bukan langkah kaki seseorang yang tengah waspada. Itu adalah langkah kaki yang penuh kesombongan, hentakan sepatu bot kulit baru yang dengan sengaja menginjak kerikil dan tulang-belulang hewan kecil tanpa peduli sekitar.

Ling Tian, yang baru saja menyembunyikan batang besi hitamnya di balik tumpukan rongsokan, menghela napas panjang. Uap putih tipis keluar dari mulutnya, berbaur dengan kabut. Dia mengusap wajahnya yang basah dengan lengan baju goni kasarnya, sengaja membiarkan lumpur menutupi kulitnya yang kini jauh lebih sehat, menyamarkan kilat tajam di matanya menjadi keredupan seorang pelayan yang patuh.

"Hei! Babu! Kau tuli atau mati, hah?"

Suara itu memecah ketenangan lembah seperti kaca yang tengah dibanting.

Li Wei muncul dari balik tirai kabut, diapit oleh dua pemuda lain yang mengenakan seragam abu-abu murid luar yang sama. Wajah cucu kepala desa itu terlihat lebih bulat dan merah dari biasanya, mungkin efek makanan enak di kantin sekte yang jauh lebih bergizi daripada ubi rebus di desa. Di pinggangnya, tergantung sebilah pedang baja standar sekte yang masih mengkilap, belum pernah mencicipi darah ataupun benturan.

Ling Tian berbalik perlahan, bahunya merosot dalam postur tubuh yang sengaja dibuat terlihat lemah. Dia menatap Li Wei dengan tatapan kosong yang sudah dilatihnya selama bertahun-tahun.

"Ah... Tuan Muda Li Wei," suara Ling Tian terdengar serak, sedikit bergetar, seolah-olah dia kedinginan atau ketakutan. "Dan teman-temannya... maaf, telingaku kemasukan air kotor seharian. Tidak mendengar kedatangan tamu agung."

Li Wei mendengus, meludah ke tanah tepat beberapa senti dari kaki telanjang Ling Tian. Ludahnya kental juga reaksi yang menghina.

"Tamu agung? Cih, jangan sok akrab," Li Wei melangkah maju, tangannya memainkan gagang pedang di pinggangnya, sebuah gerakan yang jelas-jelas ditiru dari para senior untuk terlihat mengintimidasi, namun di mata Ling Tian justru terlihat kaku dan menggelikan. "Kami ke sini cuma mau lihat, apa kau sudah jadi mayat atau belum. Ternyata nyawamu alot juga, ya? Sudah dua minggu menghirup racun di sini tapi masih bisa berdiri."

Salah satu pengikut Li Wei, seorang pemuda kurus dengan wajah penuh jerawat dan mata licik, terkekeh. "Mungkin karena dia sudah biasa makan sampah di desa, Bos. Jadi racun sekte pun dianggap vitamin sama badannya."

"Benar juga!" Li Wei tertawa terbahak-bahak, suara tawanya bergema memantul di dinding tebing, mengganggu istirahat burung-burung gagak yang bertengger di pohon. "Hei, Ling Tian. Karena kau masih hidup, kebetulan sekali. Sepatuku kotor nih kena lumpur jalanan lembah busuk ini. Segera bersihkan."

Dia menyodorkan kaki kanannya ke depan.

Ling Tian menatap sepatu bot itu. Kulitnya masih baru, jahitannya-pun rapi. Kontras sekali dengan kakinya sendiri yang telanjang, membiru kedinginan, dan berlumuran lumpur hitam danau.

Di dalam kepalanya, Tuan Kun berdecak kesal. "Bocah, serius? Kau mau menjilat sepatu babi ini setelah kau baru saja menguasai teknik pembunuh? Harga dirimu itu ditaruh di mana? Di selangkangan?"

'Tenang,' batin Ling Tian menjawab, nadanya dingin dan datar. 'Memangsa itu butuh kesabaran. Biarkan mangsanya merasa di atas angin dulu.'

Perlahan, Ling Tian-pun berlutut.

Gerakannya seakan lambat dan patuh. Dia mengambil ujung lengan bajunya yang kotor, lalu mulai mengelap sepatu Li Wei.

Li Wei menyeringai lebar, menatap kedua temannya dengan bangga, seolah berkata 'Lihat, di sini pun aku rajanya.' Dia menikmati momen ini, sebuah momen di mana dia bisa menginjak-injak orang yang dulu selalu menertawakannya, orang yang entah bagaimana selalu punya sorot mata merendahkan meski sedang dipukuli.

"Nah, begitu dong," kata Li Wei, menepuk-nepuk kepala Ling Tian seperti menepuk anjing kudisan. "Tahu diri itu penting. Kau itu cuma sampah tanpa elemen. Selamanya kau cuma jadi keset dikakiku."

Namun, saat tangan Ling Tian menyentuh pergelangan kaki Li Wei untuk membersihkan bagian belakang sepatunya, jari-jarinya berhenti.

Cengkeramannya mengerat. Sedikit demi sedikit.

"Aduh—hei! Pelan-pelan, goblok!" Li Wei mengernyit, mencoba menarik kakinya.

Tapi kakinya tidak bergerak.

Cengkeraman Ling Tian yang tadinya lembut kini terasa seperti catut besi yang terkunci mati. Tulang pergelangan kaki Li Wei mulai berbunyi krek pelan di bawah tekanan jari-jari yang terlihat kurus itu.

"Tuan Muda Li..." Ling Tian masih menunduk, wajahnya tertutup rambut yang acak-acakan. Suaranya berubah. Hilang sudah nada gemetar tadi. Yang tersisa hanyalah nada datar yang mengerikan. "...sepatumu ini bagus sekali. Kulit Rusa Besi, kan? Mahal pasti."

"Le-lepaskan! Sakit, bangsat!" Li Wei mulai panik. Rasa sakit di kakinya bukan main-main. Rasanya seperti sedang diremukkan oleh sebuah batu besar. Dia menendang bahu Ling Tian dengan kaki kirinya.

BUGH!

Tendangan itu mendarat telak di bahu Ling Tian.

Tapi Ling Tian tidak bergeming. Tidak goyah satu milimeter pun. Tubuhnya sekeras patung batu.

Perlahan, Ling Tian mendongak.

Matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya, menyisakan keremangan senja. Di dalam keremangan itu, mata Ling Tian bersinar samar. Bukan pantulan cahaya, tapi kilatan predator yang baru saja menemukan celah di leher mangsanya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman miring yang membuat darah Li Wei terasa membeku seketika.

"Sayang sekali..." bisik Ling Tian. "Sepatu sebagus ini dipakai oleh kaki yang lemah."

KRAAAKK!

Suara patahan tulang terdengar tajam dan memuakkan, bergema di seluruh lembah sunyi itu.

"AAAAARGGGHHH!"

Jeritan Li Wei melengking tinggi, memecah udara malam. Dia ambruk ke tanah, memegangi pergelangan kaki kanannya yang kini bengkok dalam sudut yang tidak wajar. Wajahnya pucat pasi, air mata dan ingus langsung meleleh keluar saking sakitnya.

Dua teman Li Wei ternganga, otak mereka butuh beberapa detik untuk memproses apa yang baru saja terjadi. Si babu... mematahkan kaki seorang murid luar?

"B-bos!" Pemuda berjerawat itu tergagap, tangannya meraba gagang pedang dengan gemetar. "K-kau... kau cari mati ya, Sialan?! Serang dia! Habisi dia!"

Kedua pengikut itu mencabut pedang mereka. Srrring! Kilatan baja memantulkan sisa cahaya senja. Meski gerakan mereka kikuk karena baru belajar dasar, pedang tetaplah pedang. Satu tebasan cukup untuk membunuh orang tak bersenjata.

Mereka menerjang maju bersamaan.

"Mati kau, Anjing!" teriak teman yang satunya, mengayunkan pedangnya secara vertikal ke arah kepala Ling Tian.

Di mata orang biasa, ayunan itu terasa cepat.

Tapi di mata Ling Tian...

Dunia seakan melambat.

Dia bisa melihat pori-pori di wajah si penyerang yang membesar karena rasa takut. Dia bisa melihat lintasan pedang yang penuh celah itu. Dia juga bisa mencium bau keringat asam ketakutan di wajah mereka.

Dan di dalam kepalanya, bayangan pria berjubah hitam dari memori besi tua itu bergerak. Hanya satu tusukan dengan gerakan yang efisien dan tanpa suara.

Ling Tian tidak mundur. Dia justru maju selangkah, mencondongkan tubuhnya ke samping dengan gerakan minimalis, membiarkan bilah pedang itu lewat hanya sehelai rambut dari telinganya.

Angin tebasan pedang itu memotong beberapa helai rambutnya, tapi tidak menyentuh kulitnya.

Sebelum si penyerang sempat menarik kembali pedangnya, Ling Tian sudah bergerak. Tangan kanannya melesat lurus ke depan bukan gerakan mengepal, tapi dengan jari-jari terbuka dan kaku seperti sebuah ujung tombak.

BUK!

Ujung jari Ling Tian menghantam ulu hati si penyerang.

Tidak ada darah juga tidak ada luka luar. Tapi dampaknya mengerikan. Tenaga dalamnya meski masih sedikit yang dialirkan lewat tusukan itu membuat diafragma pemuda itu kejang seketika.

Mata si penyerang melotot sampai hampir keluar. Mulutnya terbuka lebar mencoba menyedot udara, tapi paru-parunya telah lumpuh. Dia-pun jatuh berlutut, memegangi perutnya, wajahnya berubah ungu karena tidak bisa bernapas.

Satu telah tumbang.

Teman yang berjerawat panik. Dia menghentikan serangannya di tengah jalan, tangannya gemetar hebat memegang pedang. Kakinya mundur selangkah demi selangkah.

"K-kau... kau bukan manusia..." desisnya, suaranya tercekat. "Kau monster..."

Ling Tian berdiri tegak di tengah dua tubuh yang menggeliat kesakitan itu. Dia menepuk-nepuk debu di lutut celananya dengan santai, seolah baru saja selesai membersihkan perabot rumah.

Dia menatap si pemuda berjerawat, lalu tersenyum ramah. Senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya.

"Monster?" Ling Tian memiringkan kepalanya, pura-pura bingung. "Aku cuma babu pembersih pedang. Kebetulan saja, kalian datang membawa 'sampah'..."

Matanya melirik ke arah Li Wei yang masih meraung-raung memegangi kakinya yang patah, lalu kembali ke si pemuda berjerawat.

"...dan tugas babu adalah membersihkan sampah, kan?"

Ling Tian mengambil satu langkah maju dan bergerak pelan.

Si pemuda berjerawat menjerit histeris, menjatuhkan pedangnya, lalu berbalik dan lari terbirit-birit mendaki jalan setapak, meninggalkan bosnya dan temannya yang sekarat di belakang.

"Tolong! Toloooong! Ada setan! Ada setan di Lembah Belakang!"

Teriakannya terdengar menjauh, lalu hilang ditelan kabut malam.

Ling Tian tidak mengejar. Dia hanya mendengus pelan, lalu berjongkok di samping Li Wei yang kini menatapnya dengan tatapan ketakutan murni.

"J-jangan... jangan bunuh aku..." isak Li Wei, tubuh gembulnya gemetar hebat di atas tanah berlumpur. "A-aku cucu Kepala Desa... a-aku akan lapor Tetua..."

"Sstt." Ling Tian menempelkan telunjuk di bibirnya.

Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Li Wei. Bau amis darah dan lumpur dari tubuh Ling Tian membuat Li Wei ingin muntah.

"Dengar baik-baik, Gendut," bisik Ling Tian. Nadanya rendah dan intim, seperti seorang kakak yang menasihati adiknya. "Kau boleh lapor siapa saja. Kau boleh bawa siapa saja ke sini. Tapi ingat satu hal..."

Ling Tian menepuk pipi Li Wei pelan, meninggalkan noda darah di sana.

"...di lembah ini, tidak ada hukum sekte. Di sini cuma ada aku, mayat-mayat pedang, dan orang-orang bodoh yang datang tersesat."

"Kalau kau menggangguku lagi," Ling Tian mencengkeram kerah baju Li Wei, menariknya mendekat hingga hidung mereka bersentuhan, "aku tidak akan cuma mematahkan kakimu. Aku akan memastikan kau jadi bagian dari tumpukan sampah di danau itu."

Dia melepaskan cengkeramannya yang kasar.

"Sekarang, merangkaklah pergi dari sini sebelum aku berubah pikiran."

Li Wei tidak perlu disuruh dua kali. Dengan sisa tenaga dan air mata bercucuran, dia menyeret tubuhnya, merangkak pincang menjauhi danau itu seperti anjing yang habis dipukul, meninggalkan harga dirinya yang telah hancur berkeping-keping di tanah berlumpur itu.

Ling Tian berdiri diam, menatap punggung Li Wei yang menghilang di kegelapan malam.

Angin malam bertiup kencang, mengibarkan rambutnya yang berantakan.

"Kau melepaskannya?" tanya Tuan Kun, muncul di atas bahunya. "Padahal dagingnya lumayan berlemak. Energinya mungkin cukup untuk membuka gerbangmu satu milimeter lagi."

Ling Tian memungut pedang besi yang ditinggalkan si pemuda berjerawat tadi. Dia menimang-nimangnya sebentar, lalu dengan santai mematahkannya menjadi dua dengan lututnya dan melemparnya ke tumpukan sampah.

"Membunuhnya sekarang cuma akan mendatangkan masalah yang belum sanggup kutangani," gumam Ling Tian, menatap langit malam yang mulai berbintang. "Lagipula... ketakutan adalah bumbu yang lebih sedap daripada kematian. Biarkan dia menyebarkan cerita horor tentang tempat ini. Itu akan membuat orang-orang lemah menjauh, dan membiarkanku berlatih dengan tenang."

Ling Tian berbalik menatap danau hitam yang bergolak.

"Malam ini masih panjang, Tuan Kun. Dan aku masih 'lapar'."

1
Sutono jijien 1976 Sugeng
👍👍👍👍
Sutono jijien 1976 Sugeng
siapa predator puncak 😁😁😁
Sutono jijien 1976 Sugeng
si fang yu hanya jadi badut ,yg Tak tahu apa apa 🤣🤭
Anonymous
Ga kerasa cepet banget udh abis aja 😭
Anonymous
Whooa, apakah sekte matahari hitam itu keroco yang ditinggalkan seberkas kehadiran void Sovereign pada bab prolog?
Renaldi Alvarizi: Hehe mohon dinantikan kelanjutan ceritanya ya
total 1 replies
Anonymous
Alur ceritanya makin kesini makin meningkat, tetap pertahankan
Renaldi Alvarizi: Terimakasih kawan Kunpeng 😁
total 1 replies
Anonymous
up thor
Anonymous
Hahaha Ling Tian punya budak pertamanya
Anonymous
Haha akhirnya badut yang sebenarnya 'Li Wei' mokad juga
Anonymous
Ceritanya bagus, besan dengan yang lain seperti titisan naga, phoenix dsb. Semoga tetap konsisten updatenya.
Joe Maggot Curvanord
kenapa xinxin penyimpanan ataw barang berharga musuh tidak di ambil
Renaldi Alvarizi: Hehe sudah kok kak yang akan digunakan untuk keperluan di bab mendatang namun saya memang lupa memasukkan atau menjelaskannya didalam cerita. Terimakasih atas sarannya.
total 1 replies
Sutono jijien 1976 Sugeng
semoga semakin berkembang ,dan bukan di alam fana ,naik ke alam atas
Renaldi Alvarizi: Hehe tunggu saja kelanjutannya bersama dengan Ling Tian dan Tuan Kun ya kak hehe
total 1 replies
Sutono jijien 1976 Sugeng
belagu si fang yu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!