NovelToon NovelToon
Senyum Tiramisu

Senyum Tiramisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Keluarga / CEO / Penyesalan Suami / Psikopat itu cintaku / Cintapertama
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: blcak areng

Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.

​Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
​Musibah itu merenggut segalanya.

​Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aroma Pahit di Dapur

​​Cahaya subuh yang dingin menyusup melalui celah tirai, jatuh tepat di karpet berbulu mahal di kamar tidur utama. Anita tidak bangun. Ia dipaksa bangun oleh sengatan nyeri yang menjalar dari leher hingga ujung kakinya. Rasa sakit itu bukan lagi kejutan; itu adalah kehangatan palsu yang selalu menyambutnya setiap pagi, kawan tidur setia yang menggerogoti sisa-sisa kewarasan.

​Hari ini, pusat badai itu berpusat pada rahang kanannya.

​Ia mencoba membuka mata sepenuhnya, tetapi gerakan kecil itu sudah cukup memicu rasa sakit yang menusuk. Semalam, Aidan—suaminya yang dulu adalah pelabuhan damai—telah mengubah wajahnya menjadi sasaran latihan pelepasan amarah. Pukulan Aidan di rahangnya terasa begitu kuat hingga kini, setiap persendian di wajahnya terasa berdenyut.

​Anita memiringkan kepalanya sedikit, menatap langit-langit. Hatinya? Sudah lama mati rasa.

Sudah lama terbuat dari batu dingin, kebal terhadap sakit hati yang dilontarkan Aidan.

Namun, tubuhnya tidaklah setabah hatinya yang terkunci rapat. Tubuh itu selalu berteriak, selalu memohon agar ia menyerah, agar ia berteriak. Tapi Anita hanya bisa diam. Berteriak hanya akan memperpanjang penderitaan.

​Ia menjulurkan tangan kanannya, menyentuh pipinya yang terasa panas dan bengkak. Jari-jarinya menyentuh permukaan cincin pernikahan mereka. Cincin yang seharusnya melambangkan janji kasih, kini terasa seperti belenggu dingin yang mengikatnya pada penderitaan ini. Ia ingat, saat mereka berbulan madu di pantai, Aidan pernah mencium tangannya, berjanji akan menjaganya dari bahaya apa pun. Ironis. Kini, bahaya terbesarnya adalah tangan yang sama.

​Dengan susah payah, ia membalik tubuh. Selimut sutra meluncur turun dari bahunya yang telanjang, memperlihatkan lebam kebiruan samar di bahu kiri—hasil dari dorongan keras Aidan ke dinding. Anita menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa-sisa tenaganya, dan memaksa kakinya turun dari kasur. Langkah pertamanya ke lantai kayu terasa seperti tusukan ribuan jarum. Ia harus segera bergerak. Rutinitas harus berlanjut.

​Dapur mewah dengan island marmer putih itu terasa begitu kontras dengan isi hati Anita. Bersih, tertata, dan tenang. Namun, bagi Anita, dapur adalah zona perang.

​Ia tidak memasak karena cinta atau hobi, tetapi karena kewajiban dan permainan aman.

​Jika ia tidak memasak, Aidan akan mengamuk, menuduhnya malas, tidak berguna, dan sengaja mengabaikannya karena sok sibuk dengan toko kuenya. Jika ia memasak, Aidan mungkin akan tetap marah, tetapi setidaknya alasan kemarahannya tidak sesederhana "tidak ada makanan di meja."

​Anita membuka kulkas. Hari ini, ia memilih menu paling sederhana: Nasi Goreng Kampung. Aroma terasi dan bawang seharusnya mengisi rumah dengan kehangatan domestik, tetapi bagi Anita, aroma itu terasa pahit. Ia bergerak lambat, sangat hati-hati. Mengiris bawang, menghaluskan bumbu. Setiap gerakan rahangnya terasa seperti retakan baru.

"​Jangan sampai ada suara keras. Sumpah itu diulanginya seperti mantra."

​Ia tahu Aidan masih tidur. Suara wajan yang terlalu keras, suara sendok yang jatuh, bahkan batuk yang terlalu kencang, bisa membangunkan dan memicu emosi Aidan. Ia memutar gas kompor perlahan, menghindari bunyi klik yang keras.

​Saat menunggu minyak panas, Anita melangkah ke depan lemari kaca. Ia melihat pantulan dirinya. Wajah Korea-nya yang jelita kini tampak kuyu. Di pipi kanannya, blush on yang ia kenakan semalam belum sepenuhnya luntur, menyamarkan kemerahan akibat pukulan. Ia memejamkan mata.

​"Terpeleset di tangga," bisiknya pada bayangan dirinya sendiri, berlatih alasan. "Terjatuh di toko, tertimpa cetakan kue yang berat."

​Ia muak dengan kebohongannya sendiri. Ia muak menjadi aktris di panggung hidupnya sendiri. Namun, kebohongan ini adalah perisainya. Perisai yang melindungi Aidan dari konsekuensi, dan melindungi Anita dari penderitaan yang lebih besar.

​Ia menuangkan bumbu ke wajan. Bunyi mendesis itu mengisi keheningan rumah.

​"Kevin menyukai nasi goreng buatanmu, Ma. Tiba-tiba, suara halus itu muncul."

​Anita tersentak. Ia menoleh cepat ke belakang, ke sudut dapur tempat Kevin sering duduk di bangku tinggi, menunggunya selesai memasak. Tidak ada siapa-siapa. Itu hanya ilusi, hanya halusinasi auditori yang kini sering menghantuinya. Ia menggelengkan kepala, mengusir bayangan Kevin yang tersenyum riang itu.

"​Kevin, jika aku menyalahkan diriku atas kepergianmu, setidaknya rasa sakit ini menjadi penebus dosa."

​Selesai memasak, Anita menata piring di meja makan untuk dua orang. Piring untuk Aidan, ia taruh di sisi meja yang paling mudah dijangkau. Piring untuknya, ia biarkan kosong. Ia sudah tidak punya selera makan.

​Rahangnya berdenyut semakin hebat. Ia menyentuh area di bawah telinganya. Ada pembengkakan yang jelas. Ini bukan hanya lebam luar. Ini parah.

​Keputusan itu muncul, tak terhindarkan. Aku harus ke rumah sakit hari ini.

​Risikonya sangat besar. Dokter pasti akan curiga. Tapi ia tidak bisa menahannya lagi. Jika ia tidak memeriksakannya, ia mungkin tidak akan bisa membuka mulutnya sama sekali, dan itu akan mengganggu pekerjaannya.

​Toko kue. Senyum Tiramisu. Itu adalah penyelamatnya. Sumber uangnya untuk menghidupi kedua orang tuanya yang renta di kampung. Ia adalah anak tunggal, tanggung jawab itu mutlak ada padanya, apalagi setelah Aidan memutuskan untuk menghentikan tunjangan bulanannya segera setelah kematian Kevin.

​"Kau tidak pantas mendapatkan apa-apa dariku," kata Aidan waktu itu, tatapannya dingin. "Semua yang kau nikmati adalah berkat Kevin. Sekarang Kevin tiada, kau kembali ke nol."

​Untungnya, tiga cabang tokonya berjalan baik. Ia meraih ponsel. Ia harus menghubungi Maya, kepala toko utamanya.

​"Maya, hari ini saya tidak bisa datang ke kantor pusat. Ada urusan mendadak."

​"Apa Anda baik-baik saja, Bu Anita?"

​"Tentu. Hanya... sedikit tidak enak badan. Tolong tangani keuangan dan produksi hari ini, ya."

​Ia menahan keinginan untuk batuk atau menghela napas panjang. Ia harus terdengar profesional dan normal. Kehidupan luarnya, wajah publiknya, harus tetap tegak berdiri.

​Tepat saat Anita meletakkan ponselnya, pintu kamar terbuka. Aidan muncul, mengenakan jubah mandi sutra, rambutnya masih basah. Aidan adalah pria tampan, sangat menarik, yang membuat sulit dipercaya bahwa ia menyimpan kegelapan sedalam ini.

​Anita langsung menundukkan kepala. Ia menjaga jarak, berdiri di samping meja, siap melayani, siap dihukum, siap melakukan apa pun yang Aidan minta.

​Aidan berjalan ke meja, tatapannya menyapu piring nasi goreng tanpa emosi.

​"Sudah masak? Bagus," suaranya serak, tetapi tidak berteriak. Itu melegakan, tetapi juga menimbulkan kecemasan baru. Amarah yang tenang jauh lebih menakutkan daripada amarah yang meledak-ledak.

​Aidan lalu mendekat, melangkah ke sisi Anita. Jantung Anita berdegup kencang, takut akan sentuhan atau pukulan baru.

​"Aku harap kau sudah siap," bisik Aidan, suaranya kini pelan, dingin, dan penuh ancaman.

"Malam ini orang tuaku dan Sela, Doni, datang makan malam. Mereka akan bertanya tentang kondisimu, tentang duka kita."

​Aidan merangkul bahu Anita, gerakan yang seharusnya hangat, tetapi terasa seperti jeratan kawat berduri. Anita menahan napas.

​"Senyummu harus sempurna, Anita," lanjut Aidan, berbisik tepat di telinga Anita. "Tidak ada air mata, tidak ada kata 'sakit'. Hanya kita yang saling menguatkan. Paham?"

​Anita hanya mampu mengangguk pelan, menghindari gerakan yang bisa melukai rahangnya.

​Aidan melepaskan rangkulannya, dan menepuk bahunya sekali, tepat di tempat lebamnya.

Anita tersentak, tetapi tidak bersuara. Aidan tersenyum, senyum yang sama yang pernah ia berikan saat melamarnya dulu. Senyum yang kini terasa seperti racun.

​"Anak baik," katanya, lalu berjalan pergi menuju kamar mandi, meninggalkan Anita sendirian di dapur yang penuh aroma nasi goreng dan kepahitan.

​Anita memejamkan mata sekali lagi. Ia menyentuh pipinya yang sakit, lalu menyentuh hatinya yang mati rasa. Tidak ada waktu untuk menangis. Tidak ada waktu untuk kasihan pada diri sendiri.

"​Rumah sakit. Sekarang." itu yang ada di pikiran Anita.

​Ia harus memperbaiki tubuhnya agar akting malam nanti bisa sempurna. Dan dia harus kuat, demi Kevin yang kini hanya ada di halusinasinya, dan demi orang tuanya yang bergantung padanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!