Setelah sepuluh tahun, suamiku kembali pulang ke rumah. Dia ingin kembali hidup bersama denganku, padahal dia yang telah pergi selama sepuluh tahun dan menikah lagi karena menuduhku mandul.
Namun, setelah Petra pergi aku justru hamil. Aku merahasiakan kehamilanku hingga putriku lahir. Selama sepuluh tahun aku merawat Bella seorang diri.
Apa yang akan terjadi bila Petra mengetahui kalau Bella adalah darah dagingnya. Apakah aku harus menerima kembali kehadirannnya setelah sepuluh tahun.
Yuk! ikuti kisah dan perjuangan Kayla dalam cerita, Di Ujung Sesal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31.
Setelah akhirnya mengungkapkan apa yang aku ketahui atas kecelakaan itu, Bram menghubungi seseorang. Kukira dia menghubungi polisi melaporkan Petra. Tetapi dia malah menghubungi Petra.
Lama, Bram menunggu panggilannya diangkat. Setelah beberapa saat panggilan itu pun berbalas.
"Petra, apa ini hasil perbuatan kamu. Tega kamu mencelakai anak kamu sendiri! Tunggu sampai aku dapatkan kamu. Jangan pikir kamu akan bebas begitu saja. Kamu pengecut, melibatkan anak-anak." umpat Bram dengsn wajah merah padam.
Entah apa jawaban Petra dari seberang, wajah Bram memerah menahan emosi. Saat Bram mau bicara lagi panggilan telah terputus. Bram mengumpat tak jelas.
"Ada apa?" ucapku berusaha menenangkan suasana hati Bram.
"Petra mengakuinya. Dia malah mengancamku. Sepertinya dia ingin balas dendam."
Astaga, Petra benar-benar nekat masih tidak menyesal meski Bella telah turut jadi korban perbuatannya. Sungguh terlalu!
"Sebaiknya kita lapor polisi saja." saranku.
"Dia marah karena aku telah lapor soal kejadian di kantor. Petra ingin aku mencabut laporan itu."
"Gila, aku tidak menyangka Petra seperti itu."
"Dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkan kamu kembali, Kayla."
"Apa, Petra ngomong seperti itu?" beliakku spontan. Emosiku langsung meletup. Dia pikir aku ini apa, mau dia jadikan target ambisinya. Boleh-boleh saja dia berjuang untuk mendapatkan diriku lagi. Tapi adalah hak aku juga untuk menolak dan tidak seharusnya dia memaksakan keinginannya itu apa lagi dengan melakukan segala cara.
Aku bukan barang yang seenaknya diambil lepas begitu saja. Dibeli saat butuh dan dibuang setelah bosan. Padahal aku sudah berkali-kali menekankan tidak akan mau kembali lagi padanya kapanpun! Masih ngotot juga.
Jika Petra benar-benar mencintaiku dengan tulus harusnya dia mau melepasku berbahagia dengan siapapun yang yang menjadi pilihan hatiku. Bukan seperti ini, dia nekad dan cemburu setelah mengetahui aku dekat dengan Bram, sampai dia merencanakan sesuatu yang jahat dan putrinya sendiri juga ikut jadi korban.
"Sudah, sejak sekarang kita harus waspada. Petra tidak bisa kita abaikan begitu saja." ucapku resah.
"Kamu jangan khawatir, Kay. Aku sudah menempatkan beberapa orang untuk mengawasi Petra dan anak buahnya, selain polisi. Aku ingin lihat sejauh mana dia bisa bertindak." ucap Bram geram sebelum naik ke tempat tidur beristirahat.
"Iya, saat ini kamu fokus untuk kesembuhan kamu dulu. Aku tidak tega melihat kalian bertiga terbaring di rumah sakit seperti ini. Sekalipun luka kalian tidak parah tapi tetap saja aku khawatir." ucapku lirih.
"Makasih ya sayang. Support kamu sangat berarti bagi kami terutama aku." Bram menowel jariku dan tersenyum menggoda. Aku tau dia hanya hendak menghiburku. Aku tau lukanya tidak biasa. Tapi dia sengaja bertahan kuat hanya karena tidak ingin aku khawatir.
Aku menyelimuti tubuh Bram dengan selimut setelah melihatnya tertidur. Kukecup keningnya sebelum beralih ke Bella dan Alicia juga. Mereka bertiga ditempatkan dalam satu kamar.
Saat ini aku sendirian berjaga, karena bibi Mirah dan suaminya kusuruh pulang untuk istirahat di rumah. Kasihan pasangan itu pasti sudah lelah menjaga Bella dan Alicia.
Aku mengunci pintu dan sebelum menutup pintu aku melihat beberapa orang lelaki duduk berpencar di depan kamar rawat inap. Mereka menoleh padaku dan tersenyum. Seolah memberi kode semua aman dan baik-baik saja.
Apakah mereka orang yang dibicarakan Bram, tadi? Melihat gelagat mereka yang tidak mencurigakan seolah mereka adalah tamu pengunjung di rumah sakit ini, membuatku sedikit lega. Ada yang membaca koran, duduk di bangku taman, terlihat santai tapi waspada. Semua aksi mereka hanya penyamaran.
Aku juga akhirnya bisa tertidur dan terjaga ketika suster jaga datang untuk memeriksa dan memberi obat untuk mereka bertiga.
"Tekanan darah Bapak naik. Coba untuk rileks Pak dan banyak istirahat." ucap suster jaga saat memeriksa Bram. "Bagaimana lengannya, Pak, ada keluhan?" ucap suster lagi.
"Sejauh ini baik, Suster."
"Oke, suaminya tolong di jaga, Bu. Biar gak keluyuran." sindir suster itu. Aku tersenyum dalam hati mendengar ucapan suster jaga yang agak dingin itu. Terlebih saat bilang Bram, suamiku.
"Suster sudah menikah?" ucap Bram konyol membuatku kaget.Apa hubungannya?
"Belum, emang kenapa?" sahutnya dingin sambil mengisi dan memeriksa kertas laporan ditangannya.
"Pantasan masih cantik." goda Bram membuat mulutku menganga dan Bram mengedipkan matanya padaku. Susternya bukannya marah malah tersenyum. Mungkin sadar kalau sikapnya terlalu kaku dan dingin.
"Maaf ya, Pak. Bapak sih pasien nakal. Tadi kami dimarahi karena Bapak melarikan diri." ucapnya jujur. Mungkin maksudnya saat Bram ke ruanganku. Bram memang nekad juga.
"Kan, mau nengok istriku yang pingsan, Suster." ucap Bram membela diri.
"Yang sakit itu siapa, Bapak atau istri Bapak." suster itu menatap tajam. Benar-benar marah atau pura-pura.
"Sudah, Bang. Sudah salah masih ngeyel." Aku membela suster Rini. Dia tersenyum saat mendengar ucapaku.
"Suami Ibu keras kepala ya. Aku cuma bercanda, marahnya. Tapi soal aturan gak ya. Klo Bapak masih ketauan keluyuran saat masih dirawat tak kasih obat tidur aja sekalian." gelaknya. Aku jadi tertawa ngakak juga. Apalagi melihat ekspresi wajah Bram yang merasa di kerjain.
"Hai, adik-adik cantik. Bagaimana kabarnya sayang." Suster Rini langsung berubah ramah begitu berhadapan dengan Bella dan Alicia.
"Baik Suster." keduanya menyahut serempak.
"Oke, Suster mau kasih obat ya. Jadilah pasien yang baik dan penurut biar cepat sembuh. Papanya jangan ditiru ya, adik-adik." Suster Rini memeriksa Bella dan Alicia. Menuliskan catatan di kertas.
"Oke, Suster pamit, ya. Minum obatnya, biar lekas sembuh. Klo Bapak gak usah rajin minum obat, biar lama dirawat disini." Suster Rini pamit sambil tertawa.
"Hem, para suster godain kamu ya, Bram, baru juga beberapa jam disini." cebikku.
"Kamu cemburu ya." Kedip mata Bram mengerling lucu.
"Ih, ogah ah." tawaku berderai.
"Bener? Mending jadi pasien nakal aja, biar aku dikerubuti suster cantik."
"Ih, Papa genit." celetuk Alicia.
"Abis Tante gak sayang sama Papa lagi."
"Wek ... Papa sih ke geeran."
"Hem, berani ya godain, Papa. Tunggu klo dah sembuh, Papa sumpel pake cabe rawit." ucap Bram sambil menirukan orang kepedasan. Gelak tawa Bella dan Alicia tidak tertahan lagi.
Tapi tawa kami segera terhenti karena ponselku berdering. Nomor yang tidak dikenal. Aku mematikan ponsel.
"Kenapa gak diangkat?" selidik Bram.
"Salah sambung kali. Gak ada namanya." ucapku gak peduli. Tapi ponselku berdering lagi. Aku menatap Bram, karena panggilan itu masih dari nomor yang sama.
"Diangkat saja siapa tau ada hal penting." saran Bram. Aku pun akhirnya menerima telepon itu setelah agak menjauh dari mereka.
"Halo, aku mau bertemu kamu, Kay." Ternyata itu nomor Petra. ***