NovelToon NovelToon
Bukan Sistem Biasa

Bukan Sistem Biasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Kultivasi Modern / Dikelilingi wanita cantik / Bercocok tanam / Sistem
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: Sarif Hidayat

Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
​Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
​Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
​Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
​[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
​Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 Awal masalah yang panjang

Brak!

​"Woy! Kalau mau berdiri, jangan di tengah jalan!" Suara bentakan itu memecah ketenangan sore di taman.

​Kepala Rama yang baru saja tiba bersama Adi langsung menoleh cepat ke arah sumber suara.

​"Bukannya itu Agus, anaknya Paman?" Rama bergumam, matanya menyipit sambil mengenali sosok pemuda urakan itu.

​"Ma-maaf, bukannya kakak yang menabrakku dari belakang?" Gadis itu menjawab, nadanya sedikit bergetar.

​Agus terpaku. Ia baru menyadari orang yang ia tabrak ternyata seorang gadis cantik. Sebelumnya, ia terlalu asyik menatap layar ponsel sambil berjalan, sehingga ia menabrak gadis itu dari belakang. Namun, sifatnya yang sudah mendarah daging, yang selalu merasa benar, membuatnya langsung menyalahkan korban tanpa melihat wajahnya terlebih dahulu.

​"Cantik juga nih cewek. Kelihatannya juga masih polos," pikir Agus, seulas senyum meremehkan terukir di bibirnya.

​"Hmm... Karena lu cantik, gue maafin. Tapi dengan satu syarat," ucap Agus, matanya menelusuri gadis itu dari atas sampai bawah dengan tatapan lancang.

​"Ma-maksud kakak apa? Bukannya kakak yang menabrakku dari belakang?" Amelia—nama gadis itu—menarik napas kaget. Ia sedang berjalan pelan, kepalanya menengok ke sana kemari mencari adiknya yang hilang, lalu tiba-tiba ditabrak dan kini dimintai syarat.

​"Jangan banyak tanya! Sekarang lu ikut gue untuk mempertanggungjawabkan kesalahan lu karena telah menghalangi jalan gue!" Agus melangkah maju, tangannya langsung menyambar pergelangan tangan Amel.

​Amelia buru-buru mundur, menarik tangannya menjauh. "Ap-apa yang mau kamu lakukan?" Amel diliputi ketakutan. Ia datang dari kota, sibuk mencari adiknya, sementara ayah dan ibunya juga tengah mencarinya.

​"Kak, tolongin Kak Amel! Adi takut, orang itu pasti mau jahatin Kak Amel!" Adi, bocah kecil itu, menarik-narik ujung kaus Rama, matanya melebar cemas.

​"Adi kenal sama kakak cewek itu?" tanya Rama.

​"Iya, Kak, itu Kak Amel, kakaknya Adi! Pasti Kak Amel lagi nyariin Adi. Ayo Kak, kita ke sana, bantuin Kak Amel dari orang jahat itu!"

​Sementara itu, Agus telah berhasil menggenggam erat lengan Amelia.

Cengkeramannya terasa menyakitkan. "Aw... Sakit, Kak! Lepasin tangan aku!" Amelia melirik ke kiri dan ke kanan, berharap ada orang yang mau menolong. Matanya sudah berkaca-kaca, dipenuhi air mata yang mendesak keluar.

​Tepat pada saat itu—

​"Kak Amel!"

​Mendengar suara yang ia kenal, Amelia langsung menoleh dan berseru lega, "Adi!"

​Agus, yang tadinya memegangi lengan Amelia dengan paksa, seketika mengendurkan cengkeramannya. Ia melihat anak kecil itu bersama seorang pemuda yang ia kenal sedang berjalan ke arahnya.

​Amel segera berlari menghampiri adiknya setelah cengkeraman Agus terlepas. "Adi! Kamu dari mana, Dek? Kakak, Ayah, sama Ibu nyariin kamu!" Ia langsung memeluk Adi, merasa sangat lega hingga melupakan sesaat apa yang baru saja ia alami.

​"Oh, gue kira siapa... Ternyata si anak yatim piatu yang datang," ucap Agus, suaranya sengaja dibuat lantang dan jelas mengarah pada Rama.

​Emosi di dalam diri Rama langsung meledak. Sudah bertahun-tahun Agus memperlakukannya dengan buruk, selalu memanggilnya anak yatim piatu setiap bertemu. Sejak kecil, mainannya diambil oleh Agus tanpa bisa ia minta kembali. Saat dewasa, ia sering dirundung di sekolah. Setelah kedua orang tuanya meninggal, alih-alih berbelas kasih, Agus justru semakin sering menghinanya, mengatainya anak pembawa sial, dan lain-lain.

​Namun, tepat ketika Rama hendak membuka mulut untuk membalas perkataan Agus, suara dingin dan mekanis dari sistem di kepalanya terdengar.

​DING! MISI UNTUK TUAN RUMAH: Tahan emosi selama 10 menit. Hadiah Keberhasilan: Uang Sebesar 5,000,000. rupiah Dan Pil Penguat Tubuh Tingkat Tinggi.

​Rama terdiam, seluruh urat tegang di tubuhnya mendadak mengendur. "Benarkah itu Sistem? Apakah uangnya bisa diambil?" tanyanya dalam benak, nada suaranya tercekat karena tak percaya.

[​DING! Tentu saja bisa, Tuan. Uang akan secara otomatis masuk ke dalam akun bank Anda, tetapi juga bisa langsung masuk ke dalam saku celana Anda. Tergantung Tuan ingin meminta Sistem menaruh uang itu di mana."]

​Rama menarik napas panjang, menekan gejolak kegembiraan dan amarah yang saling berebut di dadanya.

​"Dasar anak yatim, lu enggak dengar gue ngomong, hah?" bentak Agus, frustrasi karena diabaikan. Biasanya, pemuda itu akan langsung marah, dan saat itulah Agus bisa melampiaskan kemarahannya.

​Rama tetap diam, menatap Agus tanpa ekspresi, seolah menatap dinding kosong. Ia harus menahan emosinya. Lima juta Rupiah tidak sepele.

​"Kak Rama?" Adi, dengan bola mata kecilnya yang polos, menatap Rama, seolah bertanya, Kenapa Kak Rama diam saja?

​Sementara itu, Amel merasa aneh dengan pemuda urakan itu. "Apakah orang ini gila? Tadi marah-marah karena menabrakku, sekarang marah-marah pada orang baru?" pikirnya, melirik sekilas pada Agus.

​Seolah tak mempedulikan keberadaan Agus di sana, Rama memalingkan pandangannya ke arah Amelia. "Kamu kakaknya Adi, kan?"

​"Eh,I-iya, Kak!" jawab Amelia gugup. Entah kenapa, tatapan pemuda itu membuat jantungnya berdetak kencang secara tidak terduga.

​Rama mengangguk pelan. "Aku Rama. Tadi aku menemukan Adi di pinggir jalan sana. Dia bilang sebelumnya mengejar layangan putus dan sepertinya dia baru sadar telah pergi jauh hingga tak tahu jalan kembali."

​"Nama aku Amel, Kak. Te-terima kasih karena sudah nolongin Adi."

​"Iya, sama-sama. Lain kali, jagain adik kamu ini dengan lebih baik. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang kembali."

​"Iya, Kak. Sekali lagi terima kasih."

​KEMARAHAN MELEDAK

​Tiba-tiba—

​"Awas, Kak!" teriak Amel seketika

​Buagh!

​Sebuah pukulan keras Agus mendarat tepat di bagian wajah Rama. Rama terhuyung, sempoyongan mundur beberapa langkah.

​"Berengsek! Lu pikir gue apa, hah?! Patung? Dari tadi gue ngomong sama lu!" Agus meraung. Ia sudah tidak tahan diacuhkan, apalagi Rama malah dengan santai berbicara dengan gadis cantik itu. Emosi Agus langsung meluap-luap.

​"Ka-Kak Rama, kamu tidak apa-apa?" Amel tidak menyangka pemuda urakan itu akan menyerang Rama.

​"Tidak apa-apa," jawab Rama, mengusap sudut bibirnya yang sedikit berdarah.

​"Maju lu sini, bangsat! Beraninya lu ngacangin gue! Apa karena ada cewek cantik nyali lu langsung ciut, hah?" raung Agus, otot-otot lehernya terlihat menegang.

[​DING! SELAMAT! Tuan telah berhasil menyelesaikan misi dari Sistem. Menahan emosi Selama 10 Menit, Tuan mendapatkan uang sebesar 5.000.000 rupiah dan pil penguat tubuh tingkat tinggi Apakah Tuan akan mengambil hadiahnya sekarang?"]

​Detik itu juga, seluruh amarah yang ditahan Rama lenyap, digantikan oleh ketenangan dingin dan rasa puas. Rama menatap Agus lurus setelah mendengar notifikasi keberhasilan dari Sistem.

​"Jujur saja, gue males sekali ngeladenin lu, Gus. Apalagi ini adalah tempat umum... Tidakkah kamu merasa malu karena bertingkah layaknya preman di sini?" Suara Rama rendah, menusuk, tidak seperti Rama yang biasa Agus kenal.

​"Oh, gue lupa. Lu kan sama saja dengan bapak lu yang enggak ada rasa malu sedikit pun. Dari dulu, keluarga gue selalu memperlakukan keluarga lu layaknya keluarga pada umumnya... Tapi, apa balasan keluarga lu? Entah itu lu, ibu lu, bahkan bapak lu sekalipun... Kalian semua sama-sama seperti kacang lupa kulit!"

​"Gue udah cukup sabar ya, Gus, tapi bukan berarti gue enggak bisa ngebalas apa yang lu lakuin ke gue. Selama ini gue hargain lu karena bagaimanapun juga lu adalah saudara gue, tetapi sepertinya hubungan persaudaraan kita ini memang tidak layak untuk dipertahankan. Jadi, mulai sekarang gue anggap lu bukan lagi saudara gue atau bahkan bagian dari keluarga gue, dan apa yang lu lakuin ke gue... Jangan harap gue akan tetap diam."

​Tatapan Rama berubah tajam, sedingin baja, seakan bisa menusuk dan membunuh Agus saat itu juga.

​Agus seketika terdiam, seperti dicekik mendengar rangkaian ucapan yang dilontarkan oleh Rama. Matanya sedikit menyipit. Ini adalah kali pertama ia mendengar Rama berani berbicara seperti itu padanya.

​"Hahaha, bagus-bagus... Sepertinya anak culun yang selama ini diam ketika aku hina, sekarang mulai sedikit ada nyali," Agus memaksakan tawa sumbang. Ia kemudian menatap balik Rama dengan tajam. Agus adalah pemuda yang suka berkelahi. Baginya, tiada hari tanpa perkelahian.

​"Kak Rama!" lirih Amelia, menggelengkan kepalanya agar pemuda itu menahan emosinya.

​Rama menoleh sekilas pada gadis itu lalu beralih kembali pada Agus. "Pergilah. Jangan mempermalukan dirimu sendiri." Ucapannya datar, penuh otoritas.

​Justru, Agus langsung mengepalkan kembali tangannya. "Brengsek! Berkelahi! Kemarilah, Rama. Kalau kamu memang ada nyali, lawan aku sekarang juga!"

​Rama tetap diam, tidak bergeming satu inci pun, membuat Agus semakin naik pitam. Ia hendak menerjang Rama kembali, namun sebelum ia melakukannya—

​Tiba-tiba saja, seseorang berteriak.

​"Hentikan!"

​Seorang pria tua dengan sepasang suami istri berjalan cepat ke arah mereka.

​Amelia dan Adi langsung berseru bersamaan, wajah mereka berubah lega: "Kakek!" "Ayah, Ibu!"

​Melihat kakek dan kedua orang tuanya datang, Amelia dan Adi langsung memanggil mereka. Amel memang telah menghubungi orang tuanya lewat pesan singkat setelah bertemu dengan Adi.

​"Adi, dari mana saja, Nak? Ibu sama Ayah mencarimu!" Wanita paruh baya itu langsung memeluk Adi, matanya berkaca-kaca karena kekhawatiran yang baru saja reda.

​"Bocah nakal, kamu hampir membuat Ayah kehilangan telinga karena ulah Ibumu," ucap Pratama, menghela napas lega setelah melihat anak bungsunya itu baik-baik saja. Telinganya sudah sangat merah akibat dijewer oleh istrinya.

​"Maafin Ayah ya. Ayah tadi kebelet, jadi terpaksa harus ninggalin Adi sama Ibu," ucap Pratama sambil mengelus kepala anaknya itu.

[DING : Selamat Tuan Telah Menyelesaikan Misi Dari Sistem, Membantu Anak Kecil Yang Tersesat. Mendapatkan hadiah berupa keahlian memasak raja chef dan 100 poin Penukaran Apakah Tuan Akan Mengambilnya Sekarang?

Rama diam sesaat mendengar notif di kepalanya, ia hampir melupakan misi tentang anak kecil itu,

​Anindia melepaskan pelukan dari anaknya sambil berkata, "Maafin Ibu juga ya. Tadi Ibu harus mengangkat telepon, jadi tidak menjaga Adi dengan baik." (Amel yang sibuk memotret pemandangan di taman, itulah mengapa Adi bisa lepas dari pengawasan.)

​Bagaskara, pria tua dengan pembawaan berwibawa, mengalihkan pandangannya ke arah Rama dan Agus.

​"Lalu, kalian berdua ini siapa? Aku melihat kalian berdua ingin berkelahi di depan cucu-cucuku. Apa kalian berdua ini anak muda yang tidak memiliki aturan?" Nada bicara pria tua itu tegas dan berbobot.

​"Mmz, Kakek... Ini namanya Kak Rama. Dialah yang telah membawa Adi ke sini. Sebelumnya Adi tersesat karena mengejar layangan putus," jelas Amelia.

​"Tuan, saya Rama. Saya minta maaf jika tadi sempat ada sedikit keributan di sini," ucap Rama.

​Bagaskara menatapnya beberapa saat lalu beralih pada Agus.

​"Nama saya Agus. Mengenai keributan tadi, sebetulnya disebabkan olehnya," ucapnya menunjuk ke arah Rama.

​"Apa yang kamu bicarakan? Jelas-jelas kamulah yang mencari masalah sebelumnya!" Amelia langsung angkat bicara, merasa muak dengan sifat tidak tahu malu pemuda urakan itu.

​"Ah, itu, Nona... Sepertinya Anda telah salah paham. Se-sebenarnya kejadian tadi hanyalah masalah sepele dan saya bercanda." Nada bicara Agus tiba-tiba berubah, menjadi lebih halus dan menjilat. Ia bukan orang bodoh. Jelas gadis ini bukan dari keluarga sembarangan. Apalagi tatapan Bagaskara membuatnya merinding.

​Rama dan Amelia saling mengerutkan kening mendengar ucapan Agus.

​Tepat saat Amelia hendak membuka suara kembali, Adi—sambil memegangi ujung pakaian ibunya—berkata, "Ayah, Ibu, Adi takut! Orang itu... dia-dia tadi mau nyakitin Kak Amel dan pukul Kak Rama!"

​Wajah polos namun tampak jelas nada ketakutan dari bocah itu membuat pandangan Kakek Bagaskara dan Pratama, serta istrinya, langsung mengarah tajam pada Agus.

​"Oh?" Bagaskara menoleh pada cucunya.

"Amel, coba kamu jelaskan."

​Amel pun langsung menceritakan semuanya, dari awal ia ditabrak hingga kedatangan Rama dan perkelahian barusan.

​Mendengar penjelasan dari Amel, Bagaskara dan Pratama langsung menatap Agus dengan tatapan membunuh. Sebagai seorang ayah, Pratama tentu saja emosinya langsung tersulut, apalagi mendengar Amelia dipaksa bertanggung jawab atas kesalahan yang tidak ia lakukan.

​Bruk!

​Lutut Agus langsung menghantam tanah berbatu. "Tu-Tuan... Sa-salah paham. Itu hanyalah sebuah kesalahpahaman, sa-saya benar-benar hanya bercanda saja!"

​"Salah paham katamu?!" bentak Pratama. Ia langsung mendekati Agus, dan detik berikutnya, suara tamparan keras terdengar nyaring.

​Plak!

​"Berani menyentuh putriku dan menakutinya, kamu cukup berani juga, bocah!" bentaknya.

​Agus hanya memegangi wajahnya yang terasa panas, seolah baru saja bara api menempel di pipinya. Darah keluar dari sudut bibirnya. Tamparan itu mungkin tampak biasa, tetapi bagi Agus, rasanya puluhan kali lebih sakit dari semua pukulan yang pernah ia terima. Pratama adalah anggota militer, tamparannya jelas berbeda dari tamparan biasa.

​Beberapa pengunjung di taman itu hanya menyaksikan dari kejauhan, tidak ada yang mau ikut campur.

​"Semoga setelah ini kamu akan sadar, Gus," gumam Rama.

​Antara takut dan marah, Agus menatap Pratama dengan rahang mengeras.

​Tapi...

​Tepat pada saat itu, tiba-tiba saja sekitar tiga puluh orang berpakaian serba hitam—pakaian yang sama persis dengan yang Agus kenakan—muncul, berjalan cepat ke arah mereka.

​Rupanya, beberapa saat lalu, Bogel—teman Agus—datang mencari Agus. Saat ia menemukan Agus, ia justru melihat Agus ditampar oleh orang yang tak ia kenali. Bogel langsung menghubungi rekannya yang kebetulan sedang berada tak jauh dari Taman Desa Batu ini.

​Ketika mendapat panggilan singkat dari Bogel, mereka langsung bergegas menuju tempat di mana seseorang berani menampar Agus.

​"Agus!" panggil Bogel.

​Agus langsung menoleh, dan seketika wajahnya berbinar. Bogel datang, dan yang membuat matanya bersinar: Bogel tidak datang sendirian, melainkan bersama Bos Codet.

​"B-Bos... Anda datang," ucap Agus, air matanya mengalir deras begitu saja—ia melihat Bos Codet seolah melihat sosok pahlawan yang datang tepat saat ia membutuhkan bantuan.

​"Aku baru saja mendengar ada seseorang yang telah menampar salah satu bawahanku di tempat umum ini. Aku ingin melihat siapa orang yang begitu berani itu?" Bos Codet berhenti, tatapannya menyapu Pratama dan yang lainnya,

1
Andira Rahmawati
cerita yg menarik...👍👍👍
Cihuk Abatasa (Santrigabut)
Nice Thor
Santoso
Kayak jadi ikut merasakan cerita yang dialami tokohnya.
shookiebu👽
Keren abis! 😎
Odalis Pérez
Gokil banget thor, bikin ngakak sampe pagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!