“Apa ... jangan-jangan, Mas Aldrick selingkuh?!”
Melodi, seorang istri yang selalu merasa kesepian, menerka-nerka kenapa sang suami kini berubah.
Meskipun di dalam kepalanya di kelilingi bermacam-macam tuduhan, tetapi, Melodi berharap, Tuhan sudi mengabulkan doa-doanya. Ia berharap suaminya akan kembali memperlakukan dirinya seperti dulu, penuh cinta dan penuh akan kehangatan.
Namun, siapa sangka? Ombak tinggi kini menerjang biduk rumah tangganya. Malang tak dapat di tolak dan mujur tak dapat di raih. Untuk pertama kalinya Melodi membuka mata di rumah sakit, dan disuguhkan dengan kenyataan pahit.
Meskipun dirundung kesedihan, tetapi, setitik cahaya dititipkan untuknya. Dan Melodi berjuang agar cahaya itu tak redup.
Melewati semua derai air mata, dapatkah Melodi meraih kebahagiaan? Atau justru ... sayap indah milik Melodi harus patah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SPMM23
Dokter Andra meneguk kasar ludahnya, ekspresi wajah tegang itu jelas merupakan ekspresi yang sangat tidak disukai oleh keluarga pasien manapun.
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun—"
"Namun? Namun apa, Dok?!" Aldrick tak sabar. Suara serak dan penuh harap itu seolah memohon agar Andra hanya menyampaikan kabar baik saja. "Dok, Melodi baik-baik saja, ‘kan?!"
Tubuh Andra sedikit berguncang akibat Aldrick mencengkram kuat kedua lengannya.
Andra menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum kembali berbicara. "Kami sudah berusaha sebaik mungkin, Pak Aldrick. Operasi berjalan dengan lancar, tapi ... keadaan Bu Melodi sangat kritis. Kami tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi selanjutnya." Ia menatap wajah Aldrick dengan penuh penyesalan.
Penjelasan dari Andra layaknya petir yang menggelegar di sore hari itu, bak belati yang menghujam dada Aldrick. Dunia seakan terbalik, kedua lututnya lemas.
Aldrick meraup napas sebanyak-banyaknya. "Melodi ... dia akan bertahan, kan?"
"Pak Aldrick, apa Anda tau apa yang diucapkan Bu Melodi sebelum ia tak sadarkan diri setelah di bius?" Andra menatap dalam-dalam manik Aldrick yang berkaca-kaca. "Dok ... saya percayakan jalan operasi ini kepada Anda dan para tim medis. Saya yakin, Anda akan berhasil menyelesaikannya dengan baik. Maka dari itu, jika setelah selesai operasi ini dan saya tidak ataupun belum bisa membuka mata, saya mohon kalian jangan menyalahkan diri sendiri. Dan, tolong sampaikan pada orang-orang yang menunggu saya : jangan cemas, jangan sedih, jangan patah. Di manapun jiwa ku berkelana, aku janji akan kembali."
BRUGH!
Lutut Aldrick ambruk di atas lantai, Kedua bahunya berguncang. Ia menutup wajahnya yang basah dengan kedua tangan, menyembunyikan wajah sendu itu agar tak terlihat. Namun, sehebat apapun ia berusaha meredam, isak tangis itu tetap terdengar. Sangat memilukan, bahkan Nadia yang selalu tampil kuat pun ikut terbawa suasana dan menyeka air yang keluar di sudut matanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam itu, Aldrick memutuskan untuk pulang sebentar ke rumah. Ia perlu mengambil beberapa barang dan memastikan semuanya baik-baik saja. Saat ia membuka pintu rumah, suasana sepi langsung menyambutnya. Rumah yang biasanya terasa hangat kini terasa dingin dan hampa.
Aldrick berjalan menuju dapur. Perutnya berbunyi pelan, mengingatkan bahwa perutnya harus kembali di isi. Ia membuka kulkas, tapi hanya ada botol air mineral dan beberapa bahan makanan yang sudah hampir kedaluwarsa. Ia melirik meja makan. Biasanya, meja itu penuh dengan masakan buatan Melodi, tapi kini kosong melompong.
Dengan malas, Aldrick mengambil sebungkus mie instan cup dari lemari. Ia menuangkan air panas ke dalamnya, lalu duduk di kursi makan. Sambil menunggu mie instannya matang, pikirannya melayang. Ia teringat saat-saat di mana Melodi selalu menunggu kepulangannya, meski itu berarti ia harus menahan lapar.
Ia teringat sesuatu. Dulu, ia sering menemukan bungkus mie instan di tong sampah saat ia pulang larut malam. Ia tidak pernah memikirkannya lebih jauh, mengira itu hanya kebiasaan makan Melodi yang sesekali. Tapi kini, ingatan itu membuatnya merasa bersalah.
“Mas, aku tadi makan mie instan, lho. Kamu nggak marah, kan? Habis ... kamu lama banget pulangnya, jadi aku ganjel perut dulu pakai mie rebus,” suara Melodi tiba-tiba terngiang di kepalanya. Aldrick ingat betul bagaimana Melodi dulu berkata seperti itu sambil tertawa kecil, seolah itu bukan masalah besar. Tapi sekarang, ia sadar bahwa itu adalah caranya bertahan saat ia menunggunya pulang.
Aldrick menunduk, menatap mie instan di depannya. Air matanya mulai menggenang. “Maafin aku, Dek ...,” gumamnya pelan. “Kenapa kamu harus nunggu aku buat makan? Kenapa kamu nggak marah sama aku, meski aku sering ninggalin kamu? Kenap—”
Aldrick tak melanjutkan kata-katanya. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan tangis. Tapi, semuanya terasa terlalu berat. Air matanya tumpah, mengalir deras di pipinya. Ia menangis sejadi-jadinya, menumpahkan semua penyesalan yang selama ini ia simpan.
“Maafin aku, Dek,” bisiknya di tengah tangis. “Aku sayang sama kamu, tapi, aku nggak pernah nunjukkin itu. Aku nggak pernah cerita ke kamu. Aku malah bikin kamu ngerasa sendirian. Aku ... aku menyesal!”
Penyesalan yang selama ini ia abaikan kini menghantamnya dengan keras. Tapi, di tengah tangisannya, ia bertekad. Ia tidak akan membiarkan Melodi pergi tanpa tahu betapa besar cintanya.
Di tengah keheningan malam, ponsel Aldrick berdering. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berhenti sejenak. Itu adalah panggilan dari rumah sakit. Ia menjawab dengan tangan gemetar.
“Pak Aldrick,” suara perawat di ujung sana terdengar tegang. “Kondisi Bu Melodi tiba-tiba menurun. Kami butuh Anda datang sekarang juga.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Langkah kaki Aldrick memecahkan kesunyian malam. Napasnya tersengal ketika sampai di depan pintu ruangan inap sang istri.
Pintu kayu itu berdecit kala Aldrick mendorong dengan kuat, matanya mengedar, hanya ada Nadia yang menjaga Melodi.
Aldrick berjalan cepat, tak peduli dengan napasnya yang semakin sengal dan sesak.
"Nad, gimana Melodi?" suara berat dan serak itu terdengar bergetar.
"Untunglah sekarang udah stabil," jawab Nadia. "Ini karena lo juga sigap memberikan izin untuk para medis untuk bertindak langsung."
Aldrick menghela napas panjang, wajah tegangnya seketika berubah lega. "Alhamdulillah ... Alhamdulillah Ya Allah! Terima ... terimakasih, Ya Allah!"
"Untungnya, Ibu lo bersedia untuk kembali mendonorkan darahnya lagi, Drick. Kalau enggak, semuanya bisa kacau," kata Nadia. Matanya tak lepas menatap wajah sahabat nya.
Informasi dari Nadia membuat Aldrick tersentak. "Ibu gue? Beliau donor darah lagi? Bukannya itu bahaya?! —Bukannya donor darah hanya boleh dilakukan dalam 3-4bulan sekali? Tim medis meloloskan?"
"Tentu awalnya enggak, Drick. Tapi Ibu lo maksa, dan ... kondisi Melodi benar-benar terdesak. Bahkan Ibu lo sampai tanda tangan surat kesepakatan agar anggota keluarga nggak nuntut rumah sakit jika sampai terjadi apa-apa sama beliau," jelas Nadia.
"Astaga ...." Aldrick meraup kasar wajahnya. "Jadi, Ibu gue sekarang di mana, Nad? Gimana kondisinya?!"
Baru saja Nadia hendak membuka mulutnya, salah satu perawat lebih dulu masuk ke dalam ruangan.
"Pak Aldrick," panggil seorang perawat. "Mohon ke ruangan Dokter sebentar. Ini tentang Ibu Ajeng."
Aldrick menatap lekat mata sang perawat, seolah mencari jawaban atas pertanyaannya tadi. Namun, mimik sang perawat seolah memberikan jawaban yang tak ingin di dengar Aldrick.
Pria itu mengangguk, lalu mengekor di belakang perawat dengan degup jantung yang tak menentu.
*
*
*
,, penyesalan,, membuat sesak di
di dada, dalam penyesalan hanya
dua kata sering di ucapkan,
,, andaikan dan misalkan,, dua
kata ini tambah penyesalan.
thanks mbak 💪 💪