Sebenarnya, cinta suamiku untuk siapa? Untuk aku, istri sahnya atau untuk wanita itu yang merupakan cinta pertamanya
-----
Jangan lupa tinggalkan like, komen dan juga vote, jika kalian suka ya.
dilarang plagiat!
happy reading, guys :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Little Rii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takdir buruk?
3 hari berlalu, kondisi Aira sudah semakin membaik. Selain karena berobat rutin secara mandiri, perlakuan suaminya juga menjadi pengaruh untuk kestabilan emosinya.
Hari ini Aira mendadak ingin ikut suaminya bekerja, ingin tau seperti apa suaminya bekerja di kantor. Awalnya ia takut minta ikut, karena ia merasa suaminya belum sepenuhnya terbuka padanya. Namun, saat ia mencoba memberanikan diri, respon suaminya cukup di luar dugaan. Suaminya mengizinkannya untuk ikut karena hari ini pekerjaan tidak terlalu banyak.
"Bekalnya sudah saya letakkan di mobil ya, pak."
"Iya, makasih."
Aryan pun menatap ke tangga dimana sang istri sedang berjalan menuju arahnya.
"Udah siap," ucap Aira setelah berada di samping Aryan. Suaminya itu mengangguk lalu membukakan pintu mobil untuknya, membuat Aira semakin senang.
Mobil pun melaju menuju tempat kerja Aryan. Tak ada pembicaraan antara dua insan itu, seperti tidak pernah terjadi interaksi sebelumnya.
Begitulah, kadang ada perubahan, kadang juga kembali seperti semula. Itulah kenapa Aira tak mau berharap banyak atas perubahan sikap suaminya yang masih plin-plan.
Di sisi lain.
Diana baru saja tiba di rumahnya, bersama sang ayah. Kondisinya sudah cukup membaik, meski pikirannya terus berkecamuk memikirkan ibunya dan juga Aryan.
"Na, Papa mau ke rumah sakit lagi, kamu di sini sendiri dulu gak papa kan? Bentar lagi tante Ismi bakalan dateng buat nemenin kamu," ujar pak Herman setelah mengantar Diana ke kamarnya.
"Iya, pa. Papa hati-hati ya, kabarin gimana kondisi mama nanti."
"Iya, kalau gitu papa pamit ya. Kamu istirahat."
"Siap."
Setelah pak Herman pergi, Diana pun memilih masuk ke kamar orang tuanya. Diana harus mencari informasi, dimana mamanya menemui orang pintar untuk menggunakan ilmu hitam.
Ia yakin mamanya terkena ilmu hitam itu, karena kata perawat, mamanya selalu saja seperti orang yang diikuti seseorang.
"Mama, semoga dugaan aku gak bener, ma."
Diana membongkar laci meja dan juga membongkar lemari, tapi ia tak menemukan apapun di sana. Pintar sekali ibunya ini menyembunyikan sesuatu yang berbahaya.
"Sekarang gimana? Aku harus apa biar bisa tau apa penyebab mama jadi gini?" gumam Diana duduk di tepi ranjang. Ia terus berpikir, tindakan apa yang harus ia lakukan sekarang, untuk menyelamatkan ibunya.
"Kayaknya aku harus ngeliat secara langsung kondisi Aira. Kata mama, seharusnya Aira udah jadi gila. Tapi, gimana caranya? Pasti Iyan gak bakalan izinin aku berkunjung," ucap Diana menjambak rambutnya. Ia harus mencari cara untuk melihat kondisi Aira sekarang.
Kalau wanita hamil itu baik-baik saja, bisa jadi sihir yang di kirim, kembali pada ibunya.
"Coba aja lewat sekitar rumahnya ah, mana tau keliatan."
Ya, Diana harus mencoba, siapa tau ia akan menemukan jalan.
Kembali pada Aryan dan Aira yang sudah tiba di kantor.
Aira duduk di sofa yang ada di ruangan suaminya, sembari menatap suaminya yang sibuk dengan berkas-berkas. Ternyata sama saja antara suaminya bekerja di rumah maupun di kantor.
"Mas, aku boleh gak jalan-jalan di sekitaran kantornya mas. Kayaknya tadi aku ngeliat penjual jajanan," seru Aira setelah sekian menit.
"Gak boleh," sahut Aryan masih fokus dengan pekerjaannya.
"Kenapa? Gak jauh-jauh kok."
"Iya, tetap gak boleh. Kalau laper, itu ada bekal yang disiapin bu Imas."
"Bukan laper sih, tapi bosan." Ingin Aira mengatakan itu, tapi ia takut suaminya akan marah, karena ia lah yang meminta untuk ikut.
Aryan melirik ke arah istrinya yang terlihat bosan, lalu kembali menatap kertas yang ada di tangannya. Ia juga bingung sebenarnya harus apa agar Aira tak bosan, ia tidak tau.
"Mas."
"Hm." Aryan kembali melirik ke arah Aira yang baru saja memanggilnya. Ia pun menghela nafas pelan, lalu menatap sang istri yang juga menatapnya.
"Jangan lama ya. Saya kebetulan mau rapat, sebelum saya kembali ke sini, kamu harus di sini! Jangan berkeliaran, selain di dekat kantor!"
Aira langsung berdiri lalu mengangguk. Ia pun mengambil ponsel dan dompetnya.
"Makasih, mas."
"Tunggu!" Aira yang hendak membuka pintu langsung menoleh ke arah suaminya.
"Ke sini dulu," titah Aryan menggerakkan telunjuknya.
Aira segera mendekat dengan ekspresi serius. Apa ada yang salah?
"Kenapa, mas?"
Seketika Aryan langsung membisu karena tak tau mau mengatakan apa. Ia reflek menahan istrinya, padahal tak tau tujuannya apa.
"Mas?"
"20 menit aja ya," ucap Aryan lalu mengelus kepala Aira sembari menatap ke arah lain. Tentunya hal itu membuat Aira tersenyum, karena tindakan kecil yang dilakukan suaminya.
"Siap, pak suami." Setelah itu, Aira pun keluar dari ruangan, meninggalkan Aryan yang sedang mengatur nafas.
"Apaan sih?" gerutu Aryan mengusap wajahnya, lalu tersenyum tipis.
Ada-ada saja.
Di sisi lain.
Diana baru saja pergi dari area perumahan Aryan dan Aira. Ia tak menemukan apa-apa karena pagar rumah di tutup rapat. Tak mungkin juga ia memaksa masuk, bisa kacau nanti urusannya.
"Hah, gimana sih cara mastiin kondisi Aira! Dari tadi gak keliatan batang idungnya! Apa udah jadi gila ya?" gumam Diana melajukan mobilnya dengan kecepatan biasa.
"Ini kan jalan ke kantornya Iyan. Kayaknya aku mau liat Iyan dulu deh, siapa tau dia lagi di depan. Kangen banget," ucap Diana ketika merasa familiar dengan jalan yang ia lalui sekarang.
Diana menghentikan mobilnya tak jauh dari kantor Aryan. Ia mencari-cari, siapa tau ada Aryan di depan kantor.
Saat mencari, kening Diana seketika berkerut saat melihat sosok yang ia cari-cari sedari tadi.
"Aira? Itu beneran Aira? Kok dia gak gila?" gumam Diana mulai merasa khawatir. "Gak mungkin! Harusnya Aira udah gila! Gak mungkin sihirnya balik ke mama!"
Diana merasa ini tak adil. Ia merasa takdirnya begitu jahat dan takdir Aira begitu baik. Ia benci wanita hamil itu!
"Dia juga bisa ke kantornya Iyan, padahal cuma aku yang boleh di kenal sama orang-orang kantor!"
Diana benar-benar kesal dan berniat turun dari mobil, namun ponselnya berbunyi membuat ia mengurungkan niatnya.
"Papa?"
"Halo, pa."
"Na, cepat ke rumah sakit, nak."
"Kenapa, pa? Mama baik-baik aja kan?"
"Kamu ke sini aja, Na. Papa gak bisa bilang dari hp. Cepat ya, Na." Setelah itu, panggilan berakhir, membuat Diana semakin panik.
Diana pun melajukan mobilnya menuju rumah sakit, mengabaikan amarahnya pada Aira sejenak. Namun, ia akan membalas Aira nanti, apalagi jika terjadi sesuatu pada ibunya.
Beberapa menit kemudian, Diana langsung berlari ke ruang rawat ibunya, saat ia sudah sampai di rumah sakit.
"Pa! Mama kenapa?" tanya Diana langsung menghampiri papanya.
"Mama kamu, Na, mama kamu."
"Iya, pa, mama kenapa? Mama dimana? Kenapa gak ada di kamarnya?"
"Mama kamu udah meninggal, Na." Pak Herman langsung menangis saat mengatakan itu, membuat Diana seketika ikut histeris.
"Gak mungkin! Mama gak mungkin meninggal!" teriak Diana mencari-cari mamanya di ruang rawat.
"Udah, Na, udah. Mama udah gak ada," ucap pak Herman berusaha menenangkan putrinya.
"Mama meninggal kenapa, pa? Mama sakit apa? Mama! Jangan tinggalin Diana!" Diana menangis sejadi-jadinya, sembari memeluk sang papa.
Baru saja ia mengalami hal berat, kini ada lagi masalah berat yang harus ia hadapi. Ingin rasanya ia mengakhiri hidup menyusul mamanya. Sakit sekali rasanya.
"Kenapa takdir Diana buruk, pa? Kenapa! Kenapa mamanya Diana pergi? Kenapa Mama ninggalin Diana? Kenapa?!! Diana salah apa, pa? Salah apa!"
padahal bagus ini cerita nya
tapi sepi
apalagi di tempat kami di Kalimantan,
jadi harus kuat kuat iman,jangan suka melamun
ngk segitunya jgak kali
orang tuanya jgk ngk tegas sama anak malah ngikutin maunya anak
emak sama anak sama aja
si aryan pun ngk ada tegasnya
.