Medina panik ketika tiba-tiba dia dipanggil oleh pengurus pondok agar segera ke ndalem sang kyai karena keluarganya datang ke pesantren. Dia yang pernah mengatakan pada sang mama jika di pesantren sudah menemukan calon suami seperti kriteria yang ditentukan oleh papanya, kalang kabut sendiri karena kebohongan yang telanjur Medina buat.
Akankah Medina berkata jujur dan mengatakan yang sebenarnya pada orang tua, jika dia belum menemukan orang yang tepat?
Ataukah, Medina akan melakukan berbagai cara untuk melanjutkan kebohongan dengan memanfaatkan seorang pemuda yang diam-diam telah mencuri perhatiannya?
🌹🌹🌹
Ikuti terus kisah Medina, yah ...
Terima kasih buat kalian yang masih setia menantikan karyaku.
Jangan lupa subscribe dan tinggalkan jejak dengan memberi like dan komen terbaik 🥰🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Lima
Hari yang dinanti Medina hampir tiba. Persiapan pernikahannya dengan Hamam yang akan digelar secara mewah, tetapi privat itu sudah mencapai 90 persen. Ya, semuanya serba cepat, dan tak tanggung-tanggung. Mama Lila bahkan harus menggaet dua wedding organizer sekaligus untuk menyukseskan pesta pernikahan sang putri bungsu yang mendadak itu.
Selain dua WO, keluarga besar pun terlibat dalam persiapan resepsi pernikahan Medina dan Hamam. Mereka semua nampak kompak, seperti biasanya. Meski terkadang diwarnai dengan perdebatan kecil, tetapi semua akan berakhir dengan canda tawa.
"Udahlah, Om Bal. Kamu harus mengakui jika idemu itu masih kalah spektakuler dari ide Opa Attar," kata Aunty Lili.
"Enggak bisa begitu, Kak Lil. Ideku tetap lebih keren."
Terdengar Papa Mirza berdecak hingga mengalihkan perhatian mereka semua, para sahabat sekaligus sahabat Papa Mirza, dan Mama Lila.
"Iyain aja, lah, Aunty, biar Om Bal senang dan segera pulang. Kalau dia masih di sini, ngabisin nasi karena makannya banyak."
"Dih, sekelas CEO RPA Group takut kehabisan nasi. Hello, apa kata dunia persilatan tanah air, Bang Mirza!"
Mereka pun lalu tergelak bersama.
Malam hari menjelang hari H. Di saat semua orang sudah terlelap karena kelelahan, setelah seharian sibuk menyiapkan acara pernikahan Medina, gadis itu justru terjaga. Medina terbangun karena suara berisik dari dering ponsel yang lupa tidak dia matikan.
"Siapa, sih, tengah malam begini telepon?" Medina menggerutu sembari bangkit untuk mengambil ponsel yang tadi terlupa dan masih tergeletak di atas meja rias, setelah dia berkirim pesan dengan Hamam.
"Viko? Mau ngapain dia tengah malam buta telepon?"
Medina tak segera menerima panggilan telepon yang terus berbunyi itu. Gadis yang saat ini rambutnya dibiarkan acak-acakan itu malah memandangi layar ponselnya dengan dahi berkerut. Sepertinya dia masih menimbang-nimbang, apakah akan menerima panggilan dari sang mantan atau tidak.
"Terima aja kali, ya. Siapa tahu genting?" gumamnya sembari menggulir gambar ponsel berwarna hijau, ke atas.
"Halo, Din. Ini gue, Andrew."
Baru saja Medina menempelkan ponsel ke telinga, suara panik salah seorang teman Viko menyapa. Selanjutnya, Andrew menjelaskan pada Medina jika saat ini dia sedang dalam perjalanan untuk mengantar Viko pulang karena mantan kekasih Medina itu mengalami kecelakaan sewaktu ikut balapan liar yang digelar beberapa saat lalu.
"Lu bisa ke rumah Viko sekarang 'kan, Din? Kasihan dia, Din. Dia butuh support lu," lanjut Andrew.
"Memangnya, bagaimana kondisi Viko, Drew? Kalau kecelakaan, kenapa malah lu bawa pulang, dan bukannya ke rumah sakit?" Medina pun nampak panik, tetapi gadis itu masih dapat berpikir jernih lalu menanyakan kejanggalan yang dia rasakan.
"Kondisinya cukup parah, Din, tapi kami enggak mungkin membawa Viko ke rumah sakit. Karena polisi pasti akan turun tangan jika Viko masuk rumah sakit akibat kebut-kebutan dan kami semua bisa kena pasal."
Medina terdiam, mencerna ucapan Andrew.
"Kalau begitu, lu bisa bawa dia ke klinik atau ke dokter yang buka praktek secara pribadi 'kan, Drew?"
"Memang bisa, Din, tapi si Viko yang enggak mau. Lagian, tengah malam mana gerimis seperti ini 'kan, susah nyari dokter praktik pribadi yang masih buka."
Medina menghela napas panjang, mendengar jawaban Andrew. Sementara pemuda yang berada di seberang telepon, menghela napas kasar, dan nampak tidak suka karena Medina seolah bersikap biasa saja mendengar Viko mengalami kecelakaan.
"Ya, udahlah, Din! Kalau lu enggak mau ke sini, enggak apa-apa! Kalian berdua memang udah selesai! Jadi, apa pun yang terjadi pada Viko nantinya, itu udah bukan urusan lu lagi! Jangan pernah nyesel jika lu tiba-tiba mendengar kabar yang tidak mengenakkan tentang Viko!"
Setelah mengatakan demikian, Andrew mematikan panggilan secara sepihak. Sementara Medina yang nyawanya belum terkumpul seratus persen, segera bersiap. Gadis itu mengenakan hijab instan dengan cepat, tanpa mencuci muka terlebih dahulu. Setelah itu Medina menyambar kunci mobil lalu keluar dari kamar dengan tergesa.
bersambung ...
🌹🌹🌹
Yah, calon pengantin tengah malam mau kelayapan?
Hello,, sambil nungguin si Dina yang mau beraksi, yuk, kepoin dulu novel keren berikut :
Judul; Belenggu Talak Tiga
Author; Melisa
ya salam
sesuai janjiku, di akhir bulan ini aku umumkan siapakah penghuni ranking pertama yang kasih dukungan pada kisah Medina-Hamam. Dan ... pendukung teratas adalah Kak Greenindya 🥰
Untuk pemenang, silakan chat aku, ya, untuk kirim alamat lengkap. Insyaallah novelnya aku kirim pertengahan bulan Juni, karena masih dalam proses cetak 🙏
Buat kalian yang pengin meluk aku, eh.. meluk novelku, bisa hub aku, yah, via chat di sini atau yg sudah save nmr wa ku bisa langsung japri.
mksh banyak untuk kalian semua. lope sekebon 😘😘