Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sandi Ibu Negara Hantu
Sinyal untuk mengaktifkan kontak pertamanya, tersembunyi di tempat paling jelas sekaligus paling pribadi. Jantung Hwa-young berdebar kencang, sebuah genderang perang yang hanya bisa ia dengar sendiri. Ia harus menyalinnya. Sekarang. Sebelum fajar sepenuhnya merekah dan para dayang masuk seperti kawanan burung gagak yang mengintai.
Ia menutup panel kayu itu dengan sekali tekan. Bunyi ‘klik’ pelan terdengar memuaskan. Kertas dan tinta terlalu berbahaya. Jika ditemukan, itu adalah surat pengakuan pengkhianatan. Ia butuh sesuatu yang lain. Sesuatu yang feminin, tidak berbahaya, dan bisa disembunyikan di depan mata.
Ibunya. Lagi-lagi ingatan tentang ibunya datang menyelamatkan. “Sulaman memiliki dua wajah, Hwa-young. Wajah yang kau tunjukkan pada dunia, dan wajah yang berisi rahasiamu.”
Tentu saja. Sulaman.
Hwa-young bergegas bangkit, gaun pengantinnya yang berat terasa seperti zirah yang kaku. Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya, lalu berjalan ke pintu depan kamarnya.
"Apakah ada orang di luar?" panggilnya.
Pintu bergeser hampir tanpa suara. Seorang dayang berwajah pucat dengan mata yang selalu waspada membungkuk dalam-dalam. Puan Lee. Wanita yang ditugaskan Matriarch Kang sebagai kepala dayang pribadinya setelah Puan Choi gagal.
"Hamba di sini, Yang Mulia. Apakah Anda membutuhkan sesuatu?"
"Aku tidak bisa tidur," keluh Hwa-young, menyentuh pelipisnya seolah pusing. "Pikiranku terlalu kalut. Tolong bawakan peralatan sulamanku.”
Mata Puan Lee menyipit sepersekian detik, sebuah gerakan yang hampir tak terlihat. "Menyulam? Sepagi ini, Yang Mulia?"
"Apakah ada aturan yang melarangnya?"
"Tentu saja tidak, Yang Mulia! Maafkan kelancangan hamba," Puan Lee membungkuk lagi, lebih dalam kali ini. "Hamba hanya khawatir dengan kesehatan Anda. Anda belum beristirahat dengan benar. Mungkin secangkir teh ginseng hangat akan lebih baik?"
"Aku mau peralatan sulamanku, Puan Lee. Bukan teh," tegas Hwa-young, tidak memberikan ruang untuk negosiasi. "Dan selembar kain katun putih. Yang paling halus."
"Baik, Yang Mulia. Akan hamba siapkan segera."
Puan Lee mundur dengan anggun, menutup pintu di belakangnya. Hwa-young tidak beranjak. Ia tahu, bahkan saat ini, wanita itu tidak pergi ke ruang penyimpanan. Ia sedang melapor. Setiap permintaan aneh, setiap tindakan di luar kebiasaan, akan langsung sampai ke telinga Matriarch Kang.
Benar saja, Puan Lee kembali lebih cepat dari yang seharusnya, membawa sebuah kotak pernis yang indah berisi gulungan benang sutra berwarna-warni, jarum perak, dan sebuah bingkai sulam kecil. Di tangannya yang lain ada selembar kain katun putih yang terlipat rapi.
"Silakan, Yang Mulia," katanya, meletakkan semuanya di atas meja rendah.
"Terima kasih. Kau boleh pergi. Aku ingin sendiri," kata Hwa-young sambil duduk bersimpuh di depan meja.
"Tapi Yang Mulia, Anda belum sarapan. Dan Anda perlu berganti pakaian..."
"Nanti," potong Hwa-young. "Aku akan memanggil jika sudah selesai."
Puan Lee ragu-ragu sejenak. Matanya melirik ke arah kotak sulaman, lalu ke wajah Hwa-young. "Baiklah, Yang Mulia. Hamba akan menunggu di luar."
Pintu tertutup. Hwa-young tidak membuang waktu. Tangannya bergerak cepat, memasang kain katun ke bingkai. Ia memilih benang berwarna merah muda pucat dan hijau giok. Simbol musim semi, harapan baru. Sebuah ironi yang pahit.
Jarum perak menari di atas kain. Namun, fokusnya bukan pada kelopak bunga yang ia bentuk. Pikirannya tertuju pada bagian belakang kain. Dengan menggunakan benang berwarna gading yang hampir menyatu dengan warna kain katun, ia mulai membentuk simpul-simpul rahasia. Sebuah tusuk jelujur panjang, sebuah simpul Prancis, lalu sebuah tusuk pipih yang melengkung.
Simbol burung layang-layang dengan satu sayap terlipat mulai terbentuk di balik keindahan bunga plum.
Ia bekerja dalam keheningan yang tegang, setiap inderanya waspada. Ia bisa merasakan kehadiran Puan Lee di balik pintu kertas itu, seperti seekor laba-laba yang menunggu di sarangnya. Beberapa kali, ia mendengar desiran kain yang samar, seolah seseorang sedang bergeser posisi untuk mengintip melalui celah terkecil sekalipun.
"Yang Mulia," suara Puan Lee tiba-tiba terdengar dari luar, membuat Hwa-young hampir menusuk jarinya sendiri. "Maaf mengganggu. Tapi utusan dari paviliun Ibu Suri telah tiba."
Jantung Hwa-young berhenti berdetak sesaat. Secepat ini?
"Utusan untuk apa?" tanyanya.
"Ibu Suri mengundang Yang Mulia untuk sarapan bersama beliau pagi ini."
Bukan undangan. Itu adalah panggilan menghadap. Sebuah sidang.
"Katakan pada mereka aku akan bersiap-siap," jawab Hwa-young.
"Baik, Yang Mulia."
Hwa-young mempercepat gerakannya. Tinggal beberapa tusukan lagi. Sayap yang terlipat. Ekor yang terbelah. Selesai. Ia segera memotong benang, melepaskan kain dari bingkainya, dan melipatnya menjadi persegi kecil. Sebuah saputangan. Ia menyelipkannya ke dalam lipatan lengan gaun pengantinnya yang lebar. Tepat pada waktunya.
"Puan Lee, masuklah," panggilnya.
Pintu bergeser terbuka. Puan Lee masuk, kali ini diikuti oleh dua dayang yang lebih muda. Mata Puan Lee langsung tertuju pada kotak sulaman yang terbuka dan kain sisa yang tergeletak di meja.
"Apakah Yang Mulia sudah selesai dengan sulamannya?" tanyanya, nadanya ringan, tetapi matanya mencari-cari hasil karya Hwa-young.
"Sudah. Ternyata itu tidak menenangkan sama sekali," jawab Hwa-young acuh tak acuh, bangkit dari duduknya. "Bantu aku berganti pakaian. Aku tidak ingin membuat Ibu Suri menunggu."
Saat Hwa-young berbalik, Puan Lee maju selangkah seolah ingin membantu merapikan meja. Tangannya bergerak ke arah sisa-sisa benang.
"Biar hamba yang merapikannya, Yang Mulia."
"Tidak perlu," kata Hwa-young, langkahnya berhenti. Ia menoleh sedikit, tatapannya dingin. "Tugasmu adalah melayaniku, bukan mejaku. Sekarang, bantu aku."
Puan Lee membeku. Ada perintah tak terbantahkan dalam suara Putri Mahkota. Ia menelan ludah dan segera memberi isyarat kepada dayang lain untuk membantu Hwa-young melepaskan gaun pengantin yang rumit.
Ia ingin terlihat patuh, rendah hati, tetapi tidak kalah. Ia menolak semua perhiasan yang ditawarkan Puan Lee, hanya mengenakan sebuah jepit rambut giok sederhana.
"Anda terlihat ... pucat, Yang Mulia," komentar Puan Lee saat ia merapikan rambut Hwa-young. "Ibu Suri akan khawatir."
"Aku memang merasa tidak sehat," jawab Hwa-young. Itu bukan kebohongan. Perutnya melilit karena cemas.
"Kalau begitu, mari kita bergegas. Tabib pribadi Ibu Suri pasti bisa memberikan ramuan yang manjur untuk Anda," kata Puan Lee dengan senyum tipis.
Sebuah ancaman halus. Hwa-young mengabaikannya.
Perjalanan menuju Paviliun Teratai Emas, kediaman Matriarch Kang, terasa seperti berjalan menuju tiang gantungan untuk kedua kalinya. Udara pagi yang segar terasa dingin di paru-parunya. Setiap penjaga yang mereka lewati membungkuk dalam-dalam, tetapi mata mereka kosong, setia hanya pada Keluarga Kang.
Setibanya di sana, suasana terasa lebih dingin. Paviliun itu mewah, setiap sudutnya dihiasi barang-barang mahal dari seluruh penjuru negeri, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya. Rasanya seperti makam yang indah.
Matriarch Kang sedang duduk sendirian di meja makan bundar yang besar, sarat dengan berbagai hidangan yang mengepulkan uap. Bubur abalon, dimsum udang, manisan akar teratai, semuanya adalah makanan favorit Hwa-young di kehidupan sebelumnya. Sebuah detail yang sengaja dipilih untuk membuatnya lengah.
Wanita itu tersenyum saat melihat Hwa-young masuk. Senyum seekor harimau yang melihat mangsanya mendekat.
"Ah, menantuku sudah datang," sapanya. "Kemarilah, duduk di sampingku. Kau pasti lapar."
Hwa-young membungkuk dengan hormat. "Salam, Ibu Suri. Maaf membuat Anda menunggu."
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa," Matriarch Kang melambaikan tangannya dengan santai. "Aku dengar kau tidak bisa tidur semalam. Kasihan sekali. Malam pertama seharusnya menjadi malam yang paling membahagiakan."
Setiap kata adalah tusukan. Hwa-young duduk dengan punggung tegak, tangannya terlipat rapi di pangkuannya. "Saya hanya perlu waktu untuk beradaptasi, Ibu Suri."
"Tentu saja," kata Matriarch Kang sambil memberi isyarat pada seorang pelayan untuk menuangkan teh. "Adaptasi adalah kunci untuk bertahan hidup di istana ini. Kau tahu, pohon muda yang tumbuh di taman ini ... jika terlalu kaku, ia akan patah saat angin kencang datang. Hanya ranting yang lentur, yang mau membungkuk, yang akan bertahan hingga musim semi berikutnya."
Ancaman pertama. Hwa-young hanya mengangguk pelan. "Nasihat yang sangat bijak, Ibu Suri. Saya akan mengingatnya."
"Bagus," senyum Matriarch Kang melebar. Ia mengambil sepotong manisan teratai dengan sumpit peraknya dan meletakkannya di mangkuk Hwa-young. "Makanlah. Kau terlalu kurus. Pangeran Mahkota membutuhkan istri yang sehat agar bisa segera memberikannya pewaris."
Hwa-young menatap makanan di mangkuknya. Ia tidak berani menyentuhnya.
"Oh, aku hampir lupa," lanjut Matriarch Kang, meletakkan sumpitnya. "Puan Choi memberitahuku tentang kejadian semalam. Mengenai ramuan kesuburan itu."
Hwa-young mengangkat kepalanya, menatap langsung ke mata ibu mertuanya.
"Aku harus memujimu," kata Matriarch Kang. "Kau sangat memahami tradisi. Aku bahkan tidak ingat aturan sekecil itu. Kau pasti belajar dengan sangat giat."
Pujian itu terasa seperti tamparan.
"Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar untuk menghormati leluhur dan juga Pangeran Mahkota," jawab Hwa-young.
"Benar, benar. Niatmu sungguh mulia," Matriarch Kang menyesap tehnya. Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hanya terdengar denting cangkir porselen yang diletakkan kembali ke piringnya. "Tapi terkadang, menantuku, niat baik dari seorang ibu yang mengkhawatirkan putranya jauh lebih berharga daripada aturan kuno yang berdebu. Tujuannya sama, bukan? Untuk kebaikan kekaisaran."
Hwa-young tidak menjawab. Tidak ada jawaban yang aman untuk pertanyaan itu.
Matriarch Kang mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Senyum di wajahnya memudar, digantikan oleh ekspresi dingin yang membekukan.
"Aku mengerti kau masih muda dan mungkin sedikit naif. Kau mungkin berpikir tindakanmu semalam adalah sebuah kemenangan kecil," desisnya. "Tapi biarkan aku memberimu pelajaran pertamamu sebagai istri Pangeran Mahkota."
Ia mengambil sebuah cangkir teh kosong yang terbuat dari porselen putih paling tipis. Jari-jarinya yang lentik memegangnya dengan lembut.
"Lihat cangkir ini. Indah, bukan? Sempurna. Tapi juga sangat rapuh."
KRAK.
Dengan tekanan yang tiba-tiba, cangkir itu retak di tangannya. Garis retakan halus menjalar di permukaannya seperti jaring laba-laba.
"Sekali retak," bisik Matriarch Kang, matanya tidak pernah lepas dari Hwa-young, "ia tidak akan pernah bisa kembali utuh. Kau bisa mencoba merekatkannya, menyembunyikan retakannya, tetapi ia akan selalu menjadi barang rusak. Selamanya lemah."
Ia meletakkan cangkir yang retak itu di atas meja, tepat di depan Hwa-young.
"Keluargamu di luar istana ... Ayahmu, Menteri Agung yang terhormat. Aku dengar kesehatannya sedikit menurun akhir-akhir ini. Akan sangat disayangkan jika karier dan hidupnya yang cemerlang ... ikut retak hanya karena kesalahpahaman kecil di dalam istana."