Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.
Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!
"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"
"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"
"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?
Nantikan kelanjutannya ya🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Mama Mertua
Setelah malam yang panjang, Syahla bangun dengan pikiran penuh curiga. Ia bahkan tidak tidur sama sekali karena terlalu memikirkan banyak hal. Saat sarapan, ia memperhatikan suaminya dengan tatapan tajam. Kenapa suaminya terlihat lebih tampan hari ini?
"Kenapa melihat saya begitu?" Ustadz Amar mengernyitkan dahi. "Apa ada sesuatu di wajah saya?"
"Om Suami pakai parfum baru?" todong Syahla. "Wanginya beda,"
"Iya, kemarin baru beli." Ustadz Amar mencium aroma bajunya. "Wangi kan?"
"Memang mau kemana sampai sewangi itu?" gerutu Syahla sambil menyuapkan potongan telur dadar ke mulut.
"Mau ke kampus lah. Kemana lagi?" Ustadz Amar merasa istrinya berperilaku aneh, tapi ia tidak mau ambil pusing. Ia memilih untuk menikmati sarapannya saja. Tapi, kuah sayur yang ia ambil dengan ceroboh malah menodai kemejanya.
"Aduh, kotor deh," Ustadz Amar menggosok-gosok pakaiannya, lalu beranjak dari kursi. "Kamu teruskan saja sarapannya, saya mau ganti baju."
Syahla menggenggam sendoknya dengan kesal. "Noda sekecil itu kan nggak bakal kelihatan, buat apa sih ganti baju segala?"
Sembari mengunyah makanannya, mata Syahla tak sengaja tertuju pada handphone Ustadz Amar yang tergeletak di atas meja. Diam-diam, diambilnya benda pintar itu.
Sayangnya, Syahla tidak bisa mengecek apapun karena ponsel itu terkunci. Syahla berdecak sebal. Memangnya apa sih yang disembunyikan sampai harus dikunci segala?
Saat sedang mencoba mencari kombinasi angka yang tepat, Syahla tersentak karena handphone itu tiba-tiba bergetar.
Pesan teks dari Mama Muda masuk. Untungnya, Ustadz Amar tidak mematikan mode pop up pada pesan itu, sehingga Syahla langsung mengetahui pesan apa yang dikirimkan kepada suaminya.
Mama Muda: 'Jam 11 ya, di Hotel Candra.'
Syahla langsung mengembalikan ponsel itu ke tempat semula ketika Ustadz Amar keluar dari kamar. Pakaiannya sudah berganti, dan lagi-lagi Syahla bisa mencium wangi parfum yang sepertinya sengaja disemprotkan banyak-banyak.
Setelah duduk kembali ke kursi meja makan, hal pertama yang dilakukan Ustadz Amar adalah mengecek handphone. Syahla bisa menebak kalau Ustadz Amar pasti sedang membaca pesan dari Mama Muda. Sambil tersenyum, Ustadz Amar mengetik sesuatu yang pasti adalah pesan balasan untuk wanita itu.
Hari ini akan kutangkap kalian, tekad Syahla dalam hati.
...----------------...
Detik demi detik terasa seperti beberapa tahun bagi Syahla. Bahkan selama kelas berlangsung, pandangan Syahla tidak beralih dari jam di tangannya. Maka setelah kelas berakhir, Syahla buru-buru membereskan buku dan beranjak dari kelas.
"Hari ini mau makan apa? Mi ayam? Bakso? Soto? Apa nasi?" Anggika mengikuti langkah Syahla.
"Nggak dulu, aku mau pergi." Ucap Syahla sambil tetap melangkahkan kaki lebar-lebar.
"Mau kemana?" Langkah Anggika terhenti karena Syahla yang berada di depannya juga berhenti. "Kenapa sih?"
Syahla mengepalkan tangannya saat melihat mobil Ustadz Amar sudah berjalan keluar dari area kampus. Buru-buru, ia menghampiri taksi online yang baru saja mengantarkan seorang mahasiswi.
"Eh, mau kemana sih?" Anggika merasa heran dengan tingkah sahabatnya, berusaha untuk mengejar Syahla.
"Nanti aku ceritain!" Teriak Syahla yang sudah masuk ke dalam mobil taksi. "Pak, ikutin mobil itu Pak!" tukasnya memberi arahan pada sang sopir.
"Loh, Neng, memangnya Neng udah pesen?" Tanya Pak Sopir.
"Belum Pak. Tapi tenang aja, saya akan bayar dua kali lipat!"
"Oke, siap!" Lelaki paruh baya itu langsung menancap gas dan membawa pergi Syahla keluar dari kampus.
...----------------...
"Pak, agak cepetan dong!" Protes Syahla saat ia tidak melihat mobil Ustadz Amar.
"Sabar Neng, ini udah yang paling ngebut!" Pak Sopir meliuk-liukkan mobilnya dengan susah payah.
Pukul sebelas kurang lima menit, mobil taksi itu sampai di depan hotel yang dituju. Syahla buru-buru keluar setelah memberi bayaran pada pak sopir. Dengan cermat, Syahla memperhatikan mobil-mobil yang terparkir rapi di depan hotel.
"Itu!" Syahla mengacungkan telunjuknya pada mobil yang ia kenali. Itu adalah mobil Ustadz Amar. Jadi, sudah pasti suaminya berada di sana sekarang.
Dengan napas memburu, Syahla masuk ke dalam hotel. Di lantai bawah hotel tersebut, memang ada cafe yang tersedia untuk para penghuni hotel. Di salah satu meja cafe, Syahla dapat melihat Ustadz Amar tengah duduk bersama seorang wanita berambut panjang. Syahla tidak bisa melihat wajah wanita itu karena ia duduk membelakangi Syahla.
Tangan Syahla terkepal. Dengan langkah berani, Syahla bergegas menghampiri dua orang yang terlihat sedang mengobrol mesra itu.
Saat langkah Syahla mendekat, ia bisa melihat Ustadz Amar menatapnya dengan heran. Syahla sudah bersiap untuk melabrak mereka dengan kata-kata kasar sampai wanita itu menoleh padanya.
"Loh, bukannya ini istri kamu ya, nak?"
Nak? Syahla sontak menghentikan langkahnya. Wanita itu kemudian mendekati Syahla dan memegang kedua pipi Syahla dengan gemas. "Yaampun, cantik sekali menantu Mama!"
Menantu? Syahla tidak tahu apa yang dibicarakan wanita ini. Ia hanya bisa menatap Ustadz Amar dengan tatapan penuh tanya.
"Ma, Mama mengejutkan Syahla," Ustadz Amar menarik tangan Syahla dan membimbingnya untuk duduk di salah satu kursi. "Maaf, saya belum pernah bilang sama kamu. Perkenalkan, ini Mama, ibu kandungku."
"Hah?" Syahla sudah tidak peduli lagi kalau sekarang wajahnya terlihat sangat bodoh. "Mama? Ibu kandung?"
"Hahaha, yaampun gemasnya," Wanita yang dipanggil Mama itu malah tertawa girang. "Kamu pasti bingung ya, Nak? Wajar saja, kita memang belum pernah bertemu sebelumnya. Mama saja baru ketemu Aam hari ini setelah sepuluh tahun,"
Mama kemudian bercerita. Mama adalah ibu kandung dari Ustadz Amar. Namanya Ida. Dia dulu menikah dengan Papa Ustadz Amar saat usianya masih muda, baru 18 tahun. Saat itu Mama menjadi mualaf karena mengikuti agama sang suami. Namun, setelah sepuluh tahun berlalu, Mama Ida merasa ia tidak bisa mempertahankan keimanannya. Pada akhirnya, Mama Ida dan Papa bercerai saat usia Ustadz Amar delapan tahun dan Ustadz Amar dirawat oleh mamanya selama sepuluh tahun.
"Awalnya, Mama masih tinggal di Indonesia sampai Aam kelas tiga SMA. Setelah itu, Mama menikah lagi dan pindah ke Australia mengikuti suami Mama. Mama sudah mengajak Aam untuk ikut pindah, tapi Aam menolak. Katanya dia pingin mondok. Ya sudah, akhirnya baru sekarang Mama bisa ketemu sama Aam karena suami Mama ada pekerjaan di Jakarta."
Syahla mengangguk-anggukkan kepala mendengarkan cerita mertuanya sambil berdecak kagum. Meskipun sudah berusia lima puluhan tahun, Mama Ida masih terlihat cantik. Bahkan di wajahnya tidak ada keriput sama sekali. Badannya pun masih terlihat bagus seperti seorang gadis. Setelah diperhatikan, ternyata mama mertuanya itu memiliki wajah yang mirip dengan suaminya.
"Sebenarnya Mama sudah dikabarin saat kalian mau nikah, tapi karena waktunya mepet, Mama belum bisa hadir. Mama Minta maaf ya Nak," Mama Ida meraih kedua tangan Syahla dengan raut muka menyesal.
"Eh, tidak papa Ma," Syahla merasa tidak enak hati. "Saya senang karena bisa ketemu Mama di sini,"
"Yang benar? Aduh, Mama suka deh sama kamu, anak cantik. Mama boleh nggak ngajak kamu jalan-jalan keliling Jakarta?"
"Eh?" Syahla menoleh terlebih dulu pada Ustadz Amar untuk meminta izin. Ustadz Amar menganggukkan kepala tanda mengizinkan.
"Hore! Yuk, sayang!"
Segera saja, Mama Ida menarik Syahla keluar dari area hotel dan meninggalkan Ustadz Amar begitu saja. Ustadz Amar hanya bisa menghela napas berat dan menyusul kedua wanita itu setelah membayar makanan mereka pada kasir.
apalagi suaminya lebih tua