"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Maya berdiri mematung di kamar Arya, napasnya tercekat. Sentuhan Arya di lengannya, usapan yang disengaja dan sedikit terlalu lama, membakar kulitnya. Ia bisa merasakan aroma sabun dan parfum Arya yang kuat, membungkusnya dalam kepompong gairah yang menyesakkan. Jantungnya berpacu seperti drum. Ia tahu ini tidak benar. Ia sudah punya suami. Tapi mengapa sentuhan itu terasa begitu... memabukkan?
Ia mendengar langkah kaki Arya menjauh, lalu suara pintu kamar mandi tertutup. Maya segera menyentuh lengannya, tempat Arya tadi menyentuh. Panas itu masih ada, seolah jejak tangan Arya terukir di sana. Sebuah sentuhan yang membakar, namun anehnya, sangat memikat.
Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Pikirannya kacau balau. Ia harus segera pergi dari sini. Ia tak bisa terus-menerus bermain api seperti ini. Tapi, ada sebuah tarikan kuat yang menahannya, sebuah rasa penasaran akan apa yang akan terjadi selanjutnya.
***
Beberapa hari berikutnya, intensitas godaan Arya semakin meningkat. Sentuhan-sentuhan 'tak sengaja' menjadi lebih sering, tatapan Arya semakin dalam, dan pujiannya semakin personal. Maya merasakan dirinya
Terperosok lebih dalam ke dalam pusaran yang berbahaya.
Seperti sore ini, Maya sedang membereskan dapur. Ia sedang mencuci piring-piring setelah makan siang. Bi Sumi sudah pulang. Arya ada di rumah, ia sedang berada di ruang kerjanya. Suara ketikan keyboard dari ruang kerjanya samar-samar terdengar.
Tiba-tiba, Arya muncul di ambang pintu dapur. Ia mengenakan kaus polos hitam dan celana pendek olahraga, seperti biasa setelah berolahraga. Rambutnya sedikit acak-acakan, menambah kesan maskulin pada dirinya.
"Mbak Maya, sudah selesai bersih-bersih dapur?" tanyanya, suaranya tenang.
"Hampir, Tuan. Tinggal sedikit lagi," jawab Maya, tanpa menoleh. Ia mencoba menjaga jarak, baik secara fisik maupun emosional.
Arya melangkah masuk ke dapur. Aroma keringat bercampur parfumnya yang khas langsung memenuhi ruangan, membuat Maya menahan napas. Ia bisa merasakan kehadiran Arya di belakangnya.
"Anda pasti lelah ya, seharian bekerja," kata Arya, suaranya terdengar dekat.
"Tidak juga, Tuan. Sudah biasa," jawab Maya, tangannya sibuk menggosok piring.
Arya mendekat, berdiri di sampingnya. "Saya ingin ambil air minum."
Maya merasakan Arya mengambil gelas dari rak di atas kepala Maya. Lengan Arya terulur, sangat dekat dengan tubuh Maya. Maya bisa merasakan lengan Arya menyentuh rambutnya sedikit, sebuah sentuhan ringan yang membuat bulu kuduknya meremang.
"Maaf," bisik Arya, suaranya serak. Ia tidak segera menarik lengannya. Jemarinya seolah mengusap rambut Maya perlahan, sangat tipis, nyaris tak terasa, namun Maya yakin itu disengaja. Sentuhan itu berlangsung beberapa detik, terasa seperti keabadian bagi Maya.
Jantung Maya berdebar kencang. Ia memejamkan mata sesaat. Sensasi panas menjalar di seluruh tubuhnya. Sebuah getaran aneh muncul dalam dirinya, sebuah campuran antara rasa takut dan gairah yang membakar.
Arya akhirnya menarik lengannya. Maya membuka mata, ia berbalik. Arya sedang meneguk air dari gelasnya, matanya menatap Maya dengan senyum tipis yang penuh arti. Seolah ia tahu efek sentuhannya pada Maya.
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak Maya?" tanya Arya, nadanya santai, seolah tidak ada apa-apa yang baru saja terjadi.
Maya menggeleng pelan. "Tidak, Tuan. Terima kasih."
"Anda terlihat... berbeda hari ini," kata Arya, matanya menelusuri wajah Maya.
"Berbeda bagaimana, Tuan?" Maya bertanya, merasa sedikit malu.
"Lebih... bersinar," Arya tersenyum, sebuah senyum yang membuat Maya merasa seluruh tubuhnya panas dingin. "Mungkin karena Anda sudah tahu letak semua barang di dapur ini."
Maya tersipu. Pujian itu terdengar seperti alasan yang dibuat-buat, namun tetap saja membuat hatinya berdesir. Ia tahu Arya sedang menggodanya.
"Hanya perasaan Tuan saja," kata Maya, menunduk, kembali fokus pada piring di tangannya.
Arya terkekeh pelan. "Mungkin. Tapi saya tidak pernah salah dalam melihat sesuatu."
Maya tidak menanggapi. Ia mencoba mengabaikan Arya, namun ia bisa merasakan tatapan pria itu masih padanya. Tatapan yang membakar, yang mengikuti setiap gerakannya.
***
Beberapa hari kemudian, Maya sedang menyetrika pakaian Arya di ruang setrika. Ruangan itu kecil, hanya muat untuk meja setrika dan satu lemari. Ia sedang menyetrika kemeja kerja Arya, aroma pakaian bersih bercampur aroma setrika panas memenuhi ruangan.
Tiba-tiba, Arya masuk. Ia mengenakan setelan jas lengkap, siap untuk pergi. Ia tampak buru-buru, namun ia tetap masuk ke ruangan itu.
"Mbak Maya," sapanya.
"Iya, Tuan?" Maya menoleh, tangannya memegang
setrika yang panas.
"Saya butuh dasi biru tua saya. Saya lupa meletakkannya di mana," kata Arya, ia melangkah masuk ke ruangan yang sempit itu.
Ruangan itu terlalu kecil untuk mereka berdua. Arya berdiri sangat dekat dengan Maya. Maya bisa merasakan tubuh Arya yang kekar di dekatnya. Aroma parfumnya yang mahal begitu pekat.
"Mungkin ada di lemari gantung, Tuan," kata Maya, berusaha menjaga jarak dengan memutar sedikit tubuhnya.
Arya membuka lemari gantung, tangannya menggeser-geser beberapa setelan jas. Maya bisa merasakan lengan Arya menyentuh lengannya beberapa kali saat ia bergerak. Sentuhan-sentuhan ringan, sekilas, namun terasa seperti sengatan listrik.
"Saya tidak menemukannya," kata Arya, terdengar sedikit frustrasi. "Apa Anda melihatnya?"
"Mungkin terselip di balik jas lain, Tuan," kata Maya. Ia sedikit melangkah maju, berusaha membantu. Ruangan itu semakin sempit dengan pergerakan mereka.
Saat Maya mencoba meraih dasi yang terselip di balik setelan jas, tangannya menyentuh tangan Arya. Sentuhan itu berlangsung sedikit lebih lama. Jari-jari mereka bersentuhan, saling mengusap. Maya merasakan panas menjalar dari ujung jari-jarinya hingga ke jantung.
Arya tidak menarik tangannya. Ia justru memegang tangan Maya, sebuah genggaman lembut namun tegas. Matanya menatap Maya dalam. Sebuah senyum tipis, penuh arti, terukir di bibirnya.
"Saya rasa saya menemukannya," bisik Arya, suaranya serak. Ia memegang tangan Maya lebih erat, menariknya pelan.
Maya merasakan napasnya tertahan. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia bisa merasakan panas tubuh Arya yang begitu dekat. Ia tahu ini adalah batas. Sebuah batas yang sudah di ujung tanduk.
"Tuan..." Maya mencoba menarik tangannya, namun genggaman Arya terlalu kuat, namun tidak menyakitkan.
Arya tidak melepaskannya. Matanya terus menatap Maya, seolah sedang membaca setiap inci jiwanya. Sebuah keheningan yang panjang menyelimuti mereka di ruangan sempit itu, hanya diisi oleh detak jantung Maya yang berpacu kencang.
"Saya... tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini, Mbak Maya," bisik Arya, nadanya semakin rendah. "Tapi saya... saya tertarik pada Anda."
Pengakuan itu menghantam Maya seperti petir. Ia memejamkan mata, merasakan kepalanya pusing. Rasa bersalah yang amat sangat menghantamnya. Ini adalah sebuah pengkhianatan. Terhadap dirinya sendiri, terhadap Tama, terhadap pernikahan mereka.
Namun, di sisi lain, ada sebuah sensasi aneh yang tak
bisa ia pungkiri. Sebuah kelegaan. Sebuah kelegaan karena Arya akhirnya mengatakannya. Kelegaan karena ia tidak salah mengartikan semua sentuhan dan tatapan itu. Dan sebuah gairah yang membakar, keinginan untuk tahu lebih jauh, lebih dalam.
Maya membuka matanya, menatap Arya. Pria itu masih memegang tangannya, menatapnya intens, seolah menunggu reaksinya. Wajah Arya begitu dekat, ia bisa merasakan napasnya.
"Tuan..." Maya mencoba berbicara, namun suaranya tercekat.
"Saya tahu Anda terkejut," kata Arya, senyum tipis masih di bibirnya. "Tapi saya tidak bisa menyembunyikannya lagi."
Maya menarik napas dalam-dalam. Ia harus menolak. Ia harus lari. Tapi tubuhnya terasa membeku. Ia tidak bisa bergerak.
Arya melangkah lebih dekat, tanpa melepaskan genggaman tangannya. Ia mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke wajah Maya. Matanya menatap bibir Maya. Maya merasakan bibir Arya berjarak sangat tipis dari bibirnya.
"Mbak Maya..." bisik Arya, suaranya kini terdengar begitu lembut, begitu mendesak.
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya