NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4: Abi Bertanya

#

Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya.

Larasati bangun dengan mata yang masih perih—efek dari begadang mengumpulkan bukti pengkhianatan suaminya. Tapi dia paksa dirinya untuk bangun, untuk tersenyum, untuk menjalani peran yang sudah dia mainkan bertahun-tahun: istri sempurna, ibu sempurna.

Dia turun ke dapur, menyiapkan sarapan. Pancake kesukaan Abimanyu—bentuk Mickey Mouse dengan blueberry sebagai mata dan stroberi sebagai hidung. Dulu, saat masih bahagia, Gavin selalu bilang dia "chef paling kreatif di dunia" saat melihat kreasi sarapannya.

Sekarang? Gavin bahkan jarang sarapan di rumah.

"Mama!" Abimanyu berlari turun tangga dengan seragam sekolah yang agak miring, rambut berantakan. Senyumnya lebar—senyum polos anak tujuh tahun yang belum tahu bahwa dunianya sedang runtuh.

"Sayang, pelan-pelan," kata Larasati, membetulkan kerah bajunya. "Sepatu belum dipake."

Abimanyu terkikik, duduk di kursi makan. Matanya berbinar melihat pancake. "Wah! Mickey Mouse! Makasih, Mama!"

Larasati mengusap kepala anaknya, merasakan kehangatan yang asing di dadanya yang sudah dingin. Abimanyu—alasan satu-satunya kenapa dia masih bertahan. Alasan kenapa dia belum berteriak, belum menghancurkan semua piring di rumah ini, belum menampar Gavin dan menuntut penjelasan.

"Papa mana?" tanya Abimanyu sambil mengunyah pancake.

Pertanyaan itu—pertanyaan sederhana yang dia tanyakan hampir setiap pagi akhir-akhir ini—membuat sesuatu di dada Larasati tercabik.

"Papa sudah berangkat, sayang. Ada meeting pagi," jawab Larasati, menuangkan susu cokelat ke gelas Abimanyu.

Itu bukan bohong sepenuhnya. Gavin memang sudah pergi—jam enam pagi, bahkan sebelum Abimanyu bangun. Tapi apakah dia benar-benar ke kantor? Atau ke apartemen Kiran, seperti yang Larasati baca di salah satu email mereka?

Abimanyu mengangguk pelan, tapi Larasati melihat sesuatu di matanya—kekecewaan kecil yang coba dia sembunyikan. Anak kecil yang mencoba mengerti kenapa papanya tidak punya waktu untuknya lagi.

"Mama," kata Abimanyu pelan, mengaduk susunya dengan sedotan. "Kenapa Papa sekarang jarang pulang?"

Larasati berhenti membersihkan dapur. Tangannya membeku di udara, spons masih di genggamannya, tetesan air sabun jatuh ke lantai.

"Maksud Abi?"

"Dulu Papa sering main sama Abi. Baca buku cerita sebelum tidur. Main bola di taman. Sekarang... Papa pulang udah malem. Abi udah tidur." Suara Abimanyu semakin kecil. "Papa... Papa gak sayang Abi lagi ya?"

Jantung Larasati seperti diremas. Dia berbalik menghadap anaknya, melihat mata cokelat besar itu—mata yang mirip Gavin, tapi masih penuh kepolosan—mulai berkaca-kaca.

"Sayang, bukan gitu," kata Larasati cepat, berlutut di samping kursi Abimanyu. Tangannya menggenggam tangan kecil anaknya yang masih lengket sirup maple. "Papa sangat sayang Abi. Papa cuma... Papa lagi banyak kerjaan. Perusahaan lagi sibuk."

"Tapi kenapa Papa gak bisa pulang cepet buat Abi?" Abimanyu menatapnya dengan tatapan yang membuat Larasati ingin menangis. "Temen-temen Abi, papa mereka bisa main bareng tiap hari. Kenapa Papa Abi gak bisa?"

Larasati tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana dia jelaskan pada anak tujuh tahun bahwa papanya sibuk dengan perempuan lain? Bahwa papanya memilih menghabiskan waktu di apartemen selingkuhannya daripada membaca buku cerita untuk anaknya?

"Papa kerja keras untuk kita, Abi," kata Larasati akhirnya, membenci dirinya sendiri karena harus berbohong lagi. "Supaya Abi bisa sekolah di tempat yang bagus, punya mainan, punya segalanya."

Abimanyu diam sejenak, lalu berkata dengan suara yang hampir tidak terdengar: "Tapi Abi gak butuh mainan banyak. Abi cuma mau Papa pulang."

Kata-kata itu menghantam Larasati seperti pukulan ke dada. Dia menarik Abimanyu ke pelukannya, memeluknya erat sampai dia bisa merasakan detak jantung kecil anaknya.

"Nanti Mama bilang Papa ya," bisik Larasati di rambut Abimanyu yang masih wangi sampo anak-anak. "Mama janji."

Tapi janji itu terasa hampa. Karena Larasati tahu—Gavin tidak akan pulang lebih cepat. Gavin tidak akan tiba-tiba jadi ayah yang baik lagi. Gavin sudah pergi, meski tubuhnya masih kadang ada di rumah ini.

Setelah mengantarkan Abimanyu ke sekolah, Larasati pulang ke rumah yang terlalu sepi. Pembantu sedang cuti—dia sengaja minta seminggu off karena Larasati butuh waktu sendirian, butuh ruang untuk hancur tanpa ada mata yang melihat.

Dia duduk di tangga, menatap ruang tamu yang dulu penuh tawa. Dia ingat Abimanyu balita belajar jalan di ruangan ini, terjatuh berkali-kali, dan Gavin yang menangkapnya sambil tertawa. Dia ingat ulang tahun Abimanyu yang pertama—mereka bertiga di lantai ini, bermain dengan kue yang lebih banyak lumuran di wajah Abi daripada di mulutnya, Gavin mencium keningnya dan berkata, "Kita keluarga terbaik di dunia."

Kapan semuanya berubah?

Ponsel Larasati berbunyi. Pesan dari Aurellia: "Lara, gimana? Udah dapet info lebih?"

Larasati menatap pesan itu, jemarinya melayang di atas keyboard. Dia ingin cerita semuanya—tentang email yang dia temukan, tentang foto-foto itu, tentang nama Kiran yang sekarang dia hafal di luar kepala. Tapi entah kenapa kata-kata tidak keluar.

Akhirnya dia balas: "Nanti kita ketemu ya. Aku cerita."

Dia tidak siap berbicara tentang ini lewat pesan. Tidak siap membuat semuanya terasa lebih nyata dengan mengetiknya.

Siang itu berlalu lambat. Larasati mencoba mengalihkan pikiran dengan membersihkan rumah, merapikan lemari, melipat pakaian. Tapi tangannya bergerak mekanis, otaknya terus berputar ke satu nama: Kiran.

Siapa sebenarnya perempuan itu? Apa yang dia punya yang Larasati tidak punya? Kecantikan? Larasati melihat pantulannya di cermin—dia masih cantik, meski ada lingkar hitam di bawah matanya, meski kulitnya lebih pucat akhir-akhir ini. Kepintaran? Larasati lulusan desain terbaik di kampusnya dulu. Humor? Gavin dulu selalu bilang dia perempuan paling lucu yang pernah dia kenal.

Jadi apa?

Kebaruan, mungkin. Misteri. Sensasi yang Larasati—istri yang sudah delapan tahun menikah, ibu yang menghabiskan hari merawat anak dan rumah—tidak bisa tawarkan lagi.

Pemikiran itu membuat Larasati ingin muntah.

---

Sore hari, Larasati menjemput Abimanyu lagi. Anaknya naik ke mobil dengan wajah cemberut.

"Kenapa, sayang?" tanya Larasati sambil memasangkan sabuk pengaman.

"Temen-temen nanya kenapa Papa gak pernah datang pas Parents Day minggu lalu," kata Abimanyu pelan. "Semua papa temenku dateng. Cuma Papa Abi yang gak."

Larasati membeku. Parents Day. Dia ingat—minggu lalu, acara di sekolah di mana orangtua diundang untuk kegiatan bersama anak. Larasati datang sendirian. Gavin bilang dia ada meeting penting yang tidak bisa ditinggal.

Meeting. Atau kencan dengan Kiran?

"Papa minta maaf sayang," kata Larasati, membenci dirinya karena harus minta maaf atas nama Gavin. "Papa benar-benar sibuk. Tapi Papa sayang sama Abi."

"Bohong." Suara Abimanyu tiba-tiba keras, matanya berkaca-kaca. "Papa gak sayang Abi. Kalo sayang, Papa pasti dateng. Papa pasti pulang. Papa pasti..."

Abimanyu berhenti, menunduk. Bahunya bergetar—dia menangis tanpa suara, seperti anak yang sudah terbiasa menangis sendirian, tidak mau membebani.

Larasati tidak bisa tahan lagi. Dia lepas sabuk pengamannya, memeluk Abimanyu dari samping, membiarkan anaknya menangis di pelukannya di parkiran sekolah.

"Abi sayang Papa," isak Abimanyu. "Kenapa Papa gak sayang Abi?"

"Papa sayang Abi. Papa sangat sayang Abi," bisik Larasati berulang kali, seperti mantra. Tapi kata-kata itu terasa kosong, bahkan di telinganya sendiri.

Mereka duduk di mobil cukup lama—Abimanyu menangis sampai lelah, lalu tertidur di pangkuan Larasati. Larasati menatap wajah anaknya yang tertidur—pipi yang basah air mata, bulu mata yang masih basah, bibir yang bergetar sedikit.

Ini yang Gavin lakukan. Ini yang perselingkuhannya hancurkan. Bukan hanya pernikahan. Bukan hanya hati Larasati. Tapi juga anak mereka—anak kecil yang tidak tahu apa-apa, yang hanya ingin dicintai papanya.

Larasati merasakan amarah yang membara di dadanya—bukan amarah yang eksplosif, tapi amarah dingin yang menetap, yang mengeras seperti es.

Gavin akan membayar ini. Entah bagaimana, dia akan membayar.

---

Malam itu, Larasati menidurkan Abimanyu lebih cepat dari biasanya. Anaknya masih lelah setelah menangis sore tadi.

"Mama," bisik Abimanyu saat Larasati menyelimuti dia. "Mama nangis ya tadi malam? Abi denger."

Larasati membeku. "Abi... Abi dengar?"

Abimanyu mengangguk kecil. "Abi bangun mau ke kamar mandi. Denger Mama di ruang tamu. Mama lagi nangis." Matanya yang besar menatap Larasati dengan kekhawatiran yang terlalu dewasa untuk anak seusianya. "Mama sedih karena Papa?"

Larasati tidak bisa berbohong lagi. Tidak pada mata itu. Tidak pada anak yang sudah terlalu banyak kehilangan.

"Iya," bisiknya. "Mama sedih."

"Mama sama Papa... berantem ya?"

"Bukan berantem, sayang. Cuma... cuma lagi ada masalah. Tapi Mama janji, Abi gak akan kena. Mama akan lindungi Abi. Apapun yang terjadi." Larasati menggenggam tangan kecil Abimanyu. "Abi masih sayang Mama kan?"

"Abi sayang Mama paling," kata Abimanyu cepat, memeluk leher Larasati. "Mama jangan sedih. Nanti Abi jaga Mama."

Kata-kata itu—dari anak tujuh tahun yang seharusnya dia lindungi, tapi malah ingin melindungi dia—membuat bendungan di dada Larasati jebol. Air mata mengalir tanpa bisa dia tahan lagi.

"Mama nangis lagi," bisik Abimanyu khawatir.

"Ini air mata bahagia," bohong Larasati sambil tersenyum lewat air mata. "Karena Mama punya Abi. Abi adalah hal terbaik yang pernah terjadi sama Mama."

Abimanyu tersenyum kecil, lalu menguap. "Mama... nyanyi ya? Lagu yang dulu?"

Larasati mengangguk, mengusap rambut Abimanyu dengan lembut. Dia mulai menyanyikan lagu nina bobo yang selalu dia nyanyikan sejak Abimanyu bayi:

_"Nina bobo, oh nina bobo_

_Kalau tidak bobo, digigit nyamuk_

_Nyamuknya datang dari mana_

_Dari hutan cari makan..."_

Suaranya gemetar, tapi dia terus bernyanyi. Abimanyu perlahan memejamkan mata, napasnya melambat jadi teratur.

Larasati terus bernyanyi sampai anaknya benar-benar tertidur. Tapi air matanya tidak berhenti—mengalir deras, membasahi pipi, jatuh ke bantal.

Dia kehilangan suaminya. Dia kehilangan pernikahannya. Tapi dia tidak akan kehilangan anaknya. Abimanyu akan dia lindungi apapun yang terjadi. Meski dunia ini hancur, meski hatinya remuk, Abimanyu tidak boleh jadi korban.

Itu sumpahnya.

Larasati mencium kening Abimanyu, lalu perlahan keluar dari kamar, menutup pintu dengan hati-hati.

Dia berdiri di koridor, mengusap air matanya, menarik napas panjang. Dia harus kuat. Untuk Abimanyu. Untuk dirinya sendiri.

Tapi saat dia melewati kamar utama, dia mendengar suara—suara Gavin berbicara di ponsel.

Larasati berhenti. Pintunya sedikit terbuka. Dia bisa melihat Gavin berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap pintu.

"Iya sayang," kata Gavin dengan suara rendah, lembut—suara yang dulu dia pakai untuk Larasati. "Aku tahu. Aku kangen juga."

Larasati meremas gagang pintu sampai buku-buku jarinya memutih.

"Besok aku ke apartemenmu, ya? Jam berapa kamu ada? Oke, jam delapan. Aku bawa wine yang kamu suka." Gavin tertawa pelan. "Iya, yang dari Prancis itu. Aku inget kok, sayang."

_Sayang._

Kata itu—kata yang dulu milik Larasati, sekarang milik Kiran.

"Aku juga cinta kamu," bisik Gavin. "Tidur yang nyenyak. Dream of me."

Dia tutup telepon, lalu berbalik—dan melihat Larasati berdiri di ambang pintu.

Wajah Gavin berubah—dari ekspresi bahagia menjadi terkejut, lalu menjadi... apa? Rasa bersalah? Atau hanya kesal karena ketahuan?

Mereka berdiri dalam keheningan yang menggantung berat di udara.

"Lara—"

"Jangan," potong Larasati dengan suara yang tenang—tenang yang menakutkan, tenang sebelum badai. "Jangan bilang apa-apa."

"Lara, itu cuma—"

"Client? Partner bisnis?" Larasati tersenyum pahit. "Kamu mau bohong apa lagi, Gavin? Kamu mau kasih alasan apa lagi?"

Gavin diam, rahangnya menegang. Mata mereka bertemu, dan untuk pertama kali, Larasati melihat sesuatu di sana—bukan penyesalan, bukan rasa bersalah. Tapi semacam... lega? Lega karena tidak harus bersembunyi lagi?

"Aku tahu tentang Kiran," kata Larasati pelan, setiap kata keluar dengan susah payah. "Aku tahu segalanya."

Wajah Gavin menjadi pucat. "Lara... dengar—"

"Tidak." Larasati mengangkat tangan, menghentikannya. Air matanya sudah kering—sekarang hanya tersisa kemarahan dingin. "Tidak sekarang. Aku tidak mau dengar penjelasanmu sekarang. Aku tidak mau dengar alasanmu. Karena tidak ada alasan yang bisa membenarkan apa yang kamu lakukan."

"Lara—"

"Abimanyu nanya kenapa papanya tidak pernah pulang," lanjut Larasati, suaranya bergetar tapi tetap terkontrol. "Dia nangis sore ini karena papanya tidak datang di Parents Day. Dia pikir papanya tidak sayang dia lagi."

Gavin terlihat tertampar. "Aku sayang Abi—"

"Tapi tidak cukup untuk pulang tepat waktu. Tidak cukup untuk berhenti selingkuh. Tidak cukup untuk jadi ayah yang layak." Larasati menatapnya dengan tatapan yang membuat Gavin mundur selangkah. "Besok kamu ke apartemen Kiran ya? Jam delapan? Nikmati wine Prancis-mu. Karena aku tidak akan tunggu kamu pulang lagi."

Larasati berbalik, berjalan menjauh dengan punggung tegak meski seluruh tubuhnya ingin runtuh.

"Lara, tunggu!" Gavin mencoba mengejarnya, tapi Larasati sudah menutup pintu kamar tamu—kamar yang sekarang jadi kamarnya—dan mengunci dari dalam.

Dia mendengar Gavin mengetuk. "Lara, please. Kita bicara. Lara!"

Tapi Larasati tidak buka pintu. Dia duduk di lantai, punggung bersandar di pintu, mendengar suaminya mengetuk dan memanggil namanya.

Akhirnya ketukan berhenti. Langkah kaki menjauh.

Larasati duduk sendirian di kegelapan, memeluk lututnya, merasakan sesuatu yang patah—tidak, bukan patah. Sesuatu yang mati di dalam dadanya.

Pernikahannya sudah berakhir. Dia tahu itu sekarang. Tidak ada jalan kembali dari ini.

Yang tersisa hanya keputusan: apa yang akan dia lakukan dengan kehancuran ini?

Dan sambil duduk di lantai kamar tamu yang dingin, Larasati mulai merencanakan langkah selanjutnya—langkah yang akan mengubah segalanya.

---

**Bersambung ke Bab 5**

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!