Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14: BAYANG-BAYANG DARI KOTA PAHLAWAN
Sisa aroma kopi instan yang sudah mendingin memenuhi ruang jaga dokter yang sunyi. Jam dinding berdetak monoton, seolah menghitung mundur ketenangan yang baru saja dirasakan Yasmin. Setelah kejadian di lorong tadi pelukan Firman yang terasa seperti dermaga bagi kapalnya yang hampir karam seharusnya Yasmin merasa lega. Namun, di sudut hatinya, ada rasa takut yang merayap seperti kabut hitam.
Ia menatap tangannya sendiri. Tangan yang tadi dengan cekatan menjahit luka di kepala Sarah. Tangan yang sama, yang setahun lalu, gemetar hebat di sebuah ruang operasi di Surabaya.
“Dokter Yasmin, pasien nomor 402 mengalami henti jantung!”
Suara itu kembali terngiang, membuat Yasmin mendadak sesak napas. Ia segera meraih botol air mineral dan meminumnya hingga tandas.
"Nggak... itu bukan salahku. Prosedurnya sudah benar," bisiknya pada diri sendiri, namun bayangan keluarga pasien yang berteriak histeris di selasar Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya tetap tidak mau pergi. Itulah alasan sebenarnya ia lari ke Samarinda. Ia ingin mengubur dr. Yasmin yang gagal dan menjadi Yasmin yang baru di level yang lebih tenang.
Di sisi lain rumah sakit, Firman baru saja keluar dari kamar mandi umum. Ia sudah sedikit merapikan diri. Ia memutuskan untuk tidak kembali ke Bontang malam ini. Ia sudah mengirim pesan singkat pada Bang Surya, editornya, yang berisi: "Urusan keluarga darurat. Sisa liputan Bontang saya kirim besok via email, data lapangan sudah lengkap."
Firman tahu ia sedang mempertaruhkan integritasnya, tapi saat ini, memastikan Yasmin tidak hancur jauh lebih penting daripada berita limbah industri mana pun.
Ia berjalan menuju kantin rumah sakit untuk mencari makanan. Namun, langkahnya terhenti saat melihat seseorang berdiri di depan lift. Itu adalah pria dengan setelan rapi yang tampak asing, namun gerak-geriknya sangat mencurigakan. Pria itu tampak sedang berbicara di telepon sambil memegang map cokelat tebal.
"Iya, sudah dapat datanya. Kejadian di Surabaya setahun lalu. Kasus malpraktik bayi prematur. Nama dokternya memang Yasmin Paramitha. Ijin prakteknya sempat dibekukan sementara sebelum dia mengundurkan diri," ucap pria itu pelan namun jelas tertangkap telinga Firman.
Darah Firman seolah membeku. Surabaya? Malpraktik? Yasmin?
Pria itu kemudian masuk ke dalam lift menuju lantai tempat Sarah dirawat. Firman tidak bodoh. Ia langsung menyadari apa yang sedang terjadi. Sarah sedang melakukan serangan balik.
Firman tidak langsung melabrak pria itu. Sebagai jurnalis, ia tahu ia butuh lebih banyak bukti. Ia segera menghubungi Rendy.
"Ren, bangun! Gue butuh bantuan lo sekarang. Cek jaringan lo di Surabaya. Cari tahu soal kasus medis yang melibatkan nama Yasmin Paramitha setahun lalu di RS Bhayangkara. Sekarang, Ren! Jangan banyak tanya!" perintah Firman dengan suara rendah dan mendesak.
Matahari mulai menyembul di ufuk timur Samarinda, memberikan warna jingga yang hangat di langit kota. Namun bagi Yasmin, pagi ini terasa seperti awal dari sebuah eksekusi.
Ia baru saja selesai memeriksa kondisi Sarah untuk terakhir kalinya sebelum operan jaga. Sarah sudah sadar sepenuhnya. Wajahnya yang terbalut perban tampak angkuh, meski masih ada bekas memar di sana.
"Terima kasih sudah menyelamatkan nyawaku, Dokter Yasmin," ucap Sarah dengan nada yang sangat manis, namun matanya memancarkan kebencian.
"Sama-sama. Itu tugas saya," jawab Yasmin datar, hendak berbalik pergi.
"Tugasmu?" Sarah tertawa kecil, suara tawanya terdengar parau. "Apa tugasmu juga termasuk membiarkan pasien meninggal di Surabaya setahun lalu? Atau di sini kamu cuma mau 'menebus dosa'?"
Yasmin mematung. Tubuhnya kaku. Ia perlahan berbalik menatap Sarah. "Apa maksud Anda?"
Sarah mengeluarkan sebuah foto dari balik bantalnya foto hasil cetakan berita lama dari sebuah portal berita Surabaya yang menampilkan wajah Yasmin yang tertutup masker sedang digiring oleh petugas keamanan rumah sakit.
"Dunia itu sempit, Yasmin. Kamu pikir dengan pindah ke pulau lain, dosamu bakal hilang? Firman tahu soal ini? Sepertinya belum, ya. Bayangkan gimana reaksinya kalau dia tahu 'malaikat' kesayangannya ini punya tangan yang berlumuran darah," bisik Sarah penuh ancaman.
"Saya... saya tidak melakukan kesalahan," suara Yasmin bergetar. "Investigasi internal menyatakan alat yang malfungsi, bukan"
"Siapa yang bakal percaya?" potong Sarah. "Di mata publik, kamu adalah dokter muda yang lalai. Dan Firman? Firman adalah jurnalis yang sangat menjunjung tinggi kejujuran. Begitu dia tahu kamu membohonginya soal masa lalumu, dia bakal lari sejauh mungkin dari kamu. Bahkan 'level' kalian nggak akan sanggup menahan rasa kecewanya."
Yasmin tidak sanggup lagi berdiri di sana. Ia berlari keluar dari kamar rawat Sarah, menabrak beberapa perawat di lorong. Ia merasa dunia berputar. Ia butuh udara. Ia butuh Firman, tapi di saat yang sama, ia sangat takut menghadapi pria itu.
Di ujung lorong, ia melihat Firman berdiri menunggunya. Firman tampak sedang memegang ponselnya dengan wajah yang sangat keras.
Yasmin berhenti beberapa meter dari Firman. Napasnya tersengal. "Mas..."
Firman menatap Yasmin. Ada tatapan yang sulit diartikan di matanya antara rasa kasihan, bingung, dan sesuatu yang menyerupai luka baru.
"Rendy baru saja mengirim datanya, Yas," ucap Firman pelan. "Kenapa kamu nggak pernah cerita?"
Yasmin merasa dunianya benar-benar runtuh. "Mas, aku... aku bisa jelaskan..."
"Kenapa, Yas?" Firman melangkah maju, mempersempit jarak di antara mereka. "Kita sepakat untuk jujur di level ini. Kita sepakat kalau kejujuran adalah pokoknya. Tapi kamu menyimpan rahasia sebesar ini? Kamu membiarkan saya membela kamu di depan Sarah tanpa saya tahu apa yang sebenarnya kamu sembunyikan?"
"Karena aku takut, Firman!" teriak Yasmin, air mata akhirnya tumpah membasahi pipinya. "Aku takut kamu bakal melihat aku sebagai monster! Aku sudah berusaha keras untuk mulai lagi dari nol di sini! Aku nggak mau masa lalu itu menghancurkan satu-satunya hal yang membuat aku merasa hidup kembali!"
Firman terdiam. Ia melihat kerapuhan yang luar biasa di depan matanya. Namun sebagai pria yang pernah dikhianati oleh sebuah rencana pernikahan, kebohongan sekecil apa pun adalah racun baginya.
"Kamu pikir saya serendah itu, Yas? Kamu pikir saya akan meninggalkan kamu cuma karena sebuah kasus yang belum tentu salahmu?" tanya Firman dengan nada kecewa yang dalam. "Yang membuat saya kecewa bukan kasusnya, Yas. Tapi ketidakinginanmu untuk percaya pada saya. Kamu bilang kita di level yang sama, tapi ternyata kamu masih memegang kunci pintu yang nggak boleh saya masuki."
"Mas Firman..."
"Saya butuh waktu, Yas," Firman berbalik, menjauh dari Yasmin. "Selesaikan urusanmu dengan Sarah. Dan kalau kamu sudah siap untuk benar-benar jujur tanpa ada yang ditutupi, baru temui saya."
Firman berjalan pergi, meninggalkan Yasmin yang terduduk lemas di lantai lorong rumah sakit.
Di dalam kamarnya, Sarah tersenyum penuh kemenangan. Ia baru saja berhasil merobek garis batas yang dibuat Firman dan Yasmin. Baginya, menghancurkan kepercayaan mereka jauh lebih memuaskan daripada sekadar merebut kembali hati Firman.
Berita tentang masa lalu Yasmin tiba-tiba bocor ke pihak manajemen rumah sakit di Samarinda, diduga akibat ulah pria suruhan Sarah. Yasmin terancam dinonaktifkan sementara dari tugasnya di IGD. Di saat yang sama, Firman mendapati bahwa ada bukti baru dalam kasus Surabaya itu yang justru bisa membersihkan nama Yasmin, namun bukti itu disimpan rapat oleh ayah Sarah yang ternyata adalah salah satu donatur rumah sakit di Surabaya. Akankah Firman memilih untuk bekerja sama dengan Sarah demi mendapatkan bukti tersebut untuk Yasmin, ataukah ia akan membiarkan Yasmin berjuang sendirian sebagai bentuk kekecewaannya?