Bagaimana jika jiwa seorang Chef dari dunia moderen abad 25 yang cantik, kaya-raya, berstatus lajang, serta menguasai banyak tehnik beladiri, terbangun ditubuh seorang gadis diera dinasti kuno 3000 tahu lalu.
Liu Liyan, gadis cantik yang amat dimanja oleh ayah & kedua kakak lelakinya. Kadang suka berbuat sesuka hati, keras kepala & juga urakan.
Tapi setelah menikah, ia harus menjani hidup miskin bersama suaminya yang tampan tapi cacat.
Belum lagi ia harus dihadapkan dengan banyaknya konflik keluarga dari pihak suaminya.
Beruntung ibu mertua & adik ipar amat baik serta begitu menyayanginya, mendukung juga mempercayai.
Apakah ia bisa menggunakan keterampilannya didunia modern, untuk membantu keluarga suami juga keluarga kandungnya sendiri..?
Bagaimana lika-liku kehidupannya didunia yang serba kuno tanpa internet & listrik..?
Mari ikuti kisah Chef Claudia diera dinasti Song & menjadi Liu Liyan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delia Ata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengunjungi Hutan
Sudah waktunya makan siang. Sebelum sang suami bangun, Liu Liyan memilih untuk memasak. Perlahan ia turun dari ranjang dan berjalan keluar.
Empat gubuk jerami sangat reot, dengan bagian kamar mandi yang nyaris roboh. Menjadi gambaran betapa miskinnya keluarga Xiao Yun.
Pagar kayu lapuk setinggi bahu orang dewasa, menjadi batas hak tanah kepemilikan.
Zaman ini kebanyakan rumah bermodel siheyuan (hunian tradisional cina bentuk persegi dengan halaman dibagian tengahnya)
Hanya keluarga istana atau bangsawan dan pedagang kaya-raya, yang rumahnya terdiri dari beberapa paviliun karena berdiri diluas tanah berhektar-hektar.
Liu Liyan mendesis, menatap sekeliling dengan hati terenyuh sedih. Suara gaduh didapur mengalihkan atensinya.
Ia beranjak kesana, untuk ikut membantu ibu mertua dan kedua adik iparnya memasak.
"Yan niang sudah bangun..? bagaimana keadaanmu..?" tanya Guo Xia.
(Niang panggilan wanita yang sudah menikah)
"Aku baik-baik saja ibu..! maaf karena tidak membantu kalian."
Liu Liyan mendekat, melihat panci diatas tungku. Alisnya langsung merajut kasar dengan mata mengernyit tipis.
Bubur encer dengan campuran sayuran liar dan secuil daging babi.
"Yan niang..! tadi waktu memanggil tabib, ibu membayarnya dengan 1 kati beras putih. Sisanya cuma ada dua genggam saja."
Liu Liyan menghela nafas, ia merasa bersalah karena akibat kecerobohannya harus mengorbankan sisa makanan dirumah.
"Maaf, karena aku kalian cuma makan seperti ini."
Guo Xia, Xiao Yue dan Xiao Yan kompak menggeleng.
Xiao Yue mendekat, menggenggam tangan kapalan Liu Liyan "Kakak ipar jangan berfikir yang bukan-bukan, lagi pula beras itu milik kakak ipar. Jadi seharusnya kami yang meminta maaf."
Liu Liyan tersenyum "mana bisa begitu..? milikku juga milik kalian."
Saat bubur matang, mereka makan bersama dengan fikiran Liu Liyan yang mengembara kemana-mana.
"Dihutan banyak tebu, talas dan ubi gajah, aku bisa memanfaatkan itu. Apalagi gula sangat mahal disini."
Batin Liu Liyan mengikuti memori yang tersimpan dari pemilik asli.
Setelah makanan dicerna dengan baik, Liu Liyan berpamitan untuk pergi kehutan.
Dengan keranjang bambu besar dipunggung, busur panah, sebilah parang tajam dan sabit. Wanita itu berharap mendapat keberuntungan.
Desa Hutong dikelilingi hutan pegunungan, yang luasnya mencapai ratusan hektar.
Sejak usia 14 tahun, Liu Liyan sering berlatih beladiri dihutan dan itu digunakan sekalian untuk berburu.
Jadi tak heran kalau gadis itu sudah amat akrab dengan rindangnya pepohonan dan gelapnya semak belukar.
Jalan setapak dipedesaan terasa damai. Udaranya sejuk dan segar, tidak seperti dikota zaman modern yang panas berpolusi.
Belum lagi macet dimana-mana, suara bising klakson membaur bersama deru mesin kendaraan. Bikin stres dan menyebalkan.
Langkah Liu Liyan tak goyah, siluetnya kian memanjang dibawah hangatnya sinar mentari yang tak begitu terik siang ini.
Aroma bunga osmanthus dan magnolia, tercium samar terbawa angin.
Awan putih berderak dilangit biru yang bersih.
Kicauan beragam burung, bernyanyi merdu dikejauhan.
Bibir Liu Liyan melengkung lebar nyaris sampai kemata.Wajah putih nan halus bak giok itu bersinar bahagia, ia merasa bebas karena tak lagi tersiksa akan sakit yang diderita.
Liu Liyan sudah mengambil keputusan, ia akan menghargai hidup barunya dan menjalani dengan suka-cita.
Disiang hari banyak penduduk desa yang bekerja diladang. Ketika melihat Liu Liyan mereka langsung bergunjing, terutama para ibu-ibu rempong yang julid.
Tapi sudah pasti Liu Liyan abaikan. Masuk kuping kiri keluar kuping kanan.
Ada juga yang dengan ramah menyapa, seperti keluarga Lie.
Selain kepala desa, keluarga Lie dan Tang. Tak ada lagi yang bersikap baik pada keluarga cabang kedua.
Terlebih setelah Liu Liyan menjadi menantu, makin menjadi saja kebencian penduduk desa yang berhati hitam.
Disekitaran pinggiran hutan, hampir tidak ada lagi tumbuhan yang bisa dikumpulkan untuk dijadikan makanan.
Cuma ada tebu yang dianggap gulma oleh penduduk desa, karena batangnya yang keras seperti bambu dan juga gatal.
"Tunggu gue ya tebu..? besok elo bakal gue habisi." kata Liu Liyan girang menepuk sayang batang tebu kuning.
Gula dan garam, kebutuhan pokok yang harganya lebih mahal dari daging dan telur.
Satu kati gula, memiliki nilai jual 500 wen.
Sedangkan garam per katinya mencapai 50 wen.
Tak heran jika banyak penduduk miskin yang tak mampu membeli, terutama gula.
Lima meter masuk kehutan, ubi gajah dan talas Liyan dapatkan. Tapi tak langsung digali, karena ia masih akan menjelajahi hutan gunung.
Masuk lebih dalam lagi. Jamur, selada liar dan buah anggur Liu Liyan dapat.
Dikedalaman 10 kilo meter, yang jarang dilewati oleh manusia. Gema suara hewan buas lirih terdengar dikejauhan.
Pepohonan rindang berusia ratusan tahun, tinggi menjulang menambah kesan angker menyeramkan.
Liu Liyan tak gentar, jiwa Chef Claudia yang pemberani kompak menyatu dengan tubuh asli Liu Liyan yang gagah perkasa tak kenal takut.
Makin lama suara raungan binatang semakin jelas. Ada geraman nyalang, rintihan kesakitan dan auman penuh gertakan.
Urat alis Liu Liyan menegang, ia berjalan cepat kemudian berlari ringan tanpa suara gaduh bersembunyi dibalik batang pohon besar.
Disana, seekor babi hutan dan rusa sedang beradu kepala. Entah apa diperebutkan.
"Ck, bagaimana caranya membunuh mereka berdua..?"
Gumam frustasi Liu Liyan mencari akal. Ia ingin keduanya. Jika babi untuk dikonsumsi sendiri maka rusa akan dijual kekota.
"Ah, aku ada ide...!"
Liu Liyan menarik satu anak panah, parang dan sabit ia taruh didekat kaki kanannya.
Krek
Suara busur ditarik, mata jernih itu membidik rusa jantan yang sedang menyeruduk badan babi dengan tanduknya.
"Terus rusa, hajar babi gemuk itu." gumam Liu Liyan, melihat perut babi yang mulai robek terkoyak.
Gadis itu menunggu moment yang tepat, dimana salah satunya kalah baru ia akan maju menyerang.
Benar saja, tak lama babi gemuk itu tumbang, setelah rusa mencabut tanduknya.
Ketika si rusa akan menyerang lagi, Liu Liyan langsung melepaskan anak panahnya.
Siu Jleb
Tepat menembus leher, rusa menguik dan siap berlari. Tapi Liu Liyan tak akan mengizinkan. Sabit tajam dilepar, melayang jauh mengenai tengkorak rusa.
Satu anak panah ia lepaskan lagi, menancap mengenai badan rusa.
Liu Liyan berlari, melompat sembari mengayunkan parang menebas leher babi yang sedang berusaha berdiri.
Liu Liyan jatuh berguling menarik sabit yang tergeletak ditanah dan menancapkan keleher rusa.
Darah kedua binatang itu menyembur kemana-mana, bahkan ada yang mengotori baju Liu Liyan.
Rusa dan babi menggeliat, menjerit tersedak, kejang menggelepar, mengaung menatap bengis penuh dendam Liu Liyan, sebelum akhirnya diam kaku tak lagi bergerak.
"Yes, panen besar." sorak Liu Liyan tepuk tangan lalu berkancah pinggang.
Babi seberat 300 kati Liu Liyan ikat dibatang kayu bercabang dua, nantinya akan ia seret saat dibawa pulang.
Sedangkan rusa yang berbobot kira-kira 200 kati, akan ia gendong dipunggungnya.
"Kalau dizaman modern mana bisa berburu gini, ahli beladiri juga percuma tidak pernah terpakai." cicit Liu Liyan.
Dengan susah payah, wanita mungil itu membawa hasil buruannya turun gunung.
Entah berapa kali ia berhenti duduk selonjoran, cuma sekedar untuk menarik nafas dan beristirahat guna mengumpulkan tenaga lagi.
Satu jam kemudian, Liu Liyan baru sampai dipinggiran hutan. Ia lalu menggali talas dan dua bongkahan umbi gajah.
"Semoga masih sempat menjual rusa kekota." harapan Liu Liyan menatap matahari yang mulai condong diufuk barat, sebelum kembali melanjutkan perjalanan pulang.