Aruna yang sedang menikmati masa kuliahnya yang santai tiba-tiba dipaksa pulang ke rumah untuk sebuah "makan malam darurat". Ia mendapati keluarganya di ambang kehancuran finansial. Ayahnya terjerat hutang pada keluarga Gavriel, sebuah klan penguasa bisnis yang kejam. Aruna "dijual" sebagai jaminan dalam bentuk pernikahan politik dengan Damian Gavriel, pria dingin yang mempesona namun manipulatif
bagaimana cara aruna mengahadapi takdirnya?..... yuk, baca selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Arsila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4
"Apa yang kamu lakukan?"
Suara Damian tiba-tiba muncul di belakangnya. Aruna langsung menyembunyikan spidolnya di balik punggung. "Eh, Mas. Itu... batunya tadi terlihat sedih, jadi saya beri semangat sedikit."
Damian menatap batu itu, lalu menatap Aruna. Bukannya marah, ia justru tertawa kecil sebuah tawa yang sangat langka dan entah mengapa terdengar sangat merdu di telinga Aruna. "Kamu baru saja mencoret karya seni seniman Prancis yang harganya dua ratus juta rupiah."
Aruna memucat. "Dua ratus... Mas, ayo kita lari sekarang! Saya tidak punya uang sebanyak itu!"
Damian menarik tangan Aruna, mencegahnya kabur. Ia menarik Aruna hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. "Aku sudah membayarnya. Anggap saja itu tambahan untuk harga maharmu."
Damian mengusap bibir Aruna dengan ibu jarinya, pandangannya berubah menjadi sangat intens dan manipulatif. "Aku suka keberanianmu, Aruna. Tapi ingat, setiap kekacauan yang kamu buat, artinya hutang budimu padaku bertambah satu poin. Dan aku adalah penagih hutang yang sangat kejam."
Aruna terpaku. Ia merasa seperti sedang tersedot ke dalam lubang hitam yang indah. Damian sedang mempermainkan perasaannya, memberikan kehangatan palsu di tengah ancaman.
"Mas Damian... Mas tahu tidak kalau Mas itu sangat menyebalkan?" bisik Aruna dengan suara yang sedikit bergetar.
"Aku tahu," jawab Damian sambil tersenyum miring. "Tapi kamu tidak punya pilihan selain menyukaiku, bukan?"
Damian kemudian menarik Aruna kembali ke kerumunan, memamerkan "kemenangannya" lagi. Aruna berjalan di sampingnya dengan perasaan campur aduk. Ia sadar, pemberontakan konyolnya justru menjadi hiburan bagi Damian, dan jerat sutra itu kini tidak hanya melilit lehernya, tapi mulai merayap ke arah hatinya.
"Sial," batin Aruna. "Kalau begini terus, aku bisa-bisa lupa kalau dia itu mafia berdarah dingin hanya karena parfumnya terlalu enak."
Saat mereka berjalan keluar dari galeri menuju mobil limosin yang menunggu di lobi, Aruna mencoba menarik napas panjang. Udara di luar galeri terasa jauh lebih ramah daripada oksigen di dalam sana yang penuh dengan aroma kepalsuan dan bedak mahal.
"Mas Damian, jujur saja ya," Aruna memulai pembicaraan saat pintu mobil tertutup rapat, memisahkan mereka dari dunia luar. "Kalau setiap hari harus begini, saya bisa kena hipertensi di usia muda. Tadi itu bukan pameran seni, itu pameran kesombongan. Dan Mas adalah juara umumnya."
Damian menyandarkan punggungnya yang tegap ke kursi kulit, melepaskan kancing paling atas kemejanya. Gestur sederhana itu entah mengapa terlihat sangat provokatif.
"Dunia ini memang sombong, Aruna. Jika kamu tidak lebih sombong dari mereka, kamu akan dimakan hidup-hidup. Kamu harus mulai terbiasa menjadi pemangsa, bukan hanya menjadi... pelawak."
Aruna mencibir. "Jadi pemangsa itu melelahkan, Mas. Lebih enak jadi penonton sambil makan popcorn. Oh ya, bicara soal makan, tadi saya lihat di dekat sini ada gerobak martabak telur yang antriannya panjang sekali. Sebagai kompensasi karena saya sudah jadi 'pajangan' Mas, boleh ya kita mampir?"
Damian melirik jam tangannya yang berkilau. "Kita punya jadwal makan malam formal dengan pengacara keluarga di mansion."
"Ayolah, Mas! Sekali saja! Martabak telur itu proteinnya tinggi, bagus untuk otak Mas yang isinya cuma angka dan rencana jahat," bujuk Aruna dengan mata berbinar-binar yang sengaja dibuat semelankolis mungkin. "Kalau tidak, saya akan mogok makan malam nanti dan bilang ke pengacara Mas kalau saya diculik oleh alien berkedok CEO."
Damian menatap Aruna lama, seolah sedang menimbang-nimbang risiko diplomatik antara sebuah kesepakatan bisnis dan sebungkus martabak. Akhirnya, ia menghela napas pasrah. "Sepuluh menit. Dan kamu yang turun beli. Aku tidak ingin mobil ini bau minyak goreng."
"Siap, Kapten!" Aruna bersorak kegirangan.
Beberapa menit kemudian, limosin mewah itu berhenti di pinggir jalan yang ramai, menciptakan kontras yang menggelikan antara kemewahan kelas atas dan kehidupan kaki lima. Aruna melompat keluar dengan riang, meninggalkan Damian yang hanya bisa memijat keningnya di dalam mobil.
Damian memperhatikan Aruna dari balik kaca jendela yang gelap. Ia melihat gadis itu tertawa bersama penjual martabak, bahkan sempat-sempatnya membantu mengocok telur saat si penjual sedang sibuk. Ada sesuatu yang aneh berdesir di dada Damian sesuatu yang selama ini ia tekan dengan logika dan kekuasaan.
Dia terlalu bercahaya untuk tempat yang gelap seperti duniaku, batin Damian. Namun, senyum tipis yang manipulatif kembali muncul di wajahnya. Semakin bercahaya Aruna, semakin besar kepuasan yang akan ia dapatkan saat berhasil menjinakkan cahaya itu sepenuhnya.
"Nikmatilah tawamu sekarang, Aruna," gumam Damian pelan. "Sebab sebentar lagi, kamu akan tahu bahwa bahkan martabak yang kamu beli pun adalah bagian dari skenarioku."