Untuk mengungkap penyebab adiknya bunuh diri, Vera menyamar menjadi siswi SMA. Dia mendekati pacar adiknya yang seorang bad boy tapi ternyata ada bad boy lain yang juga mengincar adiknya. Siapakah pelakunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Vera baru saja selesai mencatat sesuatu di buku ketika ponselnya bergetar di atas meja. Nama Sagara tertera di layar. Dia menghela napas sebentar sebelum akhirnya mengangkat telepon itu.
“Halo?”
“Masalah Evan udah selesai,” kata Sagara di seberang sana. Suaranya terdengar lebih tenang dibandingkan sebelumnya.
“Jadi, dia sudah ngaku?”
“Iya. Tapi gue masih harus pantau dia sebelum pelaku sebenarnya benar-benar terungkap."
Vera menggigit bibirnya. Dia ingin bertanya lebih lanjut, tapi tiba-tiba—klik.
Seluruh ruangan menjadi gelap. Lampu yang sebelumnya menerangi kamarnya mati begitu saja, meninggalkan Vera dalam kegelapan.
“Aaah!” Dia menjerit kecil, refleks menggenggam ponselnya lebih erat.
“Halo? Vera, ada apa?” suara Sagara langsung berubah waspada.
“Listriknya mati...” kata Vera, masih mencoba menyesuaikan diri dengan gelapnya kamar.
Sagara terdengar menghela napas dari seberang. “Jangan keluar rumah. Gue ke sana sekarang.”
“Tapi—”
“Dengerin gue. Gue bakal lihat apa yang terjadi. Pastikan semua pintu terkunci dan lo tunggu gue di kamar, jangan kemana-mana.”
“Oke...”
Vera segera bangkit dari tempat duduknya, berjalan cepat menuju pintu, dan menguncinya rapat. Hanya lampu ponselnya yang menjadi satu-satunya sumber cahaya di dalam kamar.
Dia duduk kembali di sudut tempat tidurnya, memeluk lutut sambil menggigit bibir. Kegelapan yang menyelimuti ruangan membuat pikirannya berkelana. Tanpa sadar, dia mulai membayangkan Rhea.
Bagaimana dulu perasaan Rhea saat dia sendirian di rumah? Saat Vera tidak ada untuk menemaninya? Mungkin seperti ini, sangat ketakutan.
Dada Vera terasa sesak. Pikirannya berputar ke masa lalu, ke saat-saat di mana Rhea masih ada di sisinya. Jika saja dia tidak menerima beasiswa itu, jika saja dia tetap tinggal di rumah ini dan menemani Rhea, mungkin semuanya tidak akan seperti ini.
Air mata mengalir tanpa sadar di pipinya. Rasa bersalah yang selama ini coba dia kubur kembali muncul, menghantamnya dengan keras.
“Maaf, Rhea…” bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar di dalam kegelapan.
Vera menenggelamkan wajahnya di lututnya, mencoba meredam isakannya.
Beberapa saat kemudian, Vera mendengar suara motor sport yang berhenti di depan rumahnya. Tak lama, suara langkah kaki terdengar mengitari rumah, membuat bulu kuduknya berdiri. Dia menggenggam erat ponselnya saat nada dering memenuhi keheningan kamarnya.
Tanpa pikir panjang, dia segera mengangkatnya.
"Gue dan anak-anak di depan rumah lo. Gue lihat ada yang berlari pergi. Hati-hati, ada yang mengintai lo."
Suara Sagara terdengar serius, membuat Vera semakin merasa tak tenang. Tangannya sedikit gemetar saat dia meraih gagang pintu dan membuka sedikit kamarnya.
Dia melangkah keluar dengan hati-hati, matanya mengintip dari balik jendela ruang tamu. Di luar, Sagara dan beberapa temannya berdiri dengan sikap waspada.
"Saga," panggil Vera pelan.
Sagara menoleh ke arahnya. Mereka saling menatap beberapa detik sebelum akhirnya Vera melanjutkan perkataannya, "Gue bisa minta tolong lo gak?"
Sagara menaikkan sebelah alisnya, menunggu Vera melanjutkan.
"Tolong pasang beberapa kamera tersembunyi di sudut-sudut rumah gue. Hutang lo dulu, nanti gue ganti. Gue gak punya uang."
Sagara diam sejenak, kemudian dia mengangguk. "Iya, besok gue suruh orang untuk pasang. Lo gak usah ganti. Kita harus cari bukti. Sekarang lo tidur saja. Gue akan ada di sini sampai beberapa jam, lalu gue pergi. Gak usah buka pintu. Gue bukan 100 persen orang baik."
Vera menghela napas, lalu mengangguk pelan. Meskipun ucapan Sagara terkesan dingin, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Vera merasa sedikit tenang.
Vera melangkah pelan menuju kamarnya, memastikan pintu terkunci sebelum menyandarkan punggungnya ke sana. Pikirannya yang terus dipenuhi dengan berbagai kemungkinan. Apa yang baru saja terjadi di luar rumahnya membuatnya semakin gelisah.
Dia meraih ponselnya dari atas meja, menatap layar sejenak sebelum jarinya bergerak mencari kontak Novan.
Kecurigaannya semakin kuat. Ada sesuatu yang terasa tidak benar.
Vera menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar beberapa kali, namun tak ada jawaban. Dia mulai menggigit bibirnya, pikirannya berputar semakin liar. Jika Novan benar sedang di rumah, seharusnya dia bisa langsung menjawab panggilannya seperti biasanya.
Beberapa detik berlalu hingga akhirnya suara serak menyapa dari seberang.
"Halo?"
Vera mengernyit. Suara itu terdengar berat, seperti orang yang baru saja bangun tidur. Tapi… benarkah Novan sedang tidur di rumah? Atau dia hanya berpura-pura?
"Mas Novan, maaf mengganggu malam-malam begini," ucapnya dengan suara yang dia usahakan terdengar wajar.
"Ada apa? Kenapa belum tidur?" tanya Novan, suaranya tetap terdengar lelah.
Vera menggenggam ponselnya erat. Dia ingin bertanya langsung dan ingin memastikan di mana Novan berada saat ini, tapi dia tahu itu akan membuatnya terlihat mencurigakan.
"Aku nggak bisa tidur," jawabnya singkat.
Terdengar helaan napas dari seberang. "Jangan begadang. Tidur yang cukup, besok kamu masih ke sekolah kan."
Vera tetap diam. Tidak ada pertanyaan balik dari Novan. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia menyadari sesuatu. Jika Novan benar-benar tidak ada hubungannya dengan semua ini, seharusnya dia bertanya lebih lanjut. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, dia seolah ingin mengakhiri pembicaraan secepat mungkin.
"Iya. Aku akan segera tidur."
Tanpa banyak bicara, Novan langsung memutuskan panggilan. Vera menatap layar ponselnya yang kini gelap. Perasaan tak nyaman semakin menguasainya.
Tangannya mencengkeram selimut, tubuhnya tetap diam, tetapi pikirannya bekerja. Dia mencoba mengingat kembali semua kejadian yang telah berlalu. Novan selalu ada di sekitar mereka dan orang yang paling dia percaya untuk menjaga Rhea.
"Bagaimana jika Mas Novan benar-benar melakukannya pada Rhea." Membayangkannya saja membuat dadanya terasa nyeri.
Vera tidak bisa tidur. Dia berbalik menghadap jendela, menatap gelapnya malam di luar. Masih belum ada bukti kuat yang bisa mengarah pada Novan. Dan dia harus mencarinya. Sebelum semuanya terlambat.
ok lanjuuut...