Bagaimana rasanya ketika suami yang Aurel selalu banggakan karena cintanya yang begitu besar kepadanya tiba-tiba pulang membawa seoarang wanita yang sedang hamil dan mengatakan akan melangsungkan pernikahan dengannya? Apakah setelah ia dimadu rumah yang ia jaga akan tetap utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aure Vale, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian Empat
Aurel bertengkar dengan suaminya, dan ini untuk pertama kalinya Aurel berteriak kepada suaminya, tidak pernah sekalipun Aurel meneriaki suaminya atau bahkan berdebat dengannya, semua perintah suaminya itu mutlak, dan Aurel tidak pernah berkomentar apapun.
Tapi kali ini, emosi yang Aurel tahan-tahan sejak kemarin meledak di depan suaminya juga Jihan.
"Aku tidak mau satu rumah sama Jihan, Mas," teriak Aurel berteriak untuk kesekian kalinya.
Jelas Aurel marah, karena pagi ini, setelah Erven membawa Jihan ke dalam rumah mereka berdua dan tidur di dalam kamar tamu, Erven datang dan langsung meminta izin kepada istrinya agar Jihan diperbolehkan untuk tinggal di dalam rumah yang sama dengan Aurel.
Aurel yang mendengar itu dengan tegas menolaknya, ia tidak ingin berada di dalam atau atap dengan madunya, itu akan membuat dirinya semakin terluka.
"Kamu tenang dulu, ya," ucap Erven langsung memeluk Aurel yang wajahnya sudah memerah karena amarah yang menguasai dirinya, permintaan izin suaminya membuat ia kelepasan, dan dengan keadaan sadar ia meneriaki suaminya.
"Mas janji hanya beberapa hari, setelah rumah yang mas siapkan untuk Jihan selesai, mas akan langsung membawa Jihan keluar dari rumah ini untuk menempati rumah baru," ujar Erven dengan tangan yang masih terus mengelus punggung Aurel.
'Ya Allah, kuatkanlah hatiku,' lirih Aurel di dalam hatinya, biarkanlah kali ini ia menangis dalam pelukan suaminya, karena setelah ini, Aurel berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak lagi menangisi takdirnya.
"Maafkan Mas, Aurel," lirih Erven yang juga ikut merasakan sakit di dadanya, ia tidak menyangka jika dirinya berani meminta izin kepada istrinya untuk menikah lagi.
"Sudahlah, aku harus berangkat kerja," ucap Aurel melepaskan pelukannya dengan Erven, lalu tanpa melihat Jihan, ia melangkah menaiki tangga untuk ke kamarnya.
Erven menatap sedih punggung istrinya, ia tidak tahu jika rasanya sesakit ini melihat sikap Aurel yang berubah terhadapnya.
"Pak,"
Jihan yang hanya menjadi penonton sejak awal memberanikan diri untuk memanggil atasan di kantornya yang sejak kemarin sudah dah menjadi suaminya.
Erven membalikkan tubuhnya dan tersenyum hangat kepada Jihan, "kamu mau sarapan dulu?" tanya Erven yang diangguki Jihan.
Lalu tanpa mengatakan apapun lagi, Erven membawa Jihan ke arah dapur yang menyambung dengan ruang makan.
"Mau makan apa?" tanya Erven menatap manik mata Jihan yang tidak ada sinar bahagia di wajahnya.
"Aku saja yang masak," ucap Jihan membuat Erven cepat-cepat menggeleng.
"Kamu duduk aja, aku khawatir kamu kecapen, kasian nanti bayinya," ucap Ervan.
Jihan akhirnya mengangguk, membiarkan suaminya untuk berkutat dengan alat-alat dapur, ia hanya memperhatikan dari tempat duduknya.
Perlahan tangannya mengusap lembut perutnya yang masih rata, ia tersenyum kecil, di dalam perutnya sedang tumbuh makhluk kecil yang Tuhan titipkan kepadanya, ada rasa sedih sekaligus senang.
Jihan masih ingat bagaimana marahnya Aurel, ketika Erven mengatakan sebab ia ingin bertanggung jawab kepada Jihan, Jihan sedang mengandung dan bayi itu akan membutuhkan sosok ayahnya ketika ia lahir, awalnya Aurel tetap menolak dengan tegas tapi begitu Erven bersumpah ia tidak bisa hidup dengan menanggung rasa bersalah yang amat besar, Aurel luluh, ia memberikan izin suaminya untuk menikah lagi.
Flashback on
"Mas tidak perlu bertanggung jawab sampai harus menikahinya,"
"Dia hamil, dan mas harus bertanggung jawab," isak Erven yang masih memeluk lutut istrinya.
Mendengar itu, semakin marah lah Aurel, ia sampai bangkit dari duduknya dan melepaskan paksa tangan suaminya yang masih memeluk kakinya.
"Mas gila, untuk apa mas menanggung kesalahan orang lain?" tanya Aurel menatap sendu suaminya.
Erven menggeleng, "bayi itu akan membutuhkan sosok ayah, Aurel,"
Aurel tetap menggelengkan kepalanya, ia tetap tidak setuju Erven menikah lagi, apalagi dengan wanita yang sedang dalam kondisi hamil, itu bukan darah dagingnya bukan pula kesalahan
dirinya, tapi mengapa suaminya bersikeras untuk menikahi wanita bingung itu.
"Mas tidak bisa hidup jika harus menanggung rasa bersalah sebesar ini," lirih Erven mendongakkan kepalanya dan menatap Aurel dengan tatapan putus asanya.
Erven tidak bohong, ia memang tidak sanggup lagi melanjutkan hidupnya jika harus menanggung perasaan bersalah itu, ia tidak ingin memikul rasa bersalah di hidupnya, ia ingin bertanggung jawab, tidak lebih.
Sedangkan Jihan, hanya duduk diam di sofa dengan kepala yang menunduk dalam, tidak berani menatap pasangan suami istri yang sedang berdebat di depannya.
kedua tangan Jihan gemetar, ia takut jika Aurel tetap tidak mengizinkannya Erven menikahi dirinya, ia tidak sanggup hamil dalam keadaan tidak memiliki suami, ia tidak sanggup menanggung beban di dalam perutnya seorang diri.
"Aurel, kumohon," lirih Erven dengan suara putus asanya.
Aurel diam, ia mengusap kasar air mata di pipinya, lalu menatap Jihan yang hanya diam menundukkan kepalanya, lalu beralih menatap suaminya yang sedang menatapnya putus asa.
"bismillah," lirih Aurel memejamkan matanya sebentar, Aurel kembali membuka matanya dan menyatakan jika dirinya mengizinkan suaminya menikah lagi.
Mendengar itu, Erven maupun Jihan langsung melotot tidak percaya, mereka tidak salah dengar, kan? Aurel baru saja megatakan jika ia mengizinkan Erven dan Jihan menikah.
Setelah mengatakan itu, Aurel kangsung berkari keluar dari dalam ruang tamu, Erven tidak mengejarnya ia langsung berdiri dan menghadap Jihan.
"Kita diizinkan menikah, Jihan," ucap Erven tersenyum hangat kepada wanita di depannya.
"Kamu lagi mikiran apa?"
Jihan terkejut ketika seseorang mengusap kepalanya, ia mending dan mendapati Erven yang tersenyum manis.
"Sudah selesai?" tanya Jihan yang diangguki Erven.
Erven langsung berjalan ke arah pantri dan mengambil dua piring yang kemudian Erven letakkan di hadapan Jihan dan satu piringnya ia taruh untuk dirinya sendiri.
"Spageti?"
"Kamu suka, kan?" tanya Erven.
Jihan mengangguk antusias, "ini makanan favorit aku," jawab Jihan yang langsung menyuapkannya ke dalam mulut, Ervan tersenyum melihatnya, kemudian ia juga ikut makan hingga spageti di piringnya tandas tak tersisa.
"Pak," panggil Jihan yang lansung mendapatkan teguran dari Erven.
"Kamu sudah menjadi istri aku, jangan panggil 'pak' lagi dong,"
"Terus panggil apa dong, aku lebih terbiasa manggil bapak tuh 'pak', lagi pula kan bapak masih jadi atasan aku di kantor, jadi tidak apa-apa dong aku tetep panggil bapak," oceh Jihan yang langsung membuat Erven tersenyum, karena untuk pertama kalinya ia mendengar Jihan mengatakan lebih dari lima kata.
Karena setelah kejadian sebulan lalu di kantor cabang, Jihan hanya menanggapi ucapannya singkat, tidak pernah berkata lebih panjang dari lima kata.
"Aku senang kamu banyak bicara seperti sekarang,"
Mendengar itu Jihan hanya tersenyum, lalu kembali menguapkan suapan terakhir ke dalam mulutnya.
"Kenapa, pak?" tanya Jihan begitu melihat tatapan Erven yang tidak seperti biasanya.
"Sudah aku bilang jangan panggil 'pak' lagi," tegur Erven menatap jengah Jihan yang terus-terusan memanggil dirinya 'pak'.
"Apa dong?" tanya Jihan bingung, lagipula kenapa memangnya jika dirinya memanggil Erven dengen sebutan 'pak'.
"Mas, aku mau kamu manggil aku Mas,"
_________________________________________
Ihhh Erven parah bangettt kan gak boleh bikin istri kedua sama pertamanya satu atap, heran deh, padahal tinggal ngontrak dlu apa susahnya.
Cung yang setuju sama Aurel yang gak mau satu atap sama madunya ☝
Doain moga2 Aurel gak makin meledak sama Jihan and suaminyaa
bye bye aja lah