NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

AKU BUTUH KAMU

YESHA menatap orang tua Gissele yang melihatnya penuh pengharapan. Lalu matanya beralih pada gadis di atas ranjang rawat rumah sakit, penuh dengan alat bantu yang menusuk tubuhnya. Suara elektrokardiogram terdengar putus putus memenuhi langit langit ruangan, menandakan bahwa tubuh yang terbaring tak berdaya di atas ranjang itu masih bernyawa.

“Karena merkuri itu menyebabkan komplikasi pada Gissele sejak setahun lalu, dia mengalami kerusakan ginjal dan hati. Dan baru hari ini dokter bilang kalau otaknya mulai terkena gangguan, lama lama tidak akan berfungsi lagi, dan kemungkinan terburuknya…” Mama Gissele menyeka pipi, tidak sanggup meneruskan kalimatnya.

Yesha menunduk, tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya ikut sakit mendengar seburuk apa kondisi Gissele saat ini. Wajah Zara melintas, dan Yesha benar benar marah membayangkannya saja.

“Yesha, tolong Gissele, Nak. Dia membutuhkan kamu buat bertahan lebih lama.” Mama Gissele mulai terisak lagi, menyentuh lengan Yesha, memohon dengan sangat. Disampingnya, papa Gissele memeluk bahunya, berusaha menenangkan.

“Yesha nggak bisa bantu banyak, tante.” Sahut Yesha punuh sesal.

“Bantu Gissele supaya sadar saja, Nak, dia sering sekali menyebut nama kamu.” Papa Gissele berkata.

Yesha termangu. Pikirannya berperang hebat. Kenapa banyak sekali yang terjadi dalam hidupnya hari ini?

“Kamu harus ada disisi Gissele…tante dan om mohon sama kamu…”

“Yesha udah punya pacar, tante…om, Yesha gak bisa selalu ada buat Gissele.” Yesha menggeleng berat, penuh penyesalan.

“Tapi dia lebih membutuhkan kamu. Selain kami orang tuanya, Gissele juga butuh kamu, Nak.”

Hening.

Detik jam terus berlalu. Sudah pukul setengah sebelas malam. Jam terasa merangkak menunggu keputusan Yesha.

Tapi akhirnya lelaki itu mengangguk, membuat kedua orang tua Gissele menghela napas lega.

“Yesha coba hari ini ya, tante, tapi Yesha gak bisa janji buat selalu ada nemenin Gissele.” Putus Yesha akhirnya.

Tapi itu sudah lebih dari cukup bagi kedua orang tua Gissele. Mereka mengangguk menerima keputusan itu.

Setelahnya Yesha berjalan perlahan mendekati ranjang rawat Gissele. Kakinya rasanya lemas. Yesha paksakan untuk melangkah, menarik kursi, lantas duduk disana.

“Sel?” Panggil Yesha lembut. Napas gadis dihadapannya naik turun beraturan, matanya terpejam rapat. “Gissele?”

Astaga. Yesha membuang tatapan, matanya berkaca kaca. Ini sulit sekali. Dadanya sesak melihat Gissele dengan kondisi seburuk ini.

“Bangun, Sel, ini gue.” Yesha mulai meraih jemari Gissele. Dingin. Ia menghela napas berat, sungguh sungguh mengerahkan ikatannya dengan Gissele yang sempat terputus. “Ghayla, hei, ini aku, Yesha. Kamu gak mau ketemu aku?”

Sepuluh menit penuh tanpa terjadi apa apa setelah Yesha berusaha membangunkan Gissele.

Yesha menyerah. Ia tidak bisa melakukannya lagi.

Lelaki itu berdiri, kembali menghadap pada kedua orang tua Gissele, “Gak bisa tante.”

“Sekali lagi, Yesha…”

“Yesha nanti kesini lagi, tante, Yesha janji.”

Mendengar itu mama Gissele semakin terisak. Tapi karena bujukan suaminya, wanita paruh baya itu akhirnya mengangguk. Mengizinkan Yesha pergi untuk hari ini.

...***...

Tersisa satu jam sebelum pergantian hari.

Dan Yesha saat ini justru berdiri didepan rumah Nara, menatap pada jendela di lantai dua yang menghadap ke jalanan kompleks. Berharap sang pemilik kamar muncul dan Yesha bisa melihat wajah cantiknya. Tapi itu hampir mustahil, Nara pasti sudah tidur. Apalagi kondisinya belum baik sepenuhnya.

Kepala Yesha penuh. Raganya lelah sekali, batinnya lebih dari itu. Semua kejadian hari ini rasanya benar benar membuat seolah beban dunia kini ada dipundaknya. Yesha butuh tempatnya pulang. Ia sendirian disini, disaat orang lain berlomba menggulung diri dibalik selimut, menghalau udara dingin yang menusuk kulit, Yesha justru berdiri disini. Sendirian, penuh kesedihan dan rasa kecewa. Nyaris tidak kuat menompang berat tubuhnya sendiri. Ia lelah. Sangat lelah.

Yesha mengeluarkan ponsel, mencoba memberitahu sesuatu pada seseorang yang ia harap ada disini bersamanya sekarang.

Yesha menghela napas berat. Rongga dadanya rasanya penuh sesak oleh rasa kecewa, takut, dan khawatir. Dan baru saja Yesha berniat pulang setelah lima belas menit berdiri disini, pintu gerbang dihadapannya terbuka dari arah dalam. Langkah Yesha urung.

Agatha muncul dari dalam sana.

“Masuk, Yesha, dingin lho diluar.”

Yesha tertegun sesaat, lalu menggeleng. “Nggak usah, Kak, udah mau pulang kok, tadinya pengen ketemu Nara, tapi kayaknya udah tidur juga ya.”

Agatha tersenyum prihatin, ia tahu Yesha dan Nara sedang bertengkar—tanpa tahu penyebabnya. “Justru Nara yang nyuruh kamu masuk.”

Lagi. Yesha tertegun kedua kalinya. Ia tidak salah dengar bukan?

Agatha mengangguk meyakinkan. “Beneran, kakak nggak bohong, daritadi dia ngeliatin kamu dari atas. Yuk, masuk, Sha, sekalian jengukin Nara, dia demam.”

“Demam?”

“Iya, tapi nggak parah kok, mungkin efek samping kebakaran plus ribut sama kamu.” Kata Agatha diakhiri kekehan. Ia bergurau.

Setelah menimbang satu dua kali, Yesha akhirnya mengangguk, mengikuti Agatha masuk kedalam rumah. Sedikit ragu, takut Nara masih marah padanya. Bagaimana kalau ucapan Agatha itu hanya karena kasihan padanya? Nara tidak menyuruhnya masuk, bahkan tidak mau bertemu Yesha. Bagaimana?

“Yesha agak biru biru gitu mukanya. Habis berantem ya?” Tanya Agatha saat mereka melintas diruang tamu.

Yesha hanya menjawab dengan senyum tipis. Membuat Agatha geleng geleng kepala.

“Kerjaan barunya, kan. Berantem, dia kira bagus kali. Keren.” Suara yang begitu familiar itu menyahut dari arah ruang tengah. Sempat membuat jantung Yesha berdebar khawatir.

“Wajar dong, Ra. Namanya juga cowok. Iya nggak, Sha?” Agatha membela.

Kekhawatiran Yesha tadi ditepis saat mereka tiba di ruang tengah. Agatha benar, Nara sepertinya yang menyuruhnya masuk. Gadis dengan piyama tidur merah muda itu terlihat bangkit dari sofa, berjalan menuju kamar tamu yang ada didekat tangga. Tapi sebelumnya Nara berbelok ke satu kamar lain di lantai satu, tepatnya kamar mamanya. Membuka pintu, melongok kedalam.

“Ma, Yesha nginep disini ya malam ini, tidur di kamar tamu.”

Agatha menyikut Yesha yang berdiri disampingnya. “Motornya masukin gih kedalam, jangan disimpen diluar.”

“B-boleh nginep disini, Kak?” Tanya Yesha ragu.

Agatha mengangguk, menyerahkan kunci gerbang. “Iyalah, lagian udah mau tengah malam, bahaya pulang jam segini. Sana masukin motor kamu. Nanti kunci gerbangnya simpen aja disini. Oke? Kakak ke kamar duluan ya, Yesha.” Agatha menunjuk nakas didekatnya.

Yesha mengangguk patah patah. “Makasih banyak, Kak.”

Agatha lantas berlalu menuju kamarnya.

Sebelum Yesha keluar lagi untuk memasukkan motornya, Varida muncul di ambang pintu. “Yesha sudah makan?”

“U-udah, Tante.” Yesha berbohong, tidak mau merepotkan.

Nara menatapnya tajam. Ia tahu Yesha bohong.

Dan melihat itu, Yesha nyengir kecil. Ia ketahuan. “Belum, Tan.”

Varida berdecak, “Kamu ini. Yasudah masukan dulu motor kamu, biar Nara siapin makanan untuk kamu ya. Gak boleh tidur dengan perut kosong, apalagi banyak pikiran.”

“Tapi Nara lagi sakit, kan?”

“Aku cuma demam, bukan lumpuh.” Kata Nara ketus, lalu berjalan menuju dapur.

Varida geleng geleng melihat itu, lantas tersenyum pada Yesha. “Tante istirahat duluan ya, Nak. Kamu jangan begadang terlalu larut, harus banyak istirahat, masalah apapun jangan terlalu dipikirkan, jiwa raga kamu butuh diistirahatkan, Yesha.”

Yesha tersenyum, rongga dadanya menghangat mendengar itu. “Iya, Tante, makasih banyak, maaf jadi ngerepotin.”

Varida melambai santai. Yesha tidak pernah merepotkan sama sekali. Pintu kamarnya lalu tertutup, beranjak tidur.

Suara gerung motor terdengar sementara Nara menyimpan piring berisi makan malam untuk Yesha dan segelas air putih di atas meja makan. Gadis itu duduk diseberang meja, menunggu, memainkan ponselnya. Ibu jarinya ragu membuka roomchat Yesha, ada empat pesan yang sebelumnya hanya Nara baca lewat notifikasi. Lantas ekor matanya menangkap Yesha baru saja selesai memasukkan motor, berjalan memutari meja, duduk perlahan diseberang Nara.

“Kamu udah makan?” Tanya Yesha basa basi, ia tahu Nara pasti sudah makan malam. Hanya tidak enak rasanya makan sendirian.

Nara mengangguk singkat, fokus pada ponselnya.

“Makasih ya, maaf ngerepotin kamu.” Yesha merasa tidak enak.

Nara menghela napas, menyandarkan punggung pada kursi. “Makan aja.”

Yesha diam sesaat. Sadar bahwa Nara masih marah padanya. Baiklah, Yesha tidak akan banyak bicara. Mulai menyendok makanan walaupun ia tidak berselera mengunyah maupun menelan apapun sekarang. Tapi demi menghargai kebaikan mama Nara, kakaknya, dan gadis itu sendiri, mau tidak mau Yesha merasa harus menghabiskan makan malamnya.

Nara yang ponselnya masih terangkat didepan wajah diam diam mencuri pandang, memperhatikan Yesha mulai makan. Satu dua kali lelaki itu terdiam, berhenti mengunyah, mungkin banyak pikiran berkelebatan dikepalanya. Lalu ia tersadar dari lamunan, kembali mengunyah, menyuapkan makanan, terdiam lagi. Begitu terus berulang ulang. Wajahnya banyak lebam dan luka luka yang Nara yakin sekali tidak diobati. Rongga dada Nara menyempit menyaksikannya. Astaga, apa yang dia lalui hingga keadaannya seburuk ini?

Sepuluh menit.

Makanan di diatas piring tandas, Yesha merapikan alat makannya. Nara spontan berdiri, memutari meja dan mengambil alih piring dan gelas dari tangan Yesha.

“Biar aku aja—”

“Tunggu dikamar aja.” Suruh Nara dingin, lantas tanpa menunggu reaksi Yesha ia berbalik menuju dapur, membawa alat makan yang sudah digunakan lelaki itu.

Sejenak Yesha memperhatikan punggung Nara hingga menghilang dibalik dinding dapur. Ia menghela napas, beranjak, berjalan gontai menuju kamar tamu yang sepertinya sudah dibereskan.

Benar. Ruangan itu sudah rapi. Yesha pernah menginap disini, dulu saat situasi hampir sama seperti ini. Dan sekarang ia kembali lagi setelah menyabet gelar sebagai pacar Nara. Kembali menginap disini.

Yesha duduk di ujung kasur, mengeluarkan ponsel, sebuah pesan dari Nara masuk.

Dan Yesha melihat gadis itu berjalan ke arahnya, membawa sebuah kotak P3K. Yesha tersenyum, ia tahu Nara akan selalu ada untuknya. Yesha juga tahu gadis itu masih mau marah padanya. Tapi rasa sayang didalam hatinya jauh lebih besar daripada rasa marah itu. Kemarahan dan kesedihan, bahkan rasa sakit ditubuhnya tidak sebanding dengan peduli dan cintanya pada Yesha. Lantas bagaimana Yesha bisa menyakiti gadis yang setulus ini mencintai dirinya?

Nara duduk didepan Yesha, menaruh kotak P3K disisinya, membuka benda itu dan mengeluarkan isinya.

“Liat sini,” Nara menyuruh, nada suaranya memang tidak seramah biasanya, tapi Yesha tahu gadis itu cemas melihat keadaan Yesha.

Berputarlah duduk Yesha, membuat dirinya dan Nara duduk berhadapan.

“Nggak diobatin?” Nara menuangkan obat merah pada kapas.

Yesha menggeleng. Mana sempat ia melakukannnya.

Nara menghela napas. Mulai mengobati luka di pelipis Yesha, di sudut bibirnya, dan sedikit di pipinya. Yesha meringis perih, sakit, tentu saja, membuat Nara mau tidak mau harus lebih hati hati menyeka dan mengoleskan obat merah pada luka luka kecil di wajah Yesha. Lalu pada buku buku tangan lelaki itu, lecet disana sini, kondisi fisiknya saja tidak begitu baik. Entah bagaimana hatinya.

Nara yang menunduk membuka plester diam diam menyeka pipi. Air matanya jatuh, rasa cemasnya sudah berlipat ganda. Melihat Yesha seperti ini, hatinya berdenyut sakit.

Yesha melihat itu. Melihat Nara diam diam berusaha menahan air matanya dengan susah payah, “Kenapa nangis?” Tanyanya pelan.

Nara menggeleng cepat, berusaha kuat. Ia menarik napas beberapa kali, memejamkan mata menahan buliran itu jatuh lagi. Lantas mengangkat wajah, memasangkan plester di pelipis Yesha pelan pelan.

Nara menutup kotak. Selesai.

Hening.

Nara menatap Yesha lekat. Lantas membawa lelaki itu kedalam pelukannya. Dan saat itulah diantara mereka tidak ada yang mampu menahan bendungan kesedihan dan air mata. Baik Yesha maupun Nara sama sama terisak pelan, saling menangis, saling memeluk erat, saling menumpahkan kesedihan dan seluruh beban dihati mereka.

“Maaf, Kei, a-aku minta maaf…”

“Don’t say anything, Yesha…just don’t say anything…”

Yesha menyurukkan kepalanya pada bahu mungil Nara, menumpahkan kesedihannya tanpa ragu. Membiarkan sang gadis melihat sisi terlemah dari diri seorang Yeshaka. Semakin sakit hatinya saat merasakan suhu tubuh Nara tidak senormal biasanya. Gadis itu demam, dan mungkin Yesha salah satu penyebab terbesar dari sakitnya.

Mereka mengurai pelukan setelah beberapa saat, saling menyeka air mata satu sama lain. Berusaha menormalkan suara dan menghentikan isakan.

“Aku udah tahu rahasia Zara yang waktu itu Gissele bilang, Kei.” Yesha menunduk, tidak sanggup rasanya menceritakannya lagi.

“Kamu tahu darimana?” Tanya Nara, sepertinya diantara mereka mulai menemukan titik terang.

“The diary.” Jawab Yesha singkat.

Nara terdiam lama. Kepalanya berdenyut sakit setelah menangis. “Can we talk about it later, Yesha?”

Melihat kondisi Nara yang sudah pucat, Yesha tahu gadis itu sedang tidak memiliki banyak tenaga untuk mendengarkan keluh kesah Yesha semalaman. Yesha menempelkan punggung tangannya di kening Nara, lalu pada pipinya, dan pada lehernya. Dia sungguhan demam, Yesha mengangguk. Mereka bisa membicarakan ini lain waktu.

“Kamu butuh banyak istirahat.” Yesha mengusap permukaan wajah Nara lembut.

Nara mengangguk. “Kamu juga pasti capek, kita ngobrol lagi besok.”

“Kamu masih marah, Kei?”

Nara diam. Jika kembali mengingat kejadian tadi, jelas Nara masih marah, tapi ini bukan situasi yang baik untuk itu. “Sedikit.”

“Maaf ya.”

“Udah jenguk Gissele?”

Yesha menggernyit bingung. “Kamu tahu darimana?”

Itu berarti sudah. Nara tersenyum tipis, teringat pesan mama Gissele. “Aku gak sengaja cek lokasi kamu tadi, kamu ada dirumah sakit, aku pikir emang lagi jengukin Gissele.”

Yesha mengangguk membenarkan. Tidak ada gunanya berbohong, toh Nara sudah tahu. Yesha yakin gadis itulah yang mengarsip pesan dari mama Gissele sebelumnya. Yesha masih bisa mewajarkan itu. “Maaf aku gak izin dulu ke kamu.”

Nara menghela napas, membiarkan Yesha menggenggam tangannya. “Gimana keadaannya?”

Yesha menggeleng, tidak mau membayangkannya. “Buruk.”

Entahlah Nara harus bereaksi seperti apa. Siapa yang tidak kasihan mendengar kondisi Gissele? Tapi kalau harus mengorbankan diri demi kebaikan gadis lain dan membiarkan Yesha bersamanya, Nara tidak yakin bisa menanggung sesakit apa rasanya.

“Udah nggak usah dipikirin, gak usah dibahas lagi, kamu butuh istirahat sekarang.” Yesha memotong jalan pikir Nara, “Udah mau lewat tengah malam, aku anterin ke kamar kamu ya?” Tawarnya.

“Aku bisa sendiri—”

“Aku mau mastiin kamu baik baik aja.” Sela Yesha. “Kamu demam, aku khawatir.”

Nara menatap Yesha. Sirat kedua mata lelaki itu jelas menunjukkan kecemasan yang nyata. Ia akhirnya mengangguk, membiarkan Yesha mengantarnya.

Yesha tersenyum, membantu Nara berdiri, memeluk bahunya dari samping lantas mereka mulai berjalan bersisian keluar dari kamar tamu. Melintasi ruang tengah, naik kelantai dua. Yesha membukakan pintu kamar Nara, memapahnya masuk dan memastikan gadis itu berbaring diatas kasur dengan benar, menyelimutinya.

Yesha duduk jongkok disisi kasur, mengusap kepala Nara lembut, tersenyum, mencium keningnya singkat. “Sleep tight ya.”

Nara mengangguk. “Maaf bikin kamu khawatir.”

“Maaf juga bikin kamu khawatir.” Balas Yesha penuh sesal, suaranya bergetar. “Maaf untuk banyak hal, Keinarra.”

Air mata Nara jatuh lagi, namun segera ia seka.

Melihat itu Yesha ikut menyeka ujung matanya yang berair. Cengeng sekali ia malam ini. Melihat Nara menangis membuat air matanya ikut meleleh. Yesha mengambil napas dalam dalam, tidak boleh menangis lagi. Lelaki itu tersenyum hangat pada Nara. “Aku ke kamar dulu ya.”

Nara mengangguk.

Yesha mengambil tangan Nara, mengecup punggung tangannya lembut. “I love you too the moon and back, Keinarra. I really do…”

 

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!