Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegangan
Satu pesan broadcast dari Gema—yang dikirimkan kemarin malam—tiba-tiba menjadi topik utama di hampir seluruh divisi.
Pesan itu sederhana, singkat, tapi efeknya luar biasa:
“Divisi mana pun yang punya staf administratif berpengalaman, mohon bantuannya untuk sementara mengisi posisi Sekretaris Pribadi Presdir selama Sasa cuti. Dibutuhkan tenaga berpengalaman, paham SOP internal, multitasking, dan bisa bekerja di bawah tekanan.”
Jordan menekan tombol forward di email internal, lalu mengirimkan ke seluruh bawahannya.
“Siapa yang bersedia ambil alih sementara posisi Sekpri Presdir? Silakan hubungi saya langsung.”
Setelah mengirim, Jordan berdiri dan berjalan ke ruang kerja timnya.
“Ada yang mau ambil peran itu?” tanyanya langsung begitu masuk.
Ruangan mendadak sunyi. Orang-orang saling pandang, lalu menggeleng cepat.
“Pak… saya lagi pegang tiga proyek,” ujar salah satu analis.
“Pak Jordan, saya baru onboarding, saya takut salah,” timpal yang lain.
“Pak… dengan segala hormat, semua juga tahu kerja bareng Pak Liam itu… ya… intens,” kata seorang staf senior sambil menahan diri agar tidak terdengar terlalu jujur.
Jordan tidak heran. Bahkan ia pun, sebagai kepala divisi, tidak akan sanggup melakukan pekerjaan administratif detail yang biasanya dipegang oleh Sasa.
Ia baru akan meninggalkan ruangan ketika suara pelan memanggil.
“Pak Jordan… kalau boleh tahu, kualifikasinya apa aja?”
Jordan menoleh. Yang bertanya adalah Anna, duduk paling ujung, wajahnya tampak cemas tapi berani.
“Kualifikasinya?” Jordan berpikir sebentar. “Minimal dua tahun kerja administrasi di perusahaan ini. Paham struktur organisasi, terbiasa handle jadwal pimpinan, punya kemampuan komunikasi yang sangat baik… dan ya, harus siap bekerja di bawah tekanan tinggi.”
Anna mengangguk pelan. “Kalau… kalau magang bisa, Pak?”
Pertanyaan itu membuat semua orang spontan menoleh.
Jordan tersenyum tipis—bukan meremehkan, tapi karena ia tahu jawaban sebenarnya menyakitkan.
“Anna… secara kemampuan pribadi mungkin kamu bisa belajar. Tapi posisi sekpri Liam itu bukan level magang. Bukan karena kamu tidak mampu. Tapi ritmenya… itu level berbeda.”
Anna menunduk. “Mengerti, Pak.”
Jordan menepuk bahunya singkat dan melanjutkan pekerjaannya.
----------------
Kekosongan posisi sekretaris pribadi Liam sudah berlangsung hampir satu minggu, dan seluruh perusahaan mulai merasakan dampaknya. Pada hari-hari pertama, orang-orang masih menganggap ini hanya masalah sementara—sekadar adaptasi karena Sasa, sekpri yang sudah bertahun-tahun mendampingi Liam, mendadak cuti akibat kecelakaan kecil. Namun semakin hari, semakin jelas bahwa absennya Sasa bukan sekadar lubang kecil; itu seperti baut penting yang lepas dari sebuah mesin raksasa, membuat seluruh sistem tersendat.
Tiap pagi dimulai dengan email-email yang tertunda tanda tangan, kontrak-kontrak yang seharusnya dikirimkan ke klien tapi masih tercecer di meja, dan puluhan pesan dari berbagai divisi yang menunggu persetujuan Liam. Gema sudah berusaha menahan semuanya, tetapi ia bukan orang administrasi. Ia bisa mengatur strategi, bisa menjadi perpanjangan tangan Liam dalam rapat-rapat, tetapi ia bukan tipe yang harus menata dokumen urut sesuai prioritas, menyusun jadwal yang padat, atau membaca ratusan halaman kontrak untuk memastikan tidak ada kesalahan formatting.
Sementara itu, para kepala divisi mulai gelisah. Tanpa tanda tangan dari Liam, tidak ada yang bisa menggerakkan proyek mereka. Marketing menunggu persetujuan final untuk kampanye besar. Finance menunggu laporan anggaran yang harus ditandatangani sebelum tanggal akhir bulan. Legal menunggu keputusan tentang kontrak klien asing yang sudah molor dua hari.
Dan kemudian, rumor-rumor kecil mulai berkembang dari meja makan kantin hingga meja kopi pantry.
“Kayaknya tanpa Sasa memang kacau ya…”
“Ya gimana, cuma dia yang bisa nurusin jadwal Liam.”
“Kalau begini terus, bisa-bisa kita lembur tiap hari.”
“Masalahnya bukan cuma gap satu orang, tapi gap orang yang paling penting.”
Semua orang tahu itu. Tapi tidak ada yang berani mengatakannya dengan lantang.
Jordan sudah mencoba melihat apakah ada staf administratif dari divisinya yang bisa mengambil peran itu sementara. Namun ketika ia mengajukan tawaran tersebut, reaksi yang ia dapatkan hanyalah pandangan khawatir, gelengan cepat, dan berbagai alasan yang sebenarnya masuk akal.
“Pak, saya sudah pegang dua laporan besar.”
“Pak Jordan, saya baru dua minggu di sini.”
“Saya belum pernah pegang agenda pimpinan sebesar itu… saya takut salah.”
“Jadwal saya bentrok semua, Pak.”
Tidak ada satu pun yang mencoba memberanikan diri. Tidak ada satu pun yang mau masuk ke dalam tekanan yang terkenal menyedot energi itu. Semua tahu, bekerja di bawah Liam bukan sekadar pekerjaan administratif. Itu perlu ketelitian, keberanian, dan daya tahan mental yang tidak dimiliki semua orang.
Desas-desus tersebut perlahan sampai juga ke telinga Liam. Dan setiap kali ia mendengarnya—meskipun hanya setengah kalimat—rahangnya mengeras.
Gema beberapa kali mencoba meredam api yang ia lihat semakin membesar.
“Bos, sabar. Orang-orang bukan takut sama lo. Mereka cuma… khawatir nggak bisa ngikutin ritmenya.”
Liam hanya mendengus, lalu kembali pada tumpukan dokumen. Tapi cara ia membolak-balik berkas menunjukkan bahwa pikirannya tidak tenang.
Puncaknya terjadi pada hari kelima. Pagi itu sudah dipenuhi kekacauan kecil sejak Liam turun dari mobil. Klien VIP datang lebih awal karena jadwal kirim ulang dari admin gaib yang entah siapa mengirimnya. Rapat internal tumpang tindih karena jadwal yang biasanya Sasa atur terpaksa disusun seadanya oleh tim HR. Lalu laporan keuangan yang seharusnya sudah ia terima sejak kemarin, baru disodorkan pagi itu.
Dan itu hanya dalam dua jam pertama.
Liam berjalan keluar dari ruangannya dengan langkah besar dan napas terengah marah. “Gema!”
Gema, yang sudah kewalahan sejak pagi, berlari kecil menghampirinya sambil membawa empat berkas.
“Iya Bos, ada apa lagi?”
“Ini apa?” Liam menunjuk tumpukan dokumen di mejanya. “Laporan ini telat. Kontrak itu salah format. Dan ini—ini bahkan bukan buat meja gue.”
Gema mengangkat tangan tinggi-tinggi. “Bos, semuanya itu datang bersamaan. Semua orang nyodorin file ke gue. Gue bukan sekpri lo. Gue nggak bisa sorting satu-satu.”
“Kenapa lo nggak bilang!?”
“Sudah! Tiap hari!” Gema balas dengan suara hampir frustasi.
Liam memejamkan mata sejenak, meremas pangkal hidungnya. Ia mencoba menarik napas panjang, namun justru membuat dadanya semakin panas. Ia merasa kehilangan kendali—sesuatu yang sangat jarang ia rasakan, dan sangat ia benci.
Tiba-tiba ia berkata dengan suara rendah namun tegas, “Kumpulkan semua orang. Sekarang.”
Gema terdiam. “Semua?”
“Semua karyawan. Di auditorium. Sepuluh menit.”
Tidak ada ruang untuk membantah. Gema langsung berbalik, menelepon HR dengan suara tergesa, lalu mengirim broadcast internal kepada seluruh divisi.
Dalam hitungan menit, kantor yang biasanya tenang berubah menjadi aliran manusia yang bergerak menuju auditorium. Ada yang menyeka keringat. Ada yang bertanya-tanya. Ada yang pucat. Ada yang hanya mengangkat bahu dan mengeluh dalam hati tentang banyaknya pekerjaan yang harus mereka tinggalkan.
Anna ikut berjalan ke sana, meskipun langkahnya terasa lebih pelan. Ia tidak tahu apa yang menanti, tapi ia bisa merasakan hawa tegang yang menyebar di udara. Dari lantai ke lantai, percakapan karyawan terdengar seperti bisikan gelisah yang tidak pernah berhenti.
“Presdir marah besar katanya.”
“Soal apa?”
“Soal posisi sekpri yang nggak ada yang mau isi.”
“Serius?”
“Serius. Ini kayaknya darurat banget sampai semua dipanggil.”
Anna memandang ke arah tangga berjalan yang membawanya ke lantai auditorium. Ada sesak kecil di dadanya, rasa bersalah tanpa alasan yang tiba-tiba muncul. Mungkin karena ia tahu dirinya sempat bermimpi mengisi posisi itu, padahal faktanya perusahaan butuh orang yang jauh lebih matang dan berpengalaman.
Apalagi setelah insiden teh panas, ia sudah tidak berharap apa-apa lagi dari Liam. Tetapi ia juga tidak pernah menyangka dampaknya akan seperti ini—hingga seluruh kantor seperti kehilangan keseimbangan.
Ketika semua orang sudah memenuhi ruangan, pintu depan auditorium terbuka. Liam masuk dengan langkah mantap, wajahnya keras, bahunya tegang. Tidak ada senyum. Tidak ada basa-basi. Hanya tatapan seorang pemimpin yang sedang melihat kapal besar di ambang tabrakan.
Dan seluruh ruangan langsung diam.
Seperti itu pulalah suasana perusahaan hari itu—tegang, menunggu, dan penuh ketidakpastian.