Ayra tak pernah menyangka bahwa hidupnya bisa seabsurd ini. Baru saja ia gagal menikah karena sang tunangan-Bima berselingkuh dengan sepupunya sendiri hingga hamil, kini ia harus menghadapi kenyataan lain yang tak kalah mengejutkan: bos barunya adalah Arsal—lelaki dari masa lalunya.
Arsal bukan hanya sekadar atasan baru di tempatnya bekerja, tetapi juga sosok yang pernah melamarnya dulu, namun ia tolak. Dulu, ia menolak dengan alasan prinsip. Sekarang, prinsip itu entah menguap ke mana ketika Arsal tiba-tiba mengumumkan di hadapan keluarganya bahwa Ayra adalah calon istrinya, tepat saat Ayra kepergok keluar dari kamar apartemen Arsal.
Ayra awalnya mengelak. Hingga ketika ia melihat Bima bermesraan dengan Sarah di depan matanya di lorong apartemen, ia malah memilih untuk masuk ke dalam permainan Arsal. Tapi benarkah ini hanya permainan? Atau ada perasaan lama yang perlahan bangkit kembali?
Lantas bagaimana jika ia harus berhadapan dengan sifat jutek dan dingin Arsal setiap hari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KAMI SUDAH MENIKAH
Rumah duka dipenuhi oleh para pelayat yang datang silih berganti. Namun, bagi Ayra, semua suara di sekelilingnya hanya terdengar sayup. Seakan-akan dunia kini menjadi sunyi, tak ada lagi kehangatan yang biasa ia rasakan setiap kali pulang.
Ayra duduk diam di kamarnya, diam memandang ke luar jendela. Sinar senja yang temaram seolah ikut merasakan kesedihannya, memantulkan bayangan yang samar di lantai rumah. Ia memang tak lagi menangis, tetapi tatapan kosongnya cukup untuk menunjukkan betapa hancur hatinya.
Jenazah abinya sudah dimakamkan tadi pagi. Hal yang bisa dilakukan Ayra adalah terus berdoa sambil memeluk foto abinya.
Di sampingnya, Helen menatap sahabatnya dengan cemas. Sesekali ia meremas jemari Ayra, berharap sentuhannya bisa memberikan sedikit ketenangan. "Ayra… kalau kamu butuh apa pun, bilang ya?" Kata Helen lembut.
Riana yang duduk di sebelah Helen ikut mengangguk. "Jangan dipendam sendiri, Ra. Kami di sini."
Ayra mengerjapkan mata, tetapi tetap tidak berkata apa-apa. Ia tahu teman-temannya peduli, tetapi hatinya masih terlalu sesak untuk merespons. Entahlah, ikhlas ditinggalkan orang yang disayang itu terlalu sulit.
Sementara Laras masih duduk di ruang tamu, berusaha tersenyum saat ada pelayat yang datang. Di sisi lain ruangan, Arsal masih berbincang dengan Haikal. Meski ekspresi pria itu tetap dingin dan tak terbaca, sesekali tatapannya melirik ke kamar Ayra.
"Terima kasih sudah datang, Pak Arsal," Ucap Haikal setelah menyesap teh yang disajikan oleh keluarga Ayra. "Saya tidak menyangka Anda akan datang."
Arsal tidak langsung menjawab. Ia mengamati keadaan rumah duka yang masih dipenuhi sanak saudara Ayra. Sementara itu, orang tuanya sudah pulang tadi siang.
"Akhirnya Bima datang juga. Saya kira dia nggak akan datang." Suara Haikal membuat Arsal ikut menatap dua orang yang baru datang.
"Ayra pasti terpukul sekali. Belum lama gagal nikah eh sekarang abinya meninggal. Mana Bima nikahnya sama sepupunya sendiri lagi." Lanjut Haikal.
Kedua lelaki itu masih mengamati Bima yang datang bersama istrinya itu. Tak lama kemudian, Arsal melihat Laras mengetuk pintu kamar Ayra. Tampaknya ibunya Ayra ingin Ayra keluar sejenak menyapa orang yang datang.
Benar saja, tidak lama kemudian Ayra keluar. Matanya masih begitu bengkak, walaupun tidak lagi menangis, namun wajah muram itu begitu terlihat. Perempuan itu tersenyum kecil dan langsung memeluk perempuan yang datang bersama Bima.
Sejauh ini, Arsal hanya mengamatinya dari jauh. Sementara itu, Haikal memperhatikan pria di hadapannya dengan penuh tanya. Haikal tampak menatap Arsal dan Ayra bergantian.
"Pak Arsal mau menemui Ayra dulu? Mengucapkan belasungkawa mungkin? Ayra tampak sangat terpukul."
Arsal menatap Haikal sejenak, lalu mengalihkan pandangannya lagi ke arah Ayra. Ia tidak perlu diberi tahu untuk menyadari itu. Tanpa menjawab, Arsal lalu ikut menghampiri Ayra yang kini sedang berbincang dengan Helen, Riana, Bima dan istrinya.
Bima menatap Ayyra dengan raut wajah penuh simpati. "Ayra… aku ikut berduka cita. Aku benar-benar minta maaf karena baru bisa datang sekarang."
Ayra tidak menjawab. Ia hanya menatap Bima datar. Lalu pandangannya teralih pada Arsal yang datang bersama Haikal. Ayra bahkan sempat lupa bahwa kini ia dan Arsal sudah menikah.
"Kalau butuh teman cerita, jangan sungkan ya, Ra." Suara Sarah membuat Ayra menoleh.
"Makasih, Sar." Jawab Ayra mengulas senyum tipis.
"Ayra, saya turut berduka cita, ya. Semoga abi kamu dilapangkan kuburnya. Kamu juga harus sabar ya." Ucap Haikal.
Ayra mengulas senyum lagi. "Makasih, Mas Haikal." Jawab Ayra.
"Kamu yang sabar, ya. Maaf aku-"
"Cukup, Bim. Jangan memperkeruh suasana. Lebih baik kamu dan Sarah pulang. Kasihan dia sepertinya butuh istirahat." Kata Ayra menyela ucapan Bima, membuat yang lainnya terdiam.
Arsal, yang sejak tadi diam, memperhatikan interaksi itu tanpa ekspresi. Namun, matanya sedikit menyipit saat melihat cara Bima berbicara kepada Ayra.
"Ra... Bagaimana pun juga kita sudah jadi keluarga. Bima perhatian ke kamu karena kamu adalah sepupunya juga." Sarah membela suaminya.
"Pulang aja, Sar. Terima kasih untuk perhatiannya." Kata Ayra pelan.
Sarah dan Bima akhirnya pulang. Sarah berjalan lebih dulu, sementara Bima tampak enggan walaupun akhirnya ikut mengekor di belakang Sarah.
"Mantan kamu aneh, Ra. Udah jadi mantan malah sok perhatian begitu. Kemarin-kemarin malah selingkuh, sama sepupu Ayra sendiri lagi." Ujar Riana menggerutu.
"Lo kesini bareng siapa, Sal? Nebeng pulang dong." Helen tiba-tiba bersuara.
"Sendiri." Jawab Arsal. Matanya menatap lurus pada Ayra yang masih menunduk.
"Eh kalian saling kenal?" Tanya Riana yang heran dengan cara bicara Helen pada Arsal.
"Ya kenal dong. Kita satu kelas jaman kuliah. Sama Ayra juga. Masa kalian nggak tahu, ini orang berdua satu alumni, satu kelas, satu geng pula." Jawab Helen menunjuk Arsal dan Ayra.
Pernyataan Helen membuat Haikal dan Riana saling pandang lalu sama-sama melihat Arsal dan Ayra bergantian. Sedangkan Arsal tampak tenang tidak terpengaruh dengan tatapan penuh tanya dari stafnya itu. Begitu pula dengan Ayra, jangankan membahas itu, berbicara dengan Arsal pun tidak setelah mereka akad.
"Kamu nggak tahu, Ri? Ayra nggak cerita apapun gitu?" Riana menggeleng mendengar pertanyaan Helen. "Ya udah sih, ya, yang penting udah tahu sekarang." Ujar Helen santai.
"Ini cincin baru, Ra? Bagus banget." Seru Riana tiba-tiba menunjuk cincin yang terpasang manis di jari Ayra.
Ayra panik. Ia awalnya ingin menyembunyikan tangannya, namun suara Arsal menginterupsi pergerakannya membuat mereka berempat menatap Arsal dengan kaget.
"Itu cincin pernikahan kami." Sahut Arsal lugas.
"Maksudnya cincin pernikahan kalian, kalian udah nikah?" Tanya Helen shock. Ia menatap Arsal dan Ayra bergantian.
Arsal mengangguk. Matanya menatap lurus pada Ayra yang juga menatapnya dengan canggung.
Helen menatap Arsal tidak percaya. Beragam pertanyaan muncul di otaknya. Begitu pula dengan Haikal. Lelaki itu tadi mengucapkan terima kasih kepada Arsal karena sudah menyempatkan diri datang ke tempat Ayra padahal itu wajar dilakukan sebagai menantu keluarga Ayra.
Setelah pernyataan Arsal tersebut, semuanya terdiam. Ayra bahkan bingung bagaimana menghadapi tatapan sahabatnya itu. Untuk sekarang ia seolah tidak bertenaga untuk menjelaskan apapun.
"Sal, gimana bisa? Kapan nikahnya?" Tanya Helen pada Arsal.
Arsal mengangkat bahunya. "Ya begitu. Kemarin akadnya." Jawab Arsal santai.
"Tapi Pak, bukannya kemarin Ayra masih rapat sama saya, ya? Kapan nikahnya?" Haikal yang sedari tadi diam ikut bersuara.
"Kemarin. Di depan abinya Ayra." Jawan Arsal masih dengan gayanya yang tenang.
"Ooh ini suaminya Ayra, ya? Ganteng banget." Tiba-tiba datang dua ibu-ibu yang menghampiri mereka. Tanpa bisa dicegah, mereka menepuk lengan Arsal.
"Iya, gantengan ini dari yang dulu, ya." Ibu-ibu yang tidak lain adalah tantenya Ayra itu berseru heboh.
Ayra dan yang lainnya menatap geli melihat Arsal yang tersenyum canggung pada dua perempuan paruh baya tersebut. Mata Arsal menatap Ayra seolah meminta tolong untuk menjauhkannya dari dua perempuan tersebut.
Ayra lalu berdiri dan mendekati Arsal. Bahkan dengan beraninya ia menggamit lengan Arsal. "Tante, Mas Arsalnya Ayra bawa dulu, ya. Dia mau istirahat." Ucap Ayra lalu mengajak Arsal ke kamarnya tanpa memperdulikan seruan tantenya itu.
"Ayra kok dibawa ke kamar sih? Masih sore ini!" Seru salah satu tantenya.
Pemandangan itu mengundang senyum kecil di wajah, Haikal, Helen dan Riana. Apalagi Helen, ia yang mengetahui bagaimana dulu Arsal dan Ayra semasa kuliah hingga akhirnya menikah merasa terharu, walaupun ia sendiri masih belum tahu bagaimana perasaan keduanya satu sama lain.