NovelToon NovelToon
60 Hari Untuk Hamil

60 Hari Untuk Hamil

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romansa / Disfungsi Ereksi
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”

Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.

Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.

Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.

Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.

Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 Dia Sedikit Manis

“Mungkin Anda bisa menanyakan itu langsung pada suami Anda.”

Rayyan belum menjelaskan secara gamblang, tapi pria itu sudah meninggalkannya lebih dulu.

Hari ini dia benar-benar sibuk. Sejak foto-foto Alex dan Eve tersebar luas, tanpa perlu menunggu perintah, dia langsung mengambil tindakan cepat untuk menangani situasinya.

Begitu kembali ke Departemen Humas, seluruh timnya masih bekerja keras menelusuri akun-akun penyebar foto-foto tersebut.

“Bagaimana perkembangannya? Apa saja yang sudah kalian temukan?” tanya Rayyan tajam.

“Pak Rayyan, foto-foto ini sudah tersebar lewat lebih dari seratus akun.”

“Aku tidak peduli. Tarik semua artikel yang memuatnya dan blokir akun utama mereka. Sekarang juga.”

“Baik, Pak.”

Sementara itu, Eve tengah menunggu di ruang kerja Rayyan. Tiba-tiba, Silvia masuk membawa setumpuk berkas di tangannya.

“Oh, aku kira kau sudah tidak berani menampakkan wajahmu ke sini lagi,” ucap Silvia dengan nada mengejek.

“Memangnya kenapa kalau aku masih muncul? Apa kau tidak rindu padaku?” balas Eve santai, menyunggingkan senyum tipis.

Silvia mendesis sinis, lalu menyilangkan tangan di dadanya.

“Cih! Wanita mandul sepertimu memang hanya bisa menjual tubuh sesuka hati, bukan? Tak ada yang perlu kaget dengan kelakuanmu.”

“Menjual tubuh seperti apa yang kau maksud?”

Suara berat Alex tiba-tiba terdengar dari belakang mereka, menyela ketegangan. Seperti biasa, pria itu selalu datang tanpa suara.

Eve yang tadinya duduk santai di sofa langsung tegak.

Alex menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki—dan pandangannya berhenti di sandal jepit yang Eve pakai. Dahi pria itu mengernyit.

Dia memang sengaja mengenakan sandal jepit hari ini. Setelah hukuman yang diberikan Alex kemarin, kakinya masih terasa nyeri. Sebenarnya, dia hanya ingin rebahan di kamar, andai tidak ada alasan mendesak untuk datang.

Silvia menelan ludah. Dia tidak menyangka Alex akan mendengar ucapannya tadi. Wajahnya langsung memucat dan pandangannya menunduk.

“Ma—maaf, Direktur. Saya ... saya hanya terpancing rumor.”

“Terpancing, atau memang sengaja memancing?”

“A-apa maksud Anda ...?”

“Tuan, Anda sudah datang rupanya,” ujar Rayyan yang menyusul masuk, lalu membungkuk hormat. Ia segera menoleh pada Silvia yang kini tampak seperti tikus yang terpojok.

“Hukuman seperti apa yang Anda inginkan untuknya?”

Silvia mendongak dengan panik dan menggeleng cepat. Wajahnya pucat pasi.

“Tidak, Pak Rayyan! Saya tidak melakukan kesalahan. Kenapa saya harus dihukum?”

“Sepertinya kau lupa,” ucap Rayyan datar, “kalau seluruh ruangan ini dipantau CCTV. Bahkan, kalau perlu, aku bisa menyeretmu ke kantor polisi sekarang juga dengan tuduhan pencemaran nama baik.”

Bodohnya Silvia! Terlalu berambisi menjatuhkan Eve, hingga dia lupa bahwa ruangan itu penuh dengan kamera pengawas.

Bagaimana bisa dia seceroboh itu? Seharusnya dia memusnahkan semua barang bukti lebih dulu. Jika saja dia lebih berhati-hati, semuanya pasti akan berjalan mulus seperti yang ia harapkan.

Lutut Silvia berubah lemas seketika. Ketakutan menggerogoti nyalinya hingga dia reflek berlutut di depan Alex, memohon ampun.

“Direktur, saya... saya sangat bodoh! Saya tidak berpikir panjang saat melakukannya. Saya mohon, ampunilah saya! Saya janji tidak akan mengulangi perbuatan itu, dan saya tidak akan mengganggu Nona Eve lagi. Saya mohon, Direktur...!”

Alex mengalihkan pandangannya dengan jijik. Suaranya dingin dan menghunjam seperti es.

“Menjijikkan,” cibirnya pelan. “Kau seharusnya sudah mendekam di penjara sekarang. Tapi aku bermurah hati karena kau setidaknya pernah melakukan satu hal yang berguna untukku. Rayyan, seret dia keluar dari perusahaan ini. Pastikan tidak ada satu instansi pun yang mau menerimanya bekerja.”

“Baik, Tuan.”

Tanpa menunggu perintah kedua, Rayyan segera memanggil petugas keamanan. Silvia diseret keluar dari perusahaan layaknya seorang kriminal, di depan tatapan dingin para staf.

Sementara itu, konferensi pers telah disiapkan. Alex dan Eve melangkah keluar bersama untuk memberikan pernyataan resmi. Dengan ekspresi tenang, Alex menjelaskan bahwa foto yang tersebar adalah potret malam pertama mereka. Foto itu, katanya, diambil diam-diam olehnya karena ingin mengabadikan momen istimewa bersama sang istri sebagai kenangan.

Ia juga menyebut bahwa penyebaran foto dilakukan oleh mantan karyawan mereka yang kini telah dikeluarkan. Tuduhan bahwa Eve menjual tubuhnya pun berbalik arah. Media justru menyoroti keromantisan Alex sebagai suami.

"Direktur Ace yang selama ini dikenal kejam dan ditakuti di dunia bisnis, ternyata pria romantis juga," begitu narasi hangat dari media, lengkap dengan tagar-tagar yang mengiringinya.

Eve mendengus dalam hati.

Romantis apanya? Mereka tidak tahu saja—Alex bukan hanya menyeramkan, tapi juga kejam!

Langkah mereka terus berlanjut menuju ruang kerja Alex. Setibanya di sana, pria itu menatapnya dingin.

“Duduk.”

Nada perintahnya tak terbantahkan. Eve menurut, duduk diam dengan wajah tegang—merasa hukuman berikutnya akan segera datang.

Rayyan masuk lagi, membawa sebuah benda dan menyerahkannya kepada Alex. Setelah itu, dia pamit pergi.

Alex melepas jas hitamnya, lalu menggulung lengan kemejanya sampai ke siku. Ia kemudian duduk di hadapan Eve dan memberi isyarat.

“Angkat kakimu ke atas.”

Eve menatapnya bingung. “Alex, apa yang akan kau—”

“Letakkan saja. Kenapa harus banyak tanya?”

Sebelum Alex sempat membuka suara untuk memarahinya lagi, Eve buru-buru mengangkat satu kaki dan meletakkannya di depan pria itu. Rupanya, Alex membawa minyak zaitun yang tadi diberikan Rayyan, dan tanpa berkata apa-apa, ia langsung mengoleskannya ke telapak kaki Eve.

Eve sempat mengira Alex akan menekan sembarangan, kasar, dan tanpa perasaan—apalagi melihat telapak tangan pria itu yang dipenuhi otot dan ukurannya hampir dua kali lipat lebih besar dari miliknya. Tapi ternyata tidak. Pijatan Alex terasa hangat dan nyaman, gerakannya perlahan, lembut, dan penuh tekanan yang tepat di setiap titik.

Sedikit demi sedikit, tubuh Eve mulai rileks, tenggelam dalam sentuhan yang membuatnya lupa pada kekesalannya. Dalam hati, ia mulai merasakan sesuatu yang lain dari Alex.

‘Sepertinya … dia tidak seburuk yang aku kira. Bahkan mungkin … sedikit manis.’

Pandangan Eve menempel pada wajah pria itu, memperhatikannya dalam diam. Ada sesuatu yang membuatnya tersentuh, entah karena ketulusan dalam perlakuan itu, atau karena ia tahu Alex bukan tipe yang mudah menunjukkan perhatian.

Namun harapannya runtuh seketika.

“Kalau kau berani mengulangi kesalahan itu lagi,” kata Alex, suaranya datar namun dingin, “aku akan menggantungmu di atap sampai kau tak bisa merasakan tubuhmu.”

Eve tercekat. Barusan saja dia mulai memuji pria itu dalam hati, dan sekarang—Alex kembali menjadi Alex. Rasanya dia ingin menelan pujiannya tadi. Kalau bisa, dikunyah dulu.

“A-a-apa kau sungguh akan melakukan itu?” gumam Eve dengan suara kecil.

“Tentu saja,” balas Alex tanpa menoleh. “Kalau kau tidak pingsan waktu itu, aku juga tidak akan pernah melepaskanmu.”

Eve mencibir dalam hati. Kalau saja pria di depannya ini tidak menjebaknya dengan kontrak konyol itu, tidak mungkin dia mau berurusan lebih jauh. Tapi sayangnya, hidupnya sudah terlanjur terikat.

Saat itu, Rayyan kembali masuk ke ruangan dengan membawa nampan berisi makanan ringan. Melihat pemandangan di depannya—Alex yang masih memijat kaki Eve—pria itu spontan mengangkat kedua alis.

Eve langsung salah tingkah. Ia buru-buru menarik kedua kakinya dan merapatkannya ke tubuh.

“Aku sudah baikan. Lagipula … aku harus kembali ke toko,” ujarnya gugup.

Alex mendongak, menatap Eve sekilas. “Mau kuantar?”

“Tidak perlu. Tapi … terima kasih. Aku bawa mobil sendiri tadi.”

Eve bangkit dengan gerakan cepat, seperti ingin segera kabur dari suasana yang terasa aneh. Setelah sedikit membungkuk kaku, ia pergi meninggalkan ruangan.

Alex hanya tersenyum tipis, matanya masih mengikuti punggung wanita itu sampai benar-benar menghilang di balik pintu. Sementara itu, Rayyan berdiri di tempat, menatap atasannya dengan senyum menyindir.

“Jangan lihat aku seperti itu,” ujar Alex tanpa menoleh. “Aku cuma melakukan perawatan. Sesuai aturan.”

“Dalam aturan tidak ada perawatan sebelum melakukan permainan.”

 “Diam.”

Alex meraih bantalan sofa dan melemparkannya ke arah Rayyan, yang menangkapnya dengan mudah. Wajah Rayyan penuh kemenangan.

“Telepon Edgar. Suruh dia mengawasinya.”

“Kalau Tuan khawatir, kenapa tidak langsung mengirimnya ke Nic saja?” sindir Rayyan, setengah bercanda.

Alex mendesah pelan. “Hei, aku cuma … tidak ingin dia kabur dariku lagi.”

Rayyan menahan tawa. Seingatnya, belum pernah ada wanita yang ingin kabur dari Alex. Justru kebanyakan dari mereka enggan mengakhiri kontrak setelah tahu siapa pria itu sebenarnya.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!