Bilha, seorang penggemar berat grup idola "Moonlight". Selalu menganggap bahwa menikahi salah satu aggota grup idola tersebut hanyalah khayalan belakang. Namun, kehidupan Bilha berubah drastis ketika ia bertemu dengan Taro, yang merupakan salah satu anggota grup "Moonlight".
Semua berawal dari sebuah pertemuan tak terduga. Bilha bertemu dengan Taro di sebuah acara fans meeting dan tanpa diduga mereka berdua terjebak dalam sebuah situasi yang membuat mereka semakin dekat.
Taro yang terkenal dengan kepribadiannya yang ramah dan hangat, ternyata memiliiki perasaan yang sama dengan Bilha.
Namun, menjalani hubungan dengan seorang idol tidaklah mudah. Bilha harus menghadapi tekanan dari media dan fans yang tidak mennyukainya. Taro juga harus menghadapi konflik antara karirnya sebagai idol dan kehidupan pribadinya dengan Bilha.
Apakah cinta Bilha dan Taro dapat bertahan menghadapi semua tantangan tersebut? Ataukah kehidupan sebagai pasangan idol akan menghancurkan hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasam Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kata-Kata yang Tak Pernah Terucap
Satu minggu telah berlalu sejak surat itu tiba di tangan Bilha. Surat yang menandai awal dari sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan benar-benar terjadi. Ia mulai menulis kisah itu dengan hati-hati, seolah berjalan di atas kaca tipis. Setiap kalimat yang ia tulis, setiap adegan yang ia bangun, mengandung lapisan-lapisan rasa yang tak mudah ia uraikan: rasa kagum, kebingungan, ketakutan... dan cinta yang tumbuh tanpa izin.
Ia tak pernah menyangka bahwa rasa ini akan semakin dalam justru setelah pertemuan itu berakhir. Karena dalam diamnya, Taro meninggalkan jejak. Bukan hanya kenangan, tapi semacam... harapan.
Dan harapan itulah yang kini membuat Bilha duduk termenung di sudut café langganannya, dengan laptop terbuka tapi kursor hanya berkedip tanpa arah. Ia baru menulis tiga paragraf, tapi pikirannya sudah melayang entah ke mana.
Pintu café terbuka, angin sore masuk bersama langkah Dita yang langsung mengenalinya dari jauh.
“Kamu belum nulis juga ya?” Dita menarik kursi di seberang, meletakkan minuman favorit mereka: kopi susu karamel dengan tambahan boba. “Dari ekspresi kamu aja aku tahu, kamu masih mikirin dia.”
Bilha tersenyum lelah. “Aku nulis kok… tapi, gak tahu kenapa, rasanya kayak… berat. Padahal harusnya lebih mudah karena aku nulis dari kenyataan, kan?”
Dita menyeruput minumannya sebelum menjawab. “Justru karena nyata, makanya susah. Kamu bukan cuma nulis cerita orang lain. Kamu nulis cerita kamu sendiri—yang kamu belum selesai rasakan.”
Bilha terdiam. Itu benar.
Ia masih belum tahu harus mengartikan semua ini seperti apa. Surat dari manajemen, kiriman lagu rahasia, dan kalimat yang pernah Taro bisikkan saat mereka berpisah: “Jangan lupa... tulis apa yang kamu lihat hari ini.”
Itu bukan permintaan biasa. Dan Bilha tahu, di baliknya tersimpan luka yang belum terungkap.
“Aku bahkan gak tahu boleh berharap atau enggak…” gumam Bilha. “Dia itu siapa aku? Cuma fans yang kebetulan terpilih? Atau... seseorang yang dia ingin jaga dari jauh?”
Dita menatapnya serius. “Kamu itu bukan ‘cuma’ siapa-siapa. Kamu satu-satunya orang yang dia pilih untuk melihat sisi dia yang asli. Itu bukan kebetulan, Bilha.”
Kata-kata itu mengendap di dada Bilha lama setelah Dita pergi. Ia menatap naskah di layarnya, lalu mulai mengetik ulang. Kali ini, bukan dengan keraguan. Tapi dengan kejujuran.
Fragmen Novel:
Aku melihatnya dari jauh, dengan cahaya panggung menari di sekelilingnya. Semua orang melihat idola, tapi aku melihat sesuatu yang lain: seseorang yang sedang berusaha berdiri, meski pundaknya lelah menanggung ekspektasi.
Aku ingin memeluknya. Tapi bukan sebagai penggemar.
Aku ingin memeluknya sebagai seseorang yang mengerti, tanpa perlu kata-kata.
Pagi berikutnya, Bilha terbangun oleh notifikasi email. Matanya masih setengah terbuka saat ia membaca subjeknya:
[RE: Draf Bab 1 – Taro Project]
Itu dari editor rahasia yang ditunjuk oleh manajemen Taro. Hingga kini, Bilha belum tahu siapa sebenarnya editor ini. Nama pengirim hanya bertuliskan “H. Nakamura”.
Isi emailnya singkat:
> “Tulisannya kuat. Tapi masih terlalu hati-hati. Kalau kamu memang benar-benar melihatnya, jangan hanya tulis yang tampak. Tulis juga yang terasa.”
Bilha mematung membaca kalimat itu. Satu sisi dirinya merasa tertekan—siapa pun H. Nakamura ini, dia tahu persis bagaimana cara menekan titik terlemah seorang penulis. Tapi sisi lain dirinya merasa… tertantang.
Ia mulai menulis lagi. Kali ini, ia membuka folder yang belum pernah ia buka sejak hari itu: rekaman suara Taro yang ia simpan secara rahasia. Hanya satu menit. Tapi cukup untuk membuat napasnya tercekat.
"Hai... ini Taro. Kalau kamu dengar ini, berarti kamu benar-benar niat nulis. Terima kasih, ya. Aku gak tahu harus mulai dari mana, tapi kalau kamu mau tahu siapa aku sebenarnya... lihat mataku waktu aku diam. Di situ semuanya ada. Terima kasih, Bilha. Untuk jadi yang pertama mau mendengar."
Dan saat itu, Bilha tahu. Ini bukan lagi tentang menulis untuk diterbitkan. Ini tentang menyembuhkan seseorang… lewat kata-kata.
Beberapa hari kemudian, kantor editorial tempat Bilha bekerja mendadak ramai. Desas-desus tersebar: salah satu idol besar akan merilis novel semi-biografi lewat penerbit anonim, dan rumor menyebutkan bahwa penulisnya adalah... seseorang dari kantor itu.
Bilha hanya bisa pura-pura sibuk saat gosip mulai mengarah ke dirinya.
“Kamu kan penulis bayangan, ya? Jangan-jangan itu kamu?” tanya Rian, salah satu senior.
“Ya ampun, enggaklah,” jawab Bilha sambil tertawa, walau hatinya deg-degan.
Setiap hari rasanya seperti berjalan di atas tali. Ia menulis dalam diam, menyembunyikan rekaman, dokumen, dan catatan-catatan kecil yang kadang ia selipkan di balik tumpukan buku. Tapi yang lebih sulit disembunyikan adalah perasaannya sendiri.
Setiap kalimat yang ia tulis tentang Taro, terasa seperti menggores bagian terdalam hatinya.
Di sisi lain kota, Taro duduk sendiri di ruang latihannya yang sunyi. Lagu-lagu baru diputar di latar belakang, tapi pikirannya tertinggal di satu tempat: hari itu, saat Bilha memeluknya sebelum pergi. Saat mata mereka bertemu dan dunia terasa berhenti sesaat.
Manajernya masuk, membawa naskah cetakan Bab 2.
“Kamu yakin mau terusin ini?” tanya manajernya. “Makin banyak yang tahu, makin besar risikonya. Kalau sampai orang tahu siapa yang nulis ini—”
“Aku tahu.” Taro memotong dengan suara tenang. “Tapi ini satu-satunya cara aku bisa bicara jujur. Lewat dia.”
Manajernya mendesah. “Dan kamu masih mikirin dia?”
Taro menatap keluar jendela. “Setiap hari.”
Beberapa minggu kemudian, draf Bab 5 sudah selesai. Bilha duduk di café yang sama, mengenakan sweater hitam dan beanie coklat, mencoba menyatu dengan pengunjung lain agar tak dikenali. Kali ini, ia tidak sendiri.
Seseorang duduk di depannya—lelaki berjas sederhana, wajahnya biasa saja. Tapi tatapannya tajam dan tenang. Ia memperkenalkan diri singkat.
“Aku Nakamura. Editor bayangan proyek ini.”
Bilha nyaris menjatuhkan sendoknya.
“Kamu… beneran manusia? Aku pikir kamu cuma nama email misterius!”
Nakamura tertawa. “Aku disuruh Taro temui kamu langsung. Dia bilang, kamu sudah cukup jujur di tulisanmu. Tapi ada satu hal yang belum kamu tulis.”
Bilha mengerutkan kening. “Apa itu?”
“Perasaan kamu.”
Diam.
Kafe mendadak terasa sunyi. Suara musik latar, percakapan pengunjung, semuanya memudar di telinga Bilha.
“Aku… gak tahu apakah itu penting,” katanya pelan. “Aku takut kalau aku terlalu jujur, orang pikir aku hanya fans yang... berharap terlalu tinggi.”
Nakamura menatapnya dalam. “Justru karena kamu fans, dan tetap bisa melihatnya sebagai manusia, kamu berbeda. Kamu punya kunci yang orang lain enggak punya.”
Bilha terdiam lama. Lalu mengangguk. “Baik. Aku akan coba.”
Malam itu, di kamar sempitnya, Bilha menulis lagi. Tapi kali ini, bukan untuk proyek. Bukan untuk Taro. Bukan untuk siapa pun.
Ia menulis untuk dirinya sendiri.
Dan di akhir paragraf, ia akhirnya menuliskan sesuatu yang selama ini ia tahan:
> Aku mencintaimu. Bukan sebagai idol. Tapi sebagai laki-laki yang berani terlihat rapuh di depanku.
> Dan kalau dunia tak mengizinkan kita bersama, aku hanya ingin kamu tahu... aku tidak akan menyesal pernah memilih untuk mencintaimu, diam-diam, sepenuhnya.
---
Malam itu, setelah menuliskan kalimat pengakuannya yang pertama, Bilha duduk lama dalam diam. Jari-jarinya berhenti di atas keyboard. Hatinya berdebar kencang. Kalimat itu tak panjang, hanya beberapa baris… tapi terasa seperti membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat-rapat.
Ia membaca ulang kalimat itu berkali-kali, lalu menyimpannya dalam folder terpisah yang ia beri nama: Untuk yang Tak Pernah Sampai.
Karena ia tahu, cinta seperti ini—yang tumbuh dalam diam dan ditulis lewat kata-kata—mungkin tidak ditakdirkan untuk bersuara.
Tapi keesokan harinya, takdir justru bergerak lebih cepat dari yang ia kira.
Pagi itu, saat baru sampai kantor, Bilha disambut oleh Dita yang berlari menghampirinya dengan wajah panik sekaligus heboh.
“Bil, kamu liat Twitter belum?!”
“Hah? Belum... Kenapa?”
Dita menarik lengan Bilha dan menunjukkan layar ponselnya. Salah satu trending topic tertulis jelas: #TaroStoryProject
Di bawahnya, banyak akun fans dan portal berita hiburan yang menuliskan hal serupa: “Idol Taro dikabarkan sedang bekerja sama dengan penulis misterius dalam proyek novel yang mengangkat kisah hidupnya!”
Beberapa akun bahkan mulai berspekulasi tentang siapa penulisnya.
“Gila... ini baru gosip aja, tapi udah ribuan retweet!” ujar Dita. “Eh... jangan-jangan, kamu…?”
Bilha langsung menunduk. “Dita…”
Dita menutup mulutnya. “Oh my God. Bilha. Kamu beneran...”
“Aku gak bisa bilang apa-apa,” jawab Bilha pelan. “Tapi tolong, jangan bilang siapa-siapa, ya?”
Dita memandangnya lama, lalu mengangguk. “Tenang. Mulutku dijahit.”
Bilha menghela napas panjang. Ia tak menyangka proyek rahasia itu akan bocor secepat ini. Bahkan belum sempat diterbitkan resmi, sudah jadi perbincangan nasional.
Dan siangnya, email dari Nakamura datang lagi. Kali ini, hanya satu kalimat:
> “Bersiaplah. Dunia mulai melihat.”
---
Sementara itu, di sebuah studio latihan di pusat kota Tokyo, Taro menatap layar ponselnya dengan ekspresi datar. Manajernya baru saja memperlihatkan thread fans yang membahas proyek novel itu. Foto-foto dirinya, tangkapan layar dari fanbase, dan spekulasi tentang isi cerita mendadak berserakan di media sosial.
“Ini di luar prediksi,” kata manajernya. “Tapi kamu bisa mundur sekarang kalau mau. Kita bisa bilang ini hanya fiksi.”
Taro diam. Ia menatap bayangannya di cermin studio, lalu berkata pelan, “Enggak. Aku enggak mau sembunyi.”
Manajernya menghela napas. “Kalau kamu terusin, nama si penulis bisa kena sorot. Kamu siap?”
Taro menatap langit-langit, seolah mencari jawaban di antara lampu-lampu.
“Aku lebih takut kehilangan dia... daripada kehilangan reputasi.”
---
Malamnya, Bilha menerima pesan tak terduga. Sebuah pesan pribadi dari akun verified yang hanya berisi satu kalimat:
“Boleh aku bicara? —T.”
Bilha menatap layar ponselnya lama. T. Satu huruf yang cukup untuk membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Tangannya gemetar saat membalas.
“Tentu.”
Tak lama kemudian, ponselnya berdering. Video call.
Dengan napas yang ia tahan, Bilha menekan tombol hijau.
Wajah itu muncul di layar. Masih sama seperti yang ia lihat di panggung dan layar kaca. Tapi kali ini tanpa make-up tebal, tanpa pencahayaan dramatis. Hanya Taro, dengan hoodie abu-abu dan mata yang terlihat lelah namun lembut.
“Hai,” katanya pelan.
“Hai…” suara Bilha nyaris tercekat.
“Aku lihat naskahmu,” Taro tersenyum kecil. “Dan... aku baca semuanya.”
Bilha membeku. “Yang bagian itu juga?”
Taro mengangguk. “Semua. Termasuk kalimat terakhir.”
Bilha menunduk, malu bukan main. “Aku… aku gak berniat—“
“Aku senang kamu jujur,” potong Taro. “Aku juga punya sesuatu yang belum pernah aku bilang.”
Bilha menatap layar. “Apa?”
Taro terdiam sejenak, lalu berkata,
“Waktu pertama kali kamu memeluk aku, aku merasa... dunia berhenti bergerak. Kamu orang pertama yang memandang aku bukan sebagai ‘Taro dari Moonlight’, tapi sebagai aku. Dan sejak itu, aku gak bisa berhenti mikirin kamu.”
Bilha merasa matanya memanas.
“Aku tahu ini rumit,” lanjut Taro. “Dunia kita beda. Aku gak bisa janji banyak. Tapi aku tahu satu hal—kalau aku gak jujur sekarang, aku akan nyesel selamanya.”
“Jadi...?” suara Bilha nyaris berbisik.
Taro tersenyum lembut.
“Kalau kamu mau... kita bisa mulai perlahan. Sebagai dua orang yang saling percaya. Gak harus jadi apa-apa dulu. Cuma... dua orang yang pernah saling melihat.”
Dan saat itu, untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, Bilha merasa dunia tempatnya berdiri tak lagi terasa dingin.
Karena walaupun jalan di depan masih penuh tanda tanya, satu hal kini menjadi terang:
Hatinya... tak lagi sendiri.
---
Semangat nulis novel nya thor/Heart/
"Coba deh BLA BLA BLA yang terimut itu," sambung bla bla bla
"Hei, kalian semua bla bla bla?"