Sebuah jebakan kotor dari mantan kekasih memaksa Jenara, wanita karier yang mandiri dan gila kerja, untuk melepas keperawanannya dalam pelukan Gilbert, seorang pria yang baru dikenalnya. Insiden semalam itu mengguncang hidup keduanya.
Dilema besar muncul ketika Jenara mendapati dirinya hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Gilbert, namun ia menyimpan rahasia kelam. Sejak remaja, ia didiagnosis mengidap Oligosperma setelah berjuang melawan demam tinggi. Diagnosis itu membuatnya yakin bahwa ia tidak mungkin bisa memiliki keturunan.
Meskipun Gilbert meragukan kehamilan itu, ia merasa bertanggung jawab dan menikahi Jenara demi nama baik. Apalagi Gilbert lah yang mengambil keperawanan Jenara di malam itu. Dalam pernikahan tanpa cinta yang dilandasi keraguan dan paksaan, Gilbert harus menghadapi kebenaran pahit, apakah ini benar-benar darah dagingnya atau Jenara menumbalkan dirinya demi menutupi kehamilan diluar nikah. Apalagi Gilbert menjalani pernikahan yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Opat
Terima kasih atas pelayananmu yang memuaskan.
Pelayanan.
Kata itu menghantam Gilbert tepat di bagian hatinya yang terdalam. . Kata itu menelanjangi harga dirinya, merobek-robek kepolosannya, dan melemparkannya ke tempat sampah. Gilbert adalah COO dengan gaji multi-miliar, seorang profesional yang dihormati di dunia bisnis, dan kini ia dihargai seperti gigolo murahan.
"Pelayanan?" Suara Gilbert bergetar, mengepalkan cek itu erat-erat hingga kertasnya lecek. Amarah yang dingin dan terkontrol kini meledak menjadi kemarahan yang membakar.
Dia merasa harga dirinya diinjak-injak hingga lumat. Wanita itu, Jenara, telah mengambil keperjakaannya, menghancurkan ketenangan hidupnya, dan kini ia meninggalkannya dengan uang sebagai upaya untuk membeli kebisuan dan martabatnya. Uang lima miliar bagi Jenara mungkin hanya sekejap, tetapi bagi Gilbert, ini adalah penghinaan. Sebuah kartu nama tergeletak di lantai, Gilbert membacanya.
“Sialan kau, Jenara!” teriak Gilbert, suaranya dipenuhi frustrasi dan amarah, meremas kartu nama itu di tangannya.
Ia bangkit, mengambil pakaiannya yang compang-camping, dan berjalan terpincang-pincang ke kamar mandi terutama pinggangnya yang begitu pegal. Saat ia melewati cermin besar, ia melihat bayangannya sendiri, tubuhnya yang berotot dipenuhi bekas ciuman merah keunguan, kemeja mahalnya robek. Ia tampak seperti objek, bukan subjek.
Wanita itu harus bertanggung jawab.
Setelah membersihkan diri dengan tergesa-gesa, Gilbert meraih ponselnya yang tergeletak di lantai. Layar ponsel menunjukkan puluhan panggilan tak terjawab dan rentetan pesan yang mendesak.
Panggilan Tak Terjawab (37): Althaf, Bos Besar
Pesan Terbaru (15): Althaf
Gilbert membuka pesan dari Althaf, CEO perusahaannya.
Althaf: Gil, kamu ke mana? Apa ada masalah yang menghambat?. Laporan due diligence supplier baru? Kenapa tidak mengangkat teleponku!
Althaf: Kau tidak mengangkat teleponku! CEO dari CV Asta datang dan mencari masalah, mereka menolak untuk mengakhiri kerjasama.
Althaf: Balas! Ini gawat, Gil!
Wajah Gilbert yang tadinya memerah karena amarah kini memucat karena kekhawatiran profesional. Masalah di kantor jauh lebih besar daripada masalah pribadi. Dia lupa kepentingannya saat ini adalah meninjau dan mengevaluasi perusahaan baru yang akan menjadi supplier untuk bahan baku di perusahaan Althaf
Gilbert menatap cek lima miliar di tangannya, lalu ke pintu kamar yang tertutup. Jenara telah meninggalkannya dalam kekacauan ganda, kekacauan moral dan kekacauan pekerjaan. Ia telah merusak misinya mengawasi supplier baru, dan sekarang ia harus berhadapan dengan CEO CV. Asta.
Ia menyimpulkan satu hal dengan tegas, Jenara Sanjaya bukan hanya seorang CEO arogan yang sombong, tetapi juga seorang penghancur hidup yang harus diberi pelajaran. Ia tidak akan mengambil uang ini. Ia akan membalas perbuatan wanita itu dengan cara yang paling kejam, memaksa Jenara mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab atas semua yang telah terjadi.
Tapi pertama, ia harus menyelamatkan perusahaannya dan berhadapan dengan Bos Besarnya, Althaf.
Gilbert memasukkan cek itu ke saku celana dengan jijik. Dia tidak butuh uang, dia butuh keadilan dan pengakuan.
Gilbert segera menghubungi Althaf, suaranya kembali kaku dan tegas, menyembunyikan rasa sakit di pinggangnya dan kehancuran harga dirinya.
“Althaf. Aku kembali. Siapkan semua laporan. Aku akan mengurus CV Asta. Aku akan menyelesaikan krisis ini di kantor. Tapi sebelum itu…” Gilbert menghela napas, amarahnya kembali memuncak.
“Tapi apa, Gil? Kau baik-baik saja? Kenapa kau menghilang setelah urusan supplier?” tanya Althaf, nadanya terdengar panik bercampur marah.
“Aku baik-baik saja. Tapi aku ingin kau segera mencari tahu semua detail tentang Jenara Sanjaya. Siapa dia, di mana dia tinggal, dan apa pun yang bisa kau temukan tentang kehidupan pribadinya, terutama detail tentang PT Digdaya Guna. Aku ingin data lengkapnya ada di mejaku besok pagi,” perintah Gilbert, tegas, kini memberikan perintah yang melebihi wewenang COO-nya.
Gilbert memutus sambungan. Ia berdiri di tengah kamar yang berantakan, menatap noda darah di seprai dan sisa-sisa perbuatan mereka semalam. Ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama. Ia harus menemukan Jenara. Bukan untuk cinta, tetapi untuk menuntut pertanggungjawaban atas harga dirinya yang terinjak-injak dan keperjakaannya yang hilang, tanpa disadari bahwa takdir telah menanamkan benih kejutan yang jauh lebih besar dari sekadar amarah.
Jenara Sanjaya, pria ini akan datang untuk menagih hutangmu.
...******...
Tiga hari berlalu, namun kantor Gilbert terasa seperti baru tiga jam sejak kejadian di hotel. Udara dingin dari pendingin ruangan kantor mewah itu gagal menembus lapisan emosi yang membeku di hati Gilbert.
Sebagai Chief Operating Officer (COO) di salah satu perusahaan manufaktur terkemuka, Gilbert seharusnya fokus pada laporan due diligence calon supplier baru yang terhenti, dan rencana strategis untuk mengatasi penolakan pembatalan kontrak dari CV. Asta. Namun, tiga hari terakhir, ia hanya duduk diam, pikirannya diselimuti oleh kabut penyesalan dan amarah.
Di meja kerjanya yang luas, terdapat tumpukan berkas yang ia abaikan. Tangannya yang biasanya cekatan dalam menganalisis data, kini hanya sibuk memutar-mutar pulpen perak, lalu mencoret-coret draft laporan dengan garis-garis abstrak yang tidak memiliki arti. Setiap goresan pulpen adalah representasi dari kehancuran harga dirinya.
Pintu kantornya terbuka tanpa ketukan, dan Althaf, atasan sekaligus sahabatnya yang protektif, masuk dengan langkah cepat. Althaf menjabat sebagai Bos Besar dan dikenal memiliki radar yang sangat sensitif terhadap perubahan mood Gilbert.
Althaf berdiri di hadapan meja Gilbert, menatap sepupunya itu dengan alis terangkat.
“Gilbert, kau terlihat seperti baru saja bangkit dari kubur,” sindir Althaf, suaranya dipenuhi nada mengejek yang lembut. "1Kau menghilang tanpa kabar setelah aku mengirimmu untuk urusan supplier dan tiba-tiba kau kembali dengan wajah kusut. Kau tahu, kau terlihat persis seperti lelaki yang baru kehilangan… yah, kau tahu, keperjakaannya.”
Deg!
kesian anaknya kalo kenapa2 😭
btw jen, dia suamimu loo, bapak dari si bayi 😌