NovelToon NovelToon
My Secret Husband

My Secret Husband

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Aliansi Pernikahan
Popularitas:9.7k
Nilai: 5
Nama Author: lestari sipayung

Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.

Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.

Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MENGINTIP REI DAN LIVY

Hana berjalan sedikit gontai menuju mansion. Entahlah, setelah mendengar penuturan dan penjelasan dari Nathan, dia benar-benar tidak tahu bagaimana harus mengekspresikan perasaannya. Rasanya begitu rumit hingga dia sendiri tak mampu memahami apa yang sebenarnya tengah dia rasakan. Dengan napas panjang yang dihela perlahan, Hana melangkah menyusuri trotoar, berusaha menenangkan diri sambil melipat tangannya erat karena dinginnya malam mulai terasa menusuk hingga ke tulang.

Kepalanya terangkat saat langkahnya hampir mencapai gerbang mansion. Namun, pandangannya mendadak menyipit ketika melihat dua sosok yang begitu dikenalnya sedang berbincang akrab tepat di depan mansion tersebut.

Hana refleks bergerak cepat begitu melihat pemandangan yang membuat langkahnya tertahan. Tanpa pikir panjang, dia segera menyembunyikan diri di balik tiang listrik tinggi yang berdiri kokoh tidak jauh dari situ. Tubuhnya ia rapatkan ke belakang tiang, lalu segera bergeser sedikit, berlindung di balik tanaman semak kecil yang tumbuh di sekitar sana. Dari tempat persembunyiannya, Hana mengintip diam-diam, berusaha memperhatikan lebih jelas dan mendengarkan percakapan yang tengah terjadi antara dua orang yang begitu dikenalnya.

"Lupakan semuanya, Rei. Semuanya sudah berlalu," suara perempuan itu terdengar jelas. Dia adalah Livy, dan pria yang berdiri bersamanya tak lain adalah Rei. "Kita hanya teman masa kecil. Lupakan semua janji yang pernah kita buat. Kita sudah punya hidup masing-masing sekarang," lanjut Livy dengan nada yang terdengar tegas namun samar menyimpan perasaan.

Mereka berdiri tepat di depan mansion, tempat tinggal mereka yang kini terasa seolah menjadi saksi bisu dari percakapan yang tak biasa itu.

Sementara itu, pikiran Hana mulai dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya. Ada sesuatu yang terasa ganjil, sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih dalam. Namun, ia menahan diri dan tetap diam dalam persembunyiannya, berusaha mendengarkan lebih jauh, berharap bisa memahami maksud dari percakapan yang belum sepenuhnya ia mengerti.

"Apakah hanya karena alasan itu, Livy?" suara Rei akhirnya terdengar, pelan namun jelas membawa emosi yang dalam. Ucapan itu sempat samar-samar saja tertangkap oleh telinga Hana yang masih bersembunyi, namun cukup untuk membuat hatinya ikut terguncang. Tatapannya tertuju pada wajah Rei yang tampak begitu lesu, seolah seluruh tenaganya menguap bersamaan dengan percakapan yang baru saja terjadi. Wajah pria itu tampak murung, menyiratkan beban berat yang tak mampu ia sembunyikan.

Livy tampak tersentak saat Rei secara refleks menggenggam lengannya, seakan tak ingin melepaskan begitu saja. Namun Livy memberontak, berusaha keras melepaskan diri dari genggaman itu. Dengan gerakan tegas, dia akhirnya berhasil melepaskan tangan Rei dari lengannya dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia pun berbalik dan langsung pergi begitu saja, meninggalkan Rei yang hanya bisa menatap kepergiannya dalam diam. Tatapan kosong Rei mengiringi langkah Livy menjauh, seolah hatinya ikut tertinggal bersama sosok perempuan itu.

Sementara itu, Hana yang menyaksikan semua kejadian dari tempatnya, hanya bisa menghela napas panjang. Perasaannya bercampur aduk. Dia memang melihat segalanya, namun tetap merasa seperti orang asing yang hanya kebetulan melewati kisah orang lain. Meski Rei kini adalah suaminya, Hana menyadari satu hal—dia sebenarnya tidak terlalu mengenal pria itu. Bahkan, rasanya semakin hari justru semakin jauh. Entahlah, pikirannya sudah terlalu lelah untuk mengurai segala hal yang tidak bisa dia pahami. Untuk saat ini, Hana memilih membiarkannya. Mungkin memang lebih baik begitu.

Dengan langkah yang pelan, Hana akhirnya keluar dari tempat persembunyian. Dia berjalan kembali menuju mansion, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket tebalnya demi menghalau dingin yang mulai menggigit. Hembusan angin malam makin menusuk, tapi pikirannya lebih dingin dari cuaca yang melingkupinya. Saat akhirnya tiba di depan mansion, matanya menangkap sosok Rei yang kini duduk menunduk diam di depan bangunan megah itu, terlihat begitu rapuh dan kehilangan arah.

Rei yang duduk menunduk di depan mansion sontak tersentak saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat perlahan. Refleks, kepalanya terangkat dan pandangannya langsung tertuju ke arah sumber suara. Tanpa berpikir panjang, ia membuka mulut dan berseru, penuh harap, “Livy!” Suaranya terdengar jelas, seolah ia masih berharap sosok yang muncul di hadapannya adalah perempuan yang baru saja pergi meninggalkannya.

Namun, kata-katanya langsung terhenti. Pandangan matanya membeku begitu sosok yang muncul ternyata bukan Livy. Di hadapannya kini berdiri Hana—istri mudanya, yang menatapnya dengan ekspresi datar namun ramah. Raut wajah Rei seketika berubah, kebingungan dan canggung bercampur jadi satu. “Hana…” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.

Hana yang menyadari kesalahpahaman itu hanya tersenyum kecil. Dengan ekspresi tenang dan sedikit jenaka, ia melambaikan tangan ke arah Rei. “Aku Hana, bukan Livy,” ujarnya pelan, namun dengan senyum yang entah menyiratkan kepedihan atau sekadar kesadaran akan kenyataan yang memang tak bisa dihindari. Tanpa berkata lebih lanjut, Hana langsung melangkah masuk ke dalam mansion, membiarkan kalimat singkatnya menggantung di udara malam yang dingin.

Rei hanya bisa terdiam, memandangi punggung Hana yang perlahan menghilang di balik pintu mansion. Perasaannya tak karuan. Ada rasa bersalah, ada luka yang belum sembuh, dan ada kebingungan yang terus menghantui pikirannya. Perlahan, tangannya terangkat dan ia mengusap wajahnya dengan kasar, seolah ingin menghapus semua perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya. Namun tetap saja, semuanya terasa semakin rumit.

Keesokan harinya, suasana di ruang makan terlihat begitu ceria. Seperti biasa, Hana duduk bersama si kembar yang terus saja berceloteh dan bercanda, membuat tawa riang mengisi ruangan sejak pagi. Hana ikut tertawa, menimpali candaan mereka dengan hangat. Mama dan papa mertuanya pun turut larut dalam kebersamaan pagi itu, tersenyum melihat keharmonisan yang terasa di meja makan. Sekilas, tidak ada yang berubah. Semuanya tampak seperti hari-hari sebelumnya—tenang, ceria, dan biasa saja.

Setelah sarapan usai, Hana dan Rei pun bersiap berangkat ke sekolah. Mereka keluar rumah seperti biasanya, menaiki mobil bersama, duduk berdampingan dalam perjalanan yang sunyi di awal. Namun di dalam hati Rei, ada sesuatu yang mengganjal. Sejak tadi, dia diam-diam memperhatikan Hana dari sudut matanya. Senyum istrinya masih sama. Geraknya masih lembut dan santai. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia terganggu atau marah. Tapi justru itulah yang membuat Rei heran—mengapa Hana terlihat begitu tenang? Apakah dia tidak mendengar apa yang Rei ucapkan semalam? Atau apakah dia pura-pura tidak peduli? Mengapa tidak ada pertanyaan, tidak ada perubahan sikap, bahkan tidak ada ekspresi mencurigakan sedikit pun?

Rei mulai merasa gelisah. Keraguannya akhirnya mendorongnya untuk membuka suara. Di tengah perjalanan menuju sekolah, ia memberanikan diri bertanya.

“Hana?” panggil Rei pelan, memecah keheningan yang sempat menggantung sejak mereka keluar dari rumah.

Hana menoleh singkat ke arahnya, lalu tersenyum kecil. “Hmm?” sahutnya ringan, hanya berdeham kecil dengan nada biasa, seolah tidak ada yang aneh.

Rei menatapnya sejenak, lalu menarik napas sebelum akhirnya melanjutkan pertanyaannya. “Kau tidak ingin bertanya… soal semalam?” ucapnya, kali ini terdengar sedikit ragu, bahkan nyaris berbisik. Ada rasa khawatir dalam nada suaranya—takut jika Hana sebenarnya menyimpan sesuatu tapi memilih diam.

1
Na Noona
lanjut dong, dri kemarin ga up up
Ayu Sipayung: Sedang proses kk, sabar ya.....

jangan lupa baca karya terbaru author sembari menunggu up selanjutnya ya...
total 1 replies
Na Noona
belum up tor
na Nina
lanjut
na Nina
lanjut tor
Na Noona
up tor
Na Noona
up tor, aku sukaaa ceritanya
Chachap
kurang panjang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!