Selama tiga tahun ini, Hilda Mahira selalu merasa tertekan oleh ibu mertuanya dengan desakan harus segera memiliki anak. Jika tidak segera hamil, maka ia harus menerima begitu saja suaminya untuk menikah lagi dan memiliki keturunan.
Dimas sebagai suami Hilda tentunya juga keberatan dengan saran sang ibu karena ia begitu mencintai istrinya.
Namun seiring berjalannya waktu, Ia dipertemukan lagi dengan seorang wanita yang pernah menjadi kekasihnya dulu. Dan kini wanita itu menjadi sekretaris pribadinya.
Cinta Lama Bersemi Kembali. Begitu lebih tepatnya. Karena diam diam, Dimas mulai menjalin hubungan lagi dengan Novia mantan kekasihnya. Bahkan hubungan mereka sudah melampaui batas.
Disaat semua permasalahan terjadi, rahim Hilda justru mulai tumbuh sebuah kehidupan. Bersamaan dengan itu juga, Novia juga tengah mengandung anak Dimas.
Senang bercampur sedih. Apa yang akan terjadi di kehidupan Hilda selanjutnya?
Yuk ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merayakan Aniversary
Aku pastikan kau tak akan bisa merayakan aniversary pernikahan bersama suamimu.
Deg
Hilda tercengang saat membaca sebuah pesan yang masuk ke ponselnya dari nomor yang tidak dikenal. Sempat bingung dan bimbang, tapi ia tak mau percaya begitu saja dengan pesan amatir yang belum jelas asal-usulnya. akhirnya Hilda memutuskan untuk melanjutkan membuat hidangan untuk makan malam romantis mereka nanti malam.
Hari sudah semakin larut. Hilda juga sudah selesai menyusun hidangan. Tak lupa ia juga menghias balkon kamar mereka dengan beberapa hiasan bunga dan lampu kuning yang disusun secara apik sehingga menimbulkan kesan estetik dan nyaman. Apalagi ditambah dengan beberapa lilin di ujung ruangan tersebut tentunya menambah suasana menjadi sangat romantis.
Hilda sebelumnya sudah berbicara kepada ibu mertuanya bahwa mereka tidak akan makan malam bersama di meja makan, sehingga sang ibu mertua juga lebih memilih untuk pergi makan di luar bersama dengan teman-teman sosialitanya daripada harus makan sendiri di rumah.
"Hilda.. Hilda.. kapan sih kamu akan hamil? Coba kalau kamu itu cepat hamil dan punya anak? pasti rumah ini tu gak akan kesepian. Ibu bisa main sama cucu ibu. Kalau begini kan ibu jadi kesepian! bosen tau nggak di rumah cuman lihat kamu doang!."
"Maaf bu.. tapi kan hamil itu tidak bisa dipaksakan. Kalau bisa memilih Hilda pun ingin sekali cepat memiliki momongan."
"Kamu sih kurang usaha."
"Maksud ibu apa?."
"Coba lihat penampilan kamu? dekil banget gitu. Nggak pernah dandan, nggak pernah pakai baju mewah, nggak pernah ke salon, nggak pernah merawat diri, gimana Dimas bisa nafsu sama kamu? Usaha dong! Buat suami kamu tu betah dan nyaman sama kamu. Kalau Dimas kecantol wanita lain yang lebih cantik dan modis, baru tahu rasa kamu!."
"Ibu kok ngedoain yang jelek-jelek sih? Pamali bu."
"Heleh, dikasih tahu malah ngeyel. Terserah kamu. Tapi kalau sampai hal itu terjadi, jangan pernah mengeluh sama ibu. Karena ibu pasti akan mendukung seratus persen keputusan Dimas. Mengerti kamu?."
Hilda tak menjawab, ia hanya bisa mengusap dada dan menatap kepergian mertuanya lalu masuk ke dalam kamar dan menunggu suaminya pulang.
Sudah satu jam Hilda menunggu, namun tak ada tanda-tanda kepulangan Dimas. Matanya menatap kosong ke halaman bawah rumah, berharap mobil suaminya segera terparkir di sana. Namun nyatanya, kini sudah 2 jam ia menunggu. Dimas masih belum juga pulang.
Rasa takut mulai merasuki hati. Berbagai pikiran buruk mulai berkecamuk. Apalagi mengingat soal pesan singkat di ponselnya tadi siang. Hal itu pastinya semakin menambah rasa takut pada hilda, bagaimana jika itu akan menjadi sebuah kenyataan? pikirnya.
Kaki yang dibuat berdiri sejak tadi pun mulai lemas. Hilda memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Menunggu adalah hal yang sangat membosankan. Apalagi yang ditunggu tidak dapat dihubungi sama sekali. Sebab itulah Hilda sampai ketiduran dalam posisi meringkuk di atas ranjang.
"Sayang.."
Hilda tak bergeming.
"Sayang, bangun, aku sudah pulang."
Hilda sontak membuka matanya lebar. Melihat Dimas ada di depannya, Hilda pun lantas terbangun dan langsung memeluk tubuh kekar suaminya itu.
Ah, nyaman sekali. Batin Hilda.
Ya, entah mengapa malam ini Hilda ingin sekali memeluk tubuh sang suami dan rasanya tak ingin ia lepaskan. Seperti ada suatu rasa yang tak tahu apa itu. Semacam kangen, tapi bukan rindu. Semacam ada tapi berasa hilang.
"Sayang, kamu kenapa?."
"Aku takut jika kamu tidak pulang mas."
"Takut kenapa? Biasanya kalau Mas lembur kan kamu juga tidur duluan."
"Bukan begitu, tapi.."
"Apa?."
Ingin sekali Hilda menceritakan tentang pesan tadi siang. Tapi ia urungkan karena semuanya tidak terbukti nyata.
"Tidak ada, lupakan saja mas. Oh ya, aku udah siapin makan malam aniversary kita. yuk!."
Hilda menuntun Dimas menuju balkon kamar mereka.
"Waaaw...."
"Gimana Mas? kamu suka?."
"Suka banget sayang. Kamu nyiapin ini sendiri?."
"Heem."
"Waw, indah sekali. Makasih ya sayang." "Happy aniversary yang ke 3 sayang." ucap Dimas sembari memeluk Hilda dan mengecup keningnya lembut.
Akhirnya Dimas dan Hilda pun menyelesaikan makan malam romantis mereka dengan tenang dan tanpa gangguan sedikitpun.
Hilda menatap Dimas yang beberapa kali terlihat nama gang leher dan menggerakkan kepalanya berputar pelan.
"Kamu Kenapa Mas? capek ya?."
Dimas mengangguk, "Iya sayang. Leherku pegel banget nih."
"Ya udah, sini aku pijitin"
Hilda segera memposisikan dirinya di belakang Dimas. Tangannya perlahan mulai mengurut dan memijat lembut dari leher sampai ke pundak.
"Loh mas, ini apa? kok ada tanda membiru di leher bagian belakang?."
Deg
"Be.. be.. benarkah?." Sahut Dimas gugup.
"Iya mas. Apa ini sakit?." tanya Hilda sembari memencet pelan tanda biru itu.
"Ah iya sayang, yang disitu sakit banget. Aw aw! mungkin peredaran darahku Yang di situ tidak lancar, makanya darahnya menggumpal dan membiru." Jelas Dimas menimpali.
"Lalu aku harus gimana mas?."
"Lalu, kamu.. kamu harus.. melayaniku malam ini.."
"Aahhhh." Hilda menjerit kecil saat tubuhnya di bopong boleh Dimas dan dijatuhkan perlahan ke ranjang.
Bukan tanpa alasan Dimas melakukan hal itu. Iya sengaja membuat Hilda tak membahas tanda biru itu. Mumpung Hilda belum benar-benar menyadari bahwa tanda biru itu adalah kecupan dalam sisa percintaannya dengan Novia siang tadi.
Bukannya Hilda bodoh. Tapi entah mengapa Hilda sama sekali tidak berpikiran sampai ke situ. Karena Tanda itu bukan hanya berwarna biru, tapi sudah mengarah ke warna hitam. Dan yang membuat ia percaya, dulu Dimas pernah mengalami kaki membiru seperti itu pas lagi kecapean parah.
Dan untuk mengalihkan perhatian Hilda, Dimas pun akhirnya memilih untuk menggauli istrinya. Padahal tubuh Dimas benar benar pegal dan lelah. Bagaimana tenaganya tidak terkuras habis? Dimas melakukan empat ronde dengan Novia siang tadi. Dan sekarang, ia terpaksa melakukannya dengan Hilda.
Tak ada nafsu, tak ada gairah, namun Dimas tetap berusaha untuk berpura-pura puas dengan pergaulannya dengan sang istri malam ini.
Singkat sekali. Hanya beberapa menit saja Dimas mencapai puncaknya. Ia bahkan tidak memberi kesempatan istrinya untuk mencapai klimaks.
Ada apa dengan mas Dimas? cepet banget selesainya. Biasanya dia memberi aku kesempatan untuk mencapai puncak. Tapi ini? bahkan aku saja belum terangsang sama sekali. Aku juga belum merasakan nikmat bercinta. Ah sudahlah. Mungkin mas Dimas benar-benar lelah.
Dimas masih terbaring lemas di ranjang. Sementara Hilda membersihkan dirinya di kamar mandi. Setelah itu ia memainkan ponsel miliknya dan membiarkan Dimas beristirahat saja.
Namun saat Hilda asyik bermain ponsel, tiba-tiba ada pesan masuk dengan nomor yang tidak dikenal dan nomornya sama dengan nomor yang tadi siang.
Dalam hitungan menit, Aku bisa membuat suamimu pergi dari ranjangmu saat ini juga.
.
.