Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30 pemberontakan
Malam yang seharusnya menjadi waktu istirahat bagi mereka berdua justru berubah menjadi medan pertarungan.
Saat lampu kamar telah dipadamkan dan keduanya mulai memejamkan mata, Eleanor—yang terbiasa terjaga meski dalam tidur—merasakan sesuatu yang janggal. Nalurinya menegang, membuatnya segera membuka mata.
Dalam sekejap, matanya menangkap bayangan seseorang yang menghunus pedang, siap menyerangnya.
Di saat yang sama, Cedric juga sudah tersadar. Bahkan, pria itu telah lebih dulu menangkis serangan lawannya dengan sigap. Bunyi benturan logam memenuhi ruangan, menandakan pertempuran yang tak terelakkan.
Tanpa ragu, Eleanor segera meraih belatinya yang tersimpan di bawah bantal. Dengan gerakan cepat, ia bangkit dan menghunuskan senjatanya ke arah penyerang. Tidak ada waktu untuk berpikir—hanya insting bertahan hidup yang menggerakkan tubuhnya.
Dengan sekuat tenaga, Eleanor melawan, berusaha menahan serangan tajam yang datang silih berganti. Sementara itu, Cedric bertarung dengan musuh lainnya, matanya dipenuhi kilatan tajam, memancarkan kemarahan atas serangan yang begitu mendadak.
Mereka tidak tahu siapa yang mengirim para pembunuh ini, tapi satu hal yang pasti—mereka tidak akan membiarkan diri mereka jatuh di tangan musuh begitu saja.
Cedric dengan mudah menebas lawannya hanya dalam satu serangan. Darah berceceran di lantai, sementara tubuh musuhnya roboh tanpa sempat memberikan perlawanan berarti.
Begitu selesai, Cedric langsung mengalihkan perhatiannya ke Eleanor yang masih bertarung. Berbeda dengannya, Eleanor menghadapi lebih banyak kesulitan. Lawannya jauh lebih kuat, dan pergerakannya terbatas karena pakaiannya yang kurang tertutup membuatnya sulit bermanuver. Bahkan, di tengah pertarungan, pakaiannya robek di bagian pahanya, meskipun untungnya tidak sampai melukai kulitnya.
Menyadari situasi Eleanor, Cedric segera bergerak. Dengan satu ayunan pedang yang cepat dan akurat, ia menebas lawan Eleanor dari belakang. Tubuh pria itu terjatuh dengan suara berat, darah segar mengalir dari luka fatalnya.
Eleanor terengah-engah, menyadari bahwa tanpa Cedric, ia mungkin akan lebih lama menyelesaikan pertarungan ini. Cedric menatapnya dengan mata tajam, lalu tanpa berkata apa-apa, ia melepaskan jubahnya dan menaruhnya di pundak Eleanor, menutupi pakaiannya yang sobek.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya terdengar tenang tetapi penuh kewaspadaan.
Eleanor mengangguk, meskipun masih sedikit terkejut dengan serangan mendadak ini. "Aku baik-baik saja. Tapi kita harus mencari tahu siapa yang mengirim mereka."
Cedric menoleh ke arah para pembunuh yang kini tergeletak di lantai. Matanya menyipit, menyadari bahwa ini bukan sekadar upaya perampokan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar di balik serangan ini.
Saat Cedric memperhatikan para penjahat yang tergeletak di lantai, matanya menyipit tajam. Lambang singa yang tersemat di pakaian mereka langsung menarik perhatiannya. Itu adalah lambang keluarga Lord Edwin.
Cedric mengepalkan tangannya. Jadi, ini bukan sekadar serangan biasa—ini adalah pengkhianatan. Lord Edwin telah melakukan pemberontakan dan memilih untuk memulai dengan mencoba melenyapkannya.
Dengan cepat, Cedric berbalik menghadap Eleanor. “Ganti pakaianmu dan pergi dari sini bersama Brian. Jangan sampai ada yang mengenali kalian,” perintahnya tegas.
Namun, Eleanor tidak langsung menuruti perintah itu. Sebaliknya, dia menggenggam tangan Cedric, menatapnya dengan penuh kecemasan. “Lalu bagaimana denganmu?” tanyanya, suaranya bergetar.
Cedric menghela napas, lalu menatap Eleanor dengan tenang meskipun situasinya genting. “Lord Edwin telah melakukan tindakan yang tidak bisa dimaafkan. Dia menyerang kita berarti dia telah menyatakan perang,” ucapnya.
Eleanor semakin khawatir. “Tapi kau akan berperang dengan jumlah pasukan yang sedikit? Bagaimana jika kau kalah?” Suaranya dipenuhi kegelisahan. Dia tahu betul bahwa jumlah prajurit mereka tidak sebanding dengan pasukan Lord Edwin.
Cedric mengusap lembut kepala Eleanor sebelum menatapnya dengan keyakinan penuh. “Kau tidak perlu khawatir. Pergilah ke dermaga bersama Brian, aku akan menyusul setelah ini.”
Eleanor menggigit bibirnya, hatinya terasa semakin berat. Namun, melihat tatapan Cedric yang begitu yakin, dia tahu bahwa membantah hanya akan memperlambat segalanya. Dengan enggan, dia segera mengganti pakaiannya.
Sebelum pergi, Eleanor menatap Cedric sekali lagi. “Kau harus kembali padaku, Cedric. Aku tidak mau menjadi seorang janda di usia semuda ini.”
Cedric tersenyum tipis. “Aku tidak akan membuatmu menjadi janda, Eleanor.”
Cedric mengambil jubahnya dan menyelubungi ke tubuh Eleanor, memastikan dia tetap hangat dan tidak mencolok saat melarikan diri. Dengan suara rendah namun tegas, dia berbisik, "Jaga dirimu baik-baik."
Sebelum Eleanor sempat merespons, Cedric tiba-tiba meraih tengkuknya dengan lembut, lalu mengecup bibirnya dengan singkat namun penuh makna.
Mata Eleanor membesar, terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah menyangka bahwa Cedric akan menciumnya—terlebih dalam situasi seperti ini. Jantungnya berdetak lebih cepat, namun sebelum dia bisa mengolah perasaannya, Cedric sudah melepaskannya dengan tatapan serius.
"Pergilah," ucap Cedric pelan, nyaris seperti perintah, sebelum dia berbalik, bersiap menghadapi pertempuran yang telah menanti.
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor