Di kota kecil bernama Harapan Senja, beredar cerita tentang sosok misterius yang dikenal sebagai "Sang Brandal." Sosok ini menjadi legenda di kalangan warga kota karena selalu muncul di saat-saat genting, membantu mereka yang tertindas dengan cara-cara yang nyeleneh namun selalu berhasil. Siapa dia sebenarnya? Tidak ada yang tahu, tetapi dia berhasil memenangkan hati banyak orang dengan aksi-aksi gilanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xy orynthius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 31
Kai, Viktor, dan Zed bersembunyi di bangunan tua itu, sementara di luar, Kota Auriel terus bergeliat dalam kegelapan malam. Suara angin yang menggoyang ranting-ranting pohon di luar gedung tua itu menambah kesan mencekam, seolah menggambarkan ketidakpastian yang mereka hadapi. Meskipun mereka berhasil lolos dari kejaran Volkov, rasa aman masih jauh dari mereka.
Kai berjalan mondar-mandir, pikirannya berkecamuk mencari cara untuk menghadapi situasi ini. Dia tahu bahwa waktu mereka semakin sedikit, dan mereka harus segera bertindak jika ingin selamat.
“Kita perlu mempersiapkan rencana yang matang,” kata Kai dengan nada serius, menghentikan langkahnya di depan Zed dan Viktor. “Volkov pasti sudah tahu kita berhasil lolos. Mereka akan segera melacak kita ke sini.”
Viktor mengangguk, matanya tajam seperti biasa. “Kita harus menciptakan pengalihan. Buat mereka berpikir kita sedang dalam perjalanan ke tempat lain, sambil kita merencanakan serangan ke markas mereka.”
Zed, yang duduk dengan laptop di pangkuannya, terus mengetik dengan cepat. “Gue bisa set up sinyal palsu dari gedung ini, bikin seolah-olah kita lagi bergerak ke arah utara. Kalau kita beruntung, mereka bakal terpancing.”
Kai menatap Zed dengan penuh harap. “Lakukan. Kita butuh waktu sebanyak mungkin untuk mempersiapkan diri.”
Zed mulai bekerja, menyambungkan berbagai perangkat untuk membuat jejak elektronik palsu. Sementara itu, Viktor mengumpulkan peta-peta dan denah gedung yang mereka miliki, mencoba menemukan titik lemah dalam sistem pertahanan Volkov.
“Kita perlu semua yang kita punya,” Viktor berkata sambil menelusuri peta-peta tersebut. “Senjata, amunisi, dan kalau perlu, bom untuk menghancurkan instalasi mereka.”
Kai setuju. “Kita butuh sesuatu yang besar untuk memberi mereka kejutan. Tapi yang terpenting, kita harus memastikan kita keluar dari sini hidup-hidup.”
Saat mereka berencana, suara langkah kaki yang mendekat tiba-tiba terdengar di lantai bawah gedung. Kai langsung memberikan isyarat agar mereka tetap diam. Suara itu semakin mendekat, semakin jelas di telinga mereka.
“Mereka mungkin sudah menemukan kita,” bisik Viktor, meraih senjatanya.
Kai memberi isyarat agar mereka tetap tenang. Mereka harus berhati-hati dan menunggu. Jika mereka menyerang terlalu cepat, mereka akan kehilangan kesempatan untuk mengintai musuh mereka.
Pintu di lantai bawah berderit terbuka, dan suara langkah kaki terdengar semakin dekat. Kai melirik Zed, yang mengangguk pelan. Zed mengaktifkan salah satu perangkat yang dia bawa, dan seketika suara lain muncul dari lantai sebelah, seolah ada seseorang yang bergerak di sana.
Langkah kaki itu berhenti sesaat, lalu mulai bergerak ke arah suara itu. Kai mengisyaratkan Viktor dan Zed untuk bergerak. Dengan senyap, mereka keluar dari ruangan dan bergerak menuju tangga darurat yang ada di sisi lain gedung.
Saat mereka sampai di bawah, Kai berhenti sejenak, mengintip melalui celah pintu. Tiga orang bersenjata dari Volkov tampak berjalan menuju arah lain, teralihkan oleh suara yang dibuat Zed.
“Sekarang!” bisik Kai, dan mereka bertiga bergerak cepat, melewati pintu keluar dan melarikan diri ke arah yang berlawanan.
Mereka berhasil keluar dari gedung dan berlari menuju mobil yang sebelumnya mereka tinggalkan. Di dalam mobil, Zed dengan cepat mematikan perangkat yang dia gunakan untuk menipu orang-orang Volkov, memastikan mereka tidak meninggalkan jejak.
“Kita berhasil keluar tanpa diketahui,” kata Zed, terdengar lega.
“Untuk saat ini,” jawab Kai, menyadari bahwa mereka masih dalam bahaya. “Tapi kita harus terus bergerak. Kita akan pergi ke titik pertemuan berikutnya.”
Viktor menyalakan mobil dan mulai mengemudi, meninggalkan gedung tua itu di belakang. Mereka melaju melalui jalan-jalan sepi di Kota Auriel, mencoba memikirkan langkah selanjutnya.
“Kita harus menyerang malam ini,” kata Kai akhirnya. “Semakin cepat kita bertindak, semakin besar kemungkinan kita berhasil.”
Viktor mengangguk setuju. “Markas Volkov di distrik barat, dekat pelabuhan. Itu tempat yang paling mungkin jadi sasaran.”
“Kita bisa masuk lewat jalur air,” Zed menambahkan, menunjukkan rute di peta. “Dengan cara itu, kita bisa menghindari penjagaan di pintu depan.”
Kai mempertimbangkan usulan itu. “Baiklah. Kita masuk lewat jalur air dan hancurkan instalasi mereka. Jika kita bisa menghancurkan pusat komando mereka, kita bisa mengguncang kekuasaan Volkov.”
Perjalanan mereka terus berlanjut, dan seiring waktu berjalan, malam semakin larut. Mereka akhirnya tiba di dermaga tua yang sudah lama tak terpakai, di mana mereka menemukan perahu kecil yang cukup untuk membawa mereka menyusuri sungai menuju markas Volkov.
Setelah memastikan perahu itu dalam kondisi baik, mereka bertiga melompat masuk dan mulai menyusuri sungai dengan tenang, bergerak perlahan menuju tujuan mereka.
“Semua ini berakhir malam ini,” kata Kai pelan, tapi penuh tekad.
Perjalanan di atas sungai itu terasa seperti berjalan di tengah kegelapan yang tak berujung. Hanya suara air yang membentur sisi perahu yang menemani mereka, membuat suasana semakin mencekam. Namun, di dalam hati Kai, ada ketenangan yang tumbuh—keyakinan bahwa mereka akan berhasil, apapun yang terjadi.
Saat mereka mendekati distrik barat, lampu-lampu pelabuhan mulai terlihat dari kejauhan. Markas Volkov tampak sebagai siluet gelap yang menjulang di antara bangunan-bangunan lain. Kai, Viktor, dan Zed tahu bahwa mereka akan segera berhadapan dengan musuh yang jauh lebih besar dari apa yang mereka bayangkan.
Mereka menepi di sebuah dermaga tersembunyi, mengikat perahu dan bergerak cepat menuju markas. Jalan masuk melalui jalur air memberi mereka keuntungan—mereka tidak terdeteksi oleh para penjaga yang sibuk mengawasi pintu utama.
“Ini dia,” bisik Viktor saat mereka tiba di dekat gedung utama. “Kita harus masuk ke dalam dan mengatur bahan peledak di titik-titik yang sudah kita tentukan.”
Kai mengangguk. “Ingat, kita hanya punya satu kesempatan. Setelah kita masuk, kita tidak boleh mundur.”
Mereka mulai bergerak dengan hati-hati, masuk melalui pintu belakang yang tidak dijaga. Zed, dengan keahliannya dalam teknologi, mulai meretas sistem keamanan, memastikan mereka bisa masuk tanpa menyalakan alarm.
“Jalan terbuka,” kata Zed dengan suara rendah. Mereka mulai masuk lebih dalam ke markas Volkov, melalui lorong-lorong gelap yang dipenuhi oleh peralatan dan dokumen. Suara langkah kaki mereka hampir tidak terdengar di atas lantai beton yang dingin.
Setiap kali mereka mendekati persimpangan, Viktor berhenti sejenak, mendengarkan dengan seksama. Mereka tahu bahwa satu langkah yang salah bisa mengungkap posisi mereka. Tapi untungnya, mereka berhasil menghindari penjaga dan terus bergerak ke dalam.
Akhirnya, mereka sampai di pusat komando—ruangan besar yang penuh dengan monitor, peta, dan peralatan canggih lainnya. Di tengah ruangan, ada meja besar yang dikelilingi oleh beberapa orang berpakaian hitam, berbicara dengan suara pelan.
“Kita harus bertindak cepat,” bisik Kai, memberi isyarat pada Viktor untuk memasang bahan peledak. Mereka bergerak dengan cepat dan efisien, menempatkan bahan peledak di bawah meja dan di titik-titik lain di ruangan itu.
Sementara Viktor bekerja, Zed meretas sistem komputer, mencoba mengumpulkan data yang mungkin berguna untuk mereka. “Gue menemukan rencana operasi besar yang akan dijalankan Volkov minggu depan,” kata Zed, matanya terpaku pada layar komputer. “Kita harus menghentikan ini sekarang.”
“Kita akan menghentikan mereka,” jawab Kai dengan tegas. “Buat salinan data itu dan siapkan bahan peledak terakhir. Kita akan segera pergi dari sini.”
Mereka bergerak dengan cepat, menyelesaikan pekerjaan mereka. Viktor memberikan sinyal bahwa semua bahan peledak sudah siap, dan mereka bersiap untuk mundur.
Namun, saat mereka akan keluar, pintu ruangan terbuka, dan salah satu penjaga masuk. Dia menatap mereka dengan mata terbelalak, sadar bahwa ada penyusup di dalam.
“Alarm! Ada penyusup!” teriak penjaga itu, berlari menuju panel alarm.
Kai bereaksi cepat, menembak penjaga itu sebelum dia bisa menekan tombol alarm. Tapi teriakan itu sudah cukup untuk membuat seluruh markas dalam keadaan siaga.
“Lari! Sekarang!” teriak Kai, dan mereka bertiga langsung melesat keluar dari ruangan, berlari melalui lorong-lorong yang sekarang dipenuhi oleh suara sirene yang memekakkan telinga.
Mereka berlari secepat mungkin menuju pintu keluar, dengan suara langkah kaki para penjaga yang semakin dekat.