Kisah berawal dari gadis bernama Inara Nuha kelas 10 SMA yang memiliki kutukan tidak bisa berteman dengan siapapun karena dia memiliki jarum tajam di dalam hatinya yang akan menusuk siapapun yang mau berteman dengannya.
Kutukan itu ada kaitannya dengan masa lalu ayahnya. Sehingga, kisah ayahnya juga akan ada di kisah "hidupku seperti dongeng."
Kemudian, dia bertemu dengan seorang mahasiswa yang banyak menyimpan teka-tekinya di dalam kehidupannya. Mahasiswa itu juga memiliki masa lalu kelam yang kisahnya juga seperti dongeng. Kehadirannya banyak memberikan perubahan pada diri Inara Nuha.
Inara Nuha juga bertemu dengan empat gadis yang hidupnya juga seperti dongeng. Mereka akhirnya menjalin persahabatan.
Perjalanan hidup Inara Nuha tidak bisa indah sebab kutukan yang dia bawa. Meski begitu, dia punya tekad dan keteguhan hati supaya hidupnya bisa berakhir bahagia.
Inara Nuha akan berjumpa dengan banyak karakter di kisah ini untuk membantu menumbuhkan karakter bagi Nuha sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Hidupku Seperti Dongeng
"Ayo Pak, kita berangkat," perintah Naru yang telah rapi dan bersiap menjemput Nuha.
"Tuan...," sahut sopirnya lirih.
Naru pun melihat. Ternyata, bodyguard dari Kakek Hisyam menghadang dan tidak memperbolehkan Naru pergi. "Ada apa ini, kakek?" Tanya Naru.
"Berhentilah berurusan dengan gadis itu, Naru. Kamu sudah punya Naomi!" Tegas kakeknya.
"Ck!"
.
.
.
"Mana ya Naru? Ini udah setengah tujuh, dia kok belum datang. Katanya mau datang lebih pagi, aku bisa terlambat donk kalo gini. Apa dia hanya bohongin aku, hmm?" kata Nuha, masih anteng menunggu di teras rumahnya.
"Ayo, kemari! Bareng Kakak aja kalau gitu," ucap Muha yang sudah selesai memanasi motor.
Nuha berjalan mendekat dan patuh, "Baiklah." Gadis itu langsung membonceng miring, tapi pantatnya belum menyentuh jok, kakaknya malah mencegahnya, "Tunggu dulu."
"Eh?"
"Kalau kamu mau bonceng Kakak, bekal itu harus buat Kakak," ucap Muha dengan mata menyipit dan jari telunjuk yang terus menunjuk-nunjuk bekal makan di dalam paperbag di tangan Nuha.
"Mana boleh!" Bantah Nuha. Dia menarik mundur tudung jaket kakaknya hingga dia merasa tercekik. "Inikan buat Naru!"
"Iya iya iya, udah naik! Ayo berangkat!"
Mereka pun berangkat, tapi hati Nuha masih gusar.
Ayah melihat dari balik jendela kamarnya. Tatapannya tenang tapi terlihat seperti tertekan. "Apa yang telah kulakukan pada putriku...," gumamnya pelan.
Sementara itu, di jalan menuju sekolah, Nuha dan Muha terjebak kemacetan. Nuha mulai gelisah, menggoyang-goyangkan kakinya. "Kak, kita bisa sampai gak sih?" tanya Nuha khawatir.
"Tenang aja, Nuha. Kita bakal terlambat kok kalo gini terus," kata Muha berusaha menenangkan adiknya dengan kata-kata ambigunya.
"Tenang gimana? Kalo aku terlambat bakal dihukum guru donk. Kakak ini gak peduli ya sama aku?!" Nuha kesal dan kembali menarik tudung jaket kakaknya dengan kedua tangan. Keseimbangan mereka pun hampir saja membuat mereka jatuh.
"Adududuh, kamu ini udah punya pacar masih suka kasar sama Kakak. Gimana kalau dia tahu kamu sekasar ini, heh?!"
"Ja- jangan bilang pacar!" Muka Nuha langsung merah menahan malu. "Panggil aja dia Naru, gitu," ucapnya dengan bibir manyun.
"Oohh, mau main sembunyi-sembunyian hubungan ya dari kakak? Okelah. Kakak akan terus mengawasimu supaya dia gak berani deketin kamu"
"Kakak ini apaan sih! Kalopun kakak mengawasiku, dia juga gak bakalan deketin aku. Aku suka kalo dia menjaga jarak gitu," jedanya sejenak, "hehe..." Nuha memainkan jari telunjuknya.
"Hubungan macam apa itu..." Muha memiringkan bibirnya. Lalu mulai berjalan lagi.
Sampai di sekolah, Nuha melihat Naru keluar dari mobil bersama seorang gadis. Gadis itu menggandeng tangan Naru ketika mereka berjalan menuju gerbang sekolah.
"Emm..." Nuha langsung menurunkan pandangannya. Kak Muha tahu itu, tapi dia lebih memilih diam.
Nuha memberikan bekal makanannya kepada Kak Muha tanpa memberi alasan apapun. "Maksudnya apa Nuha?" tanya Muha pura-pura tidak mengerti.
"Udahlah, kak." Lalu, Nuha berjalan menuju kelas. Dia mengeluh, "Aku jadi lemes gini. Emm.. sudahlah."
Di dalam kelas, Nuha mencoba tenang. "Aku harus fokus belajar, gak usah mikir yang aneh-aneh." Namun, bayangan-bayangan mengerikan dari mimpi buruknya malah menghantui pikirannya. "Apaan sih yang aku pikirin...," geramnya seraya menekan kepalanya ke bawah.
Di tempat lain, di rumah.
Ayah Nuha, Mahesa duduk di ruang kerjanya, memandangi gambar-gambar dongeng yang pernah ia buat. Rasa penyesalan terus menghantui pikirannya. Ia merasakan beban berat di dadanya, tahu bahwa apa yang telah ia lakukan selama ini salah.
"Aku harus mengubah ini semua," gumam Mahesa. "Aku harus segera menyelamatkan Nuha. Tidak perlu cerita yang panjang."
Dia bangkit dari kursinya dan mengambil buku ajaibnya. Buku itu berisi kisah dan gambar tentang dongeng yang dia buat untuk putrinya. Dengan tekad yang kuat, Mahesa memulai dengan membuka tiap halaman dan mulai menulis.
Nuha diam saja ketika pelajaran berlangsung. Telinganya mendengar dan tangannya mencatat. Alih-alih terlihat fokus, tapi pikirannya kemana-mana.
Naru yang berbohong menjemputnya sekolah, rasa penasaran tentang Ibunya Fani, bayangan-bayangan alam bawah sadarnya dan gadis yang bersama Naru tadi, membuat kepala Nuha semakin pusing.
"Ayo please fokus... jangan sampe pusing... aku gak mau panik... ayo sabar Nuha... sabar...," ucapnya terus menerus seperti merapal mantra.
Sampai akhirnya, jam pulang pun tiba. Nuha keluar kelas dan ingin segera pulang. Dia menunggu kakaknya dan berharap bisa bertemu dengan Naru sebelum kakaknya datang. Tapi, tidak ada Naru di mata galaksinya yang melihat.
Nuha kembali menundukkan kepalanya, kecewa. Hatinya berdesir, perasaan campur aduk antara marah dan sedih. Dia merasa ditinggalkan oleh seseorang yang ia percaya.
"Aku kira dia benar-benar peduli...," batinnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Aku mencoba berfikir positif mungkin dia sakit atau ada masalah di rumah, tapi ternyata dia berangkat sekolah bersama cewek itu lagi. Katanya, aku tidak perlu khawatir, tapi sekarang apa? Hatiku sakit."
Muha melihat perubahan raut wajah adiknya dan merasa khawatir. Dia tahu betapa dalam perasaan Nuha terhadap Naru. Meskipun kadang menggoda, Muha sangat peduli pada adiknya dan tidak ingin melihatnya terluka.
"Udah, ayo pulang. Mau jajan dulu gak?" Tawar Kak Muha.
"Enggak," jawab Nuha langsung.
"Salah deh gue." Lalu, kak Muha berfikir lain. "Jajan dulu yuk, Kakak punya tempat yang bagus buat jajan," ucapnya mencoba menghibur.
"Enggak ya enggak!" Nuha kesal sampai menendang kaki kakaknya sendiri.
"Astaga, galak bener monster kecil ini."
Saat mereka berjalan pulang, pikiran Nuha terus melayang. Bayangan Naru dan gadis yang bersamanya terus muncul di benaknya. Dia merasa cemburu, marah, dan sedih sekaligus. Semua perasaan itu bercampur, membuatnya semakin tidak tenang.
"Aduuhh... lemah banget sih aku! Gitu aja kok," jedanya. "cem- buru...," ucap Nuha semakin pelan, nyaris tidak terdengar untuk kata yang terakhir.
Nuha sampai di rumah dengan perasaan yang masih kacau. Dia langsung menuju kamarnya dan mengunci pintu. Air mata yang tadi ia tahan kini mengalir deras. "Kenapa semuanya jadi begini? Kupikir, hari ini akan menjadi awal yang baik. Dasar Naru nyebelin. Giliran aku berharap banyak dia kok malah ngilang" isaknya pelan.
Malam itu, Nuha berusaha tidur dengan pikiran yang masih penuh dengan kekhawatiran. Dia tahu perjalanan ini belum berakhir dan masih banyak yang harus ia hadapi.
"Aku gak harus mikirin terlalu dalam. Tapi, hanya gara-gara itu, hariku jadi terasa sangat sepi. Mungkin besok Naru akan menjelaskannya kepadaku," gumamnya mencoba untuk berfikir positif.
Nuha mengalihkan kegelisahannya dengan menggambar. Dia mulai menyiapkan buku sketsa dan pensil warna yang sangat lengkap. Garis demi garis, coretan demi coretan, warna berganti warna, saling bersambung membentuk sesuatu.
Gadis itu, menggambar senyuman Naru yang tidak pernah dia lupakan. Senyuman pertama kali yang dia berikan ketika mengajak Nuha berkenalan. Nuha melihat, ada ketulusan dan kehangatan ketika mata teduh Naru memandang ke arahnya.
"Benar kata Asa, seharusnya aku pikir-pikir dulu sebelum aku jatuh terlalu dalam di perasaan ini. Tapi, apa sebenarnya arti dari kata mencintai?"
masih panjang kak perjalanannya ✍✍